Dilahirkan sebagai salah satu tokoh yang ditakdirkan mati muda dan hanya namanya yang muncul dalam prologue sebuah novel, Axillion memutuskan untuk mengubah hidupnya.
Dunia ini memiliki sihir?—oh, luar biasa.
Dunia ini luas dan indah?—bagus sekali.
Dunia ini punya Gate dan monster?—wah, berbahaya juga.
Dia adalah Pangeran Pertama Kekaisaran terbesar di dunia ini?—Ini masalahnya!! Dia tidak ingin menghabiskan hidupnya menjadi seorang Kaisar yang bertangung jawab akan hidup semua orang, menghadapi para rubah. licik dalam politik berbahaya serta tidak bisa ke mana-mana.
Axillion hanya ingin menjadi seorang Pangeran yang hidup santai, mewah dan bebas. Tapi, kenapa itu begitu sulit??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Razux Tian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
Berdiri di depan pintu kamar tidak bergerak, Lucius menjaga pintu kamar Axillion dalam Istana Sapphire. Tiga hari telah berlalu, dan dia tetap berdiri dengan tenang serta damai tanpa merasa capek ataupun bosan. Jadwalnya sekarang cukup teratur, dari pagi jam tujuh hingga malam jam delapan, dia akan berdiri di depan pintu kamar Axillion tanpa gerak.
Sesungguhnya, Lucius bersedia menjaga pintu kamar lebih lama. Tapi, Lilia yang merekrutnya menolak dan mengatakan satu kalimat, 'Seorang Knight tetap butuh istirahat.'. Jadi, mau tidak mau, dia terpaksa menurutinya.
Selama tiga hari di Istana Sapphire, Lucius tidak pernah melihat Axillion sekali pun. Dalam tiga hari ini juga, dia mengetahui dua hal tentang Pangeran Pertama Axillion.
Pertama, Axillion benar-benar mengurung diri dalam kamarnya dan tidak pernah melangkah keluar. Kedua, selain Owen dan Lilia, tidak ada seorangpun yang dapat memasuki kamarnya, bahkan makanannya tiap hari diantar dan diletakkan begitu saja ke dalam kamar melalui sebuah pintu kecil khusus untuk mengantar makanan.
Owen dan Lilia tiap hari akan mengunjungi Axillion. Dengan indera pendengaran Lucius yang tajam, dia bisa mendengar suara tawa dari dalam ruangan setiap kali mereka bekumpul. Meski tidak pernah melihat secara langsung, Lucius yakin, mereka adalah keluarga yang hangat dan bahagia. Rumor yang mengatakan bahwa Pangeran Pertama adalah anak kesayangan Kaisar tidaklah salah.
Axillion adalah sosok yang misterius. Kekuatan sihir dan pengetahuannya yang luar biasa membuat semua orang bertanya-tanya. Namun, sikapnya yang terus mengurung diri lah yang menjadi tanda tanya paling besar bagi semua orang.
Dulu, dengan segara rumor bahwa Axillion adalah Pangeran bodoh, pengecut dan obesitas, semua orang mengerti kenapa dia mengurung diri dalam kamar. Tapi, kenyataan begitu berbeda. Axillion sangat rupawan, kuat, pintar dan berkharisma—dia adalah sosok Pangeran sempurna di mata siapapun yang melihatnya. Jadi, kenapa dia mengurung diri dalam kamar?
Lucius sendiri tidak peduli dengan rumor dan juga kebingungan yang ada. Sejak dia memutuskan untuk menjadi pedang bagi Axillion. Itu semua sudah tidak penting. Baginya Axillion adalah tuan yang ingin dia layani. Kesetiaannya tidak memerlukan alasan dan pertanyaan, karena Axillion lebih sempurna dibandingkan matahari di atas langit.
Hanya saja, Lucius juga tidak tahu caranya membuat Axillion menerima dirinya sebagai bawahan. Berdiri tiap hari menjaga pintu kamar sama sekali bukan solusi, apa yang harus dilakukannya agar Pangeran Pertama mengakui dirinya?
Krettt.
Suara pintu terbuka tiba-tiba terdengar oleh Lucius. Terkejut, dia segera menoleh ke arah pintu yang terus dijaganya sejak tiga hari lalu. Hanya ada satu orang yang berada di dalamnya sekarang, jadi, yang membuka pintu tidak lain, pasti adalah; Pangeran Pertama, Axillion.
"Yang Mulia Pangeran." Lucius segera memberikan salam hormat begitu melihat Axillion berdiri di depan pintu yang terbuka.
Axillion diam membisu menatap Lucius. Beberapa saat kemudian, dia menghela napas dan membuka mulut bertanya. "Sir Lucius, tidakkah anda berpikir bahwa bakat dan talenta anda akan sia-sia jika anda hanya berdiri di depan pintu kamar saya?"
"Tidak, Yang Mulia Pangeran," jawab Lucius. Ekspresi wajahnya yang tenang dan serius terarah lurus pada Axillion. "Hamba bisa sampai di titik ini hari ini adalah berkat anda. Jadi, tidak ada yang sia-sia."
Axillion kembali diam membisu. Menatap wajah serius Lucius, dia menghela napas sekali lagi. "Jika anda berpikir akan mendapatkan kekuasaan dan kekayaan bersama saya, maka anda salah besar. Saya tidak ingin menjadi Kaisar."
"Hamba tidak menginginkan kekuasaan maupun kekayaan, Yang Mulia Pangeran." Balas Lucius. Pandangan lurus matanya membuat Axillion tahu, pria di depannya tidak berbohong.
"Jadi, apa yang anda inginkan, Sir Lucius?" tanya Axillion. Dia sadar, dengan statusnya sekarang, siapapun yang mendekatinya pasti memiliki niat tersembunyi. Karena itu, Axillion menjadi sedikit penasaran dengan alasan Lucius.
"Karena anda mengatakan hamba bisa menjadi pedang terkuat di Kekaisaran."
"Hanya karena itu?" tanya Axillion lagi bingung. Dari segala jawaban yang ada, Lucius memberikan jawaban ini?—karena satu kalimat itu?
"Benar, Yang Mulia Pangeran." Lucius tersenyum mendengar pertanyaan dan ekspresi bingung Axillion. Bagi Axillion hari itu, kalimat itu mungkin tidak berarti apa-apa. Tapi baginya, itu adalah segalanya. Dia yang kehilangan begitu banyak hal dalam hidupnya, selalu dihina dan dipandang rendah—kalimat itu telah menyelamatkannya.
Axillion menutup mata dan mengela napas mendengar jawaban Lucius. Dunia ini penuh orang aneh, jadi tidak aneh jika dirinya bertemu dengan orang aneh yang pikirannya berbeda dengan orang pada umumnya.
Membuka mata, Axillion kemudian membalikkan badan dan masuk ke dalam kamarnya kembali. "Terserah anda."
Bam.
Lucius tetap tidak bergerak atau mengatakan sepatah katapun lagi melihat pintu kamar Axillion kembali tertutup. Tapi, dalam hatinya, dia cukup senang, dia bisa berbicara dengan Axillion—ini berarti ada perkembangan dalam hubungan mereka, bukan? Dirinya akan terus berusaha hingga bisa menjadi bawahan Pangeran Pertama—matahari hidupnya.
Krett.
Pintu kamar Axillion yang tertutup kembali terbuka. Menatap terkejut Axillion yang berjalan ke luar dan mendekatinya, Lucius berdiam diri. Perasaan bingung dengan segera menggantikan rasa terkejut dalam hati, ketika Axillion yang lebih pendek sedikit darinya berdiri tepat di depan dan memberikan sebatang pensil padanya.
"Selama anda berdiri di depan pintu ini, fokus dan aktifkan aura anda pada pensil ini." Perintah Axillion saat Lucius menerima pensil tersebut. Tersenyum tanpa mengatakan sepatah katapun lagi, dia kembali ke kamar dan menutup pintu.
Bam.
Kembali ditinggalkan sendiri, Lucius menatap pensil ditangan. Ada banyak pertanyaan di benaknya dengan sikap tidak terduga Axillion. Tapi, mengesampingkan semuanya, dia tetap melakukan apa yang diperintahkan Axillion. Bukankah dia sudah mengatakan, apapun perintah Axillion adalah mutlak. Jadi, dia tidak perlu memikirkan apapun lagi.
Berdiri di tempat, Lucius segera mengaktifkan auranya. Memusatkan mana dalam diri, dia mengalirkannya pada pensil di tangan. Cahaya biru muncul mengelilingi pensil tersebut. Memanjang dan melebar ke atas, cahaya biru tersebut bergerak. Bagaikan sebuah obor besar dengan pensil sebagai pegangan yang ditiup angin, cahaya biru yang ada bergerak tidak tentu arah dengan agresif.
Krettt.
Pintu yang tertutup kembali terbuka, dan Axillion kembali melangkah keluar. Menatap Lucius yang menatapnya, dia menggeleng kepala. "Bukan seperti itu," ujarnya sambil mengangkat tangan kanannya yang juga mengenggam sebatang pensil. "Seperti ini."
Cahaya emas muncul mengelilingi pensil di tangan Axillion. Namun, bedanya, cahaya yang ada sangat tipis dan tenang. Tidak seperti cahaya pada pensil Lucius yang besar dan bergerak liar.
"Hamba mengerti." Balas Lucius singkat.
Mengangguk kepala, Axillion sekali lagi tanpa mengatakan sepatah katapun kembali ke kamar dan menutup pintu.
Bam.
"..... "
Lucius yang kembali ditinggal sendirian menoleh kepada pensil di tangan. Menatap auranya yang begitu besar dan liar, dia berusaha mengendalikannya. Namun, kenyataannya, tidak semudah itu—dia kesulitan mengendalikannya.
...****************...