NovelToon NovelToon
BETWEEN THE NUMBERS

BETWEEN THE NUMBERS

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / BTS / Cinta pada Pandangan Pertama / Office Romance
Popularitas:844
Nilai: 5
Nama Author: timio

Satu digit, dua, tiga, empat, lima, hingga sejuta digit pun tidak akan mampu menjelaskan berapa banyak cinta yang ku terima. Aku menemukanmu diantara angka-angka dan lembar kertas, kau menemukanku di sela kata dan paragraf, dua hal yang berbeda tapi cukup kuat untuk mengikat kita berdua.

Rachel...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon timio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Semua Demi Vano

Bukan hanya jiwanya yang kesepian karena harus terbiasa tanpa Vano di kantor yang luas itu. Raganya juga, ia harus meng-handle semua siswa yang biasa ia tangani berdua dengan Vano sendirian. Bayangkan selelah apa. Seorang Rachel yang kecil itu, menghadapi 50 siswa yang berbeda karakter, sifat, tingkat kepintaran, seorang diri dan ia harus bertahan seperti itu selama sebulan penuh, juga ia harus kejar-kejaran dengan rapat terbuka yang akan di adakan seminggu lagi.

Bip bip bip bip klek, ia memasukkan pass code dan masuk begitu saja.

"Malam Ayaang.... ", sapa pria tampan dengan gummy smile indah itu. Vano benar-benar terlihat menggemaskan dengan piama itu.

Brughhh... Cepat-cepat gadis yang kelelahan itu menghambur ke pelukan prianya. Orang yang sangat ia rindukan seharian ini.

"Seneng banget pulang kerja ada yang meluk gini.... ".

"Gimana hari ini Yaang?".

"Sepi."

"Sepi gimana? Kelas rame gitu?".

"Sepi ngga ada yang bisa di k0kop kalo lagi gabut." Keluh Rachel.

"Astaga.... Sayangku... Begitu amat ya. Sini kok0p dulu, hayoo... ", goda Vano sambil berusaha melepas pelukan erat Rachel.

"Ga mau ah. Udah ga mood. Laper kak."

"Ayo kita makan, tadi aku delivery, tinggal di panasin, kirain kamu pulangnya agak cepet." Seru Vano menuju dapur yang hampir menyatu dengan ruang tamu itu.

Rachel kemudian meneliti sekeliling ruangan kecilnya itu, terlihat lebih rapi dan lebih berkilau dari biasanya, dan ada beberapa barang yang bertambah. Lalu ia membuka kamarnya dan

Jreng part 1...

"Kakak belanja ya. Kenapa lemari jadi dua?".

"Iya, Yaang. Satu lemari kamu hampir penuh sama barang-barang aku. Jadinya aku beli lemari baru yang lebih besar, supaya kamu isi yang itu."

"Kenapa meja rias aku jadi rame banget? Astaga kak Vano... Gini nih kalo cowo yang belanja emang ngga ada beres-beresnya." Keluh Rachel mengambil beberapa botol serum baru, dari sekian banyak yang terparkir rapi di meja riasnya.

"Tadi aku cek tinggal setengah Yaang, yaudah aku beli lagi. Lotionnya juga tinggal setengah, pokonya rata-rata tinggal setengah, aku beli lagi heheh", bangga Vano.

Rachel menatapnya kesal dan menghela napas.

"Kenapa liatin aku begitu amat. Ganteng ya? ", timpal Vano.

"Iya ganteng banget, tapi agak kurang waras. Tinggal setengah bukan berarti besok udah habis kan kak? Kamu harusnya tanya dulu, kamu ngga perlu beli lemari, aku punya rak portable yang ngga kepake, bisa kita rakit buat nyimpen barang. Aduh... ", keluhnya lagi sembari melangkah ke lemari es.

Jreng... Part 2 ...

Tiba-tiba ia terduduk melihat lemari es nya full luar biasa.

"REVANOO..... Kamu mau ngasih makan se kampung apa gimana? Astaga...", teriaknya melihat Vano melangkah pelan hendak melarikan diri keluar. " HEH....!!!".

"Heeh.. I-iya Yaaang... Heheh... ", cengengesan.

Keduanya duduk di sofa tanpa bicara.

Rachel juga diam sembari menyentuh layar ponselnya ke atas dan ke bawah. Pikirannya sedang kalut antara rapat terbuka itu dan Vano yang mengacaukan seisi rumahnya. Vano melirik-lirik kekasihnya yang kelewat serius degan ponsel itu tapi ia takut untuk menegur.

"Yaang... ", serunya perlahan dan merebahkan kepalanya di pangkuan Rachel sambil menutupi kepalanya dengan tangan.

"Kamu ngapain begitu?".

"Biar kalo ada serangan tiba-tiba kepalaku ngga langsung hancur." Jawab Vano.

"Lebay."

"Maaf ya Yaang... ". Liriknya.

Rachel akhirya tertawa kecil dan mengelus rambut Vano. Betapa sayang dan cintanya ia pada pria yang bersamanya ini.

"Kak, kamu jago dan akurat banget kalo estimasi Ws. Kamu yang ajarin aku se apik itu supaya estimasi ku bagus, hampir sempurna, sama sesuai kebutuhan. Kalo Ws nya kelewatan, gudang numpuk, bisa hancur juga, kalau kelamaan disimpan disana. Estimasi kebutuhan kita juga gitu. Kita cuma berdua tapi kamu malah nyetok makanan buat dua puluh orang. Kita cukup saling bilang aja butuhnya apa, komunikasi mau apa. Supaya ngga membludak kayak gitu, nanti pasti busuk kan mubazir."

"Iya, Ayaang. Maaf... "

"Good boy... ", cup cup cup cup.... Membubuhkan banyak kecupan kecil di seluruh wajah pria itu, Vano yang kesenangan menerima serangan itu hanya tersenyum pasrah di pangkuan Rachel.

"Bisa ngga waktu berhenti aja, bahagia banget gua sama wanita ini, luka-luka batin gua auto sembuh semua padahal baru tinggal bareng sehari. Gimana kalo sebulan, setahun, auto gendut ga sih gua." Batin Vano.

🍀🍀

Margareth benar-benae tidak perduli keadaan Vano, tidak sekali pun ia menghubungi. Vano merasa diuntungkan juga, setidaknya ia bisa menjalani hari dengan tenang di rumah Rachel sambil berpikir apa yang bisa ia lakukan untuk menata kembali Numbers Institute. Tanpa ia ketahui rapat terbuka akan diadakan beberapa hari lagi. Hanya Rachel dan Margareth yang mengetahuinya.

Pagi itu seperti biasa ia sudah berada di Numbers dan melakukan rutinitasnya seperti biasa, meninggalkan kekasihnya yang masih terlelap di selimut yang mereka pakai bersana.

"Rachel... Rachel kan?".

Rachel terlihat diam sejenak, berpikir dimana ia melihat gadis cantik ini.

"Ah... Ohh.. Iya mba, mba Bella? Yang kemarin itu kan?".

"Iya. Aku mau ketemu Vano. Dia ada ngga ya?".

"Kak Vano lagi ngga di tempat mba. Ada masalah di Numbers jadi beliau lagi ngurusin. Saya asistennya kak Vano mba, bisa saya sampaikan kalau ada pesan."

"Oh aku boleh minta nomernya ngga? Kemarin lupa minta. Saya calon tunangannya sebenarnya, kita mau di jodohin, jadi aku ngga mungkin pakai nomornya buat hal aneh-aneh."

Rachel terdiam, menatap Bella yang entah apa maknanya tatapan itu. Hatinya sakit sekali, tapi ia tidak boleh terlalu terluka, ia tidak berhak untuk itu.

"Hel... Rachel.... ", Bella melambai-lambaikan tangannya karena Rachel hanya diam menatapnya.

"Ohh... Iya, ma-maaf mba."

"Kenapa?", heran Bella.

"Ngga papa mba, hehe. Calonnya kak Vano cakep bener. Ini mba nomernya." Sambil menyodorkan ponselnya.

"Ah kamu bisa aja. Makasih ya Hel nomernya."

"Iya mba, sama-sama."

Bella langsung pergi ketika mendapatkan yang ia inginkan. Sedangkan Rachel? Ia terluka. Kekasihnya ternyata sudah di jodohkan, dengan yang jauh lebih baik darinya, sangat jauh.

Isabella Andara, wanita cantik yang merupakan anak seorang konsulen di Emery Hospital, Seleste Ville. Dan dia sendiri merupakan dokter bedah jantung.

Rachel melangkah gontai, memasuki ruangan kerja itu. Air matanya lolos begitu saja. Apakah bahagia sebentar saja seperti yang ia do'akan kemarin itu sudah berakhir? Kenapa cepat sekali. Ahhh bahkan Vano saja tidak mengatakan apapun tentang perjodohannya.

"Tahan bentar Hel, sampai dia selamat aja." Lirihnya pada dirinya sendiri.

Apakah cinta memang se tolol ini? Ia bahkan tidak berani bertanya pada Vano. Ia bahkan hanya mengumpat dalam hatinya, sepanjang hari itu ia habiskan dengan menangis di ruangan kerja yang lebar itu sendirian. Beruntunglah hari itu ia tidak perlu mengajar, ia hanya memprogram materi.

"Jangan sampe mata gua bengkak, aduh ya Tuhan... ", dengernya sendirian.

"Apalah gua dibanding mba Bella Bella itu. Udah cantik, dokter pula, anak orang kaya, keluarganya jelas, punya segalanya. Lah gua, orang tua aja ga punya, kerjaan gua cuma asisten pengajar, ah... Jomplang banget, Hel. Aohh sakit banget anjir." Monolognya sambil terkekeh miris.

Tidak sengaja Vano membaca berita mengejutkan yang ada di grup chat utama, ia sungguh terkejut kenapa kekasihnya bisa menangis seperti itu padahal pagi ini ia baik-baik saja, sebelum-sebelumnya juga mereka baik, tidak ada masalah yang berarti.

Tidak mungkin gara-gara kulkas dan skin carenya yang membludak itu kan? Apa dia mendapat tekanan di Numbers. Sialnya, Rachel mematikan ponselnya, bahkan jam dimana seharusnya ia sudah tiba di rumah, kesayangannya itu bahkan belum kelihatan batang hidungnya.

🍀🍀

"Lu tiba-tiba nangis didepan gua, gua tanya kenapa? Lu ngga jawab. Gua kan bingung dek... ", keluh Jevon.

"Gua cuma lagi kangen elu aja. Terus gua cape... Hiks."

"Dih... Biasanya juga elu anti petir, anti peluru, kenapa tiba-tiba banget. Gua yang selalu lihat elu kayak tembok cina kan agak kaget gitu, seorang Rachel ngeluh cape."

"Udah ah... Bang, gua laper. Beliin makanan."

"Iya iya ayo..."

Lalu setelah agak larut, Jevon mengantar Rachel kembali ke rumahnya.

"Bukan gara-gara Samuel kan?". Tuding Jevon.

"Ya engga lah. Ketemu aja ngga pernah lagi."

"Lagi?"

Deg

"Anjir, salah ngomong".

"JUJUR NGGA LU SAMA GUA....!!!", bentak Jevon.

Mendengar teriakan itu Vano diam-diam mengintip dari jendela, melihat pacarnya diantar oleh Jevon.

"Lu bisa diem ga? Ngga usah teriak, gua ngga budeg."

"Jujur ngga... "

"Ok... Lu diem dulu. Gua juga ngga tahu bakal ketemu lagi sama dia, gua ngga ekspek bakal kerja di tempat yang sama, sama dia. Dia kepala pengawas di tempat gua kerja."

"Resign lu dari sana. Pindah ke Adelard. Lu bisa kerja bareng gua, atau tinggal bareng mama. Hel... Lu anggap gua apa sih sebenernya? Kakak lu bukan? Sampai kapan lu keras kepala kayak gini? Lu ngga perlu susah-susah begitu, ada gua Hel, ada mama, bahkan papa juga sayang sama lu."

"Tapi sumpah ini bukan karena Samuel, bang. Gua jujur, ini bukan karena Samuel. Urusan sama dia bener-bener selesai, bahkan dia ngga pernah lagi nunjukin mukanya didepan gua. Gua ngga kenapa-napa, cuma kecapean aja. Itu aja."

"Beneran kan?", Jevon masih belum percaya.

"Bener, pulang gih."

Jevon kembali menarik Rachel di pelukannya. Menepuk pelan punggung adik kesayangannya itu.

"Dek, kita ngga di panti asuhan lagi. Kita udah keluar dari sana, jadi elu ngga perlu pura-pura kuat terus, lu bisa bersandar sama gua. Gua udah lebih kokoh sekarang."

"Ahhhh... Monyet, kann gua mewek lagi... Hikss... Ahhh Jepon diem lu ah... ".

"Dih... Ingus lu ijo tuh... Iyuhh... "

"Jepoonnn ngeselin lu ah... "

"Jorok lu, ingus sama air mata bisa nyatu, rasanya gimana? Gurih ngga..."

🍀🍀

Meski Vano agak cemas melihat Rachel menangis seperti itu, ia tidak bertanya apapun, ia hanya menunggu Rachel bercerita yang entah kapan. Ia hanya menyambut Rachel seperti biasa.

"Yaang.... "

"Aku mandi dulu ya.. Maaf pulang lama, tadi Jevon main ke Numbers jadi kami keluyuran dulu."

"Iya yaang, ngga papa. Udah makan? ".

"Udah kak."

Sejak hari itu Rachel lebih diam dari biasanya dan Vano hanya terus memperlakukannya seolah semuanya normal, dan ia juga heran kenapa Bella rajin sekali menghubunginya akhir-akhir ini.

"Kak, Bu Margareth ada nanya kabar kamu gak? ".

"Dia nyuruh aku tinggal dimana aja boleh, dia bahkan ngga peduli aku tinggal di kolong jembatan sekali pun."

"Apa perjodohan itu sebenernya cuma akal-akalan mba Bella ya? Ngga mungkin kak Vano se tenang ini." Rachel diam melamun.

"Yaang... Sayaaang? Kamu mikirin apa sih?".

"Hahhh? Ahh engga...".

Pria itu memindahkan Rachel ke pangkuannya dan spontan wanita itu bergelayut di leher Vano.

"Cape banget ya Yaang? Sabar sebentar ya, aku lagi nyari cara, biar Numbers balik kayak dulu lagi." Seru Vano. Rachel hanya mengangguk dan tersenyum.

Di waktu sibuknya ia menyempatkan mempelajari metode yang dirancangnya sendiri. Ia melakukan pendekatan kepada anak di usia 3 hingga 8 tahun yang tidak memenuhi persyaratan untuk masuk numbers. Ia menyempatkan juga membuat slide presentase ketika makan siang, ia bahkan tidak lagi ikut makan siang bersama gerombolannya yang biasa. Ia memilih makan siang sendiri sambil terus bekerja di ruangan yang luas itu.

Ia juga membuat rancangan WS baru, dan audio yang familiar supaya mudah diingat balita dan batita. Sementara seseorang yang setiap hari menunggunya di rumah merasa aneh dengan benda yang ditemukannya ketika beres-beres.

"Yaang... Ini buat apaan? ", heran Vano meneliti buku anak-anak di meja belajar Rachel di kamarnya.

Semua yang dikerjakannya tidak pernah diketahui siapapun kecuali Margaret, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya. Vano tidak curiga sedikitpun ketika ia pulang telat karena alasan Rachel cukup meyakinkan. Vano cuti sehingga banyak hal yang harus ia kerjakan sendirian.

Untuk buku-buku berwarna yang Vano temukan itu, Rachel mengatakan bahwa semua itu adalah pesanan sepupu jevon yang seorang guru TK. Masih banyak lagi yang dilakukan Rachel untuk menunjang kesuksesan rapat terbuka itu, termasuk membuat bukti video dan editing.

Semua demi Vano

.

.

.

TBC... 💜

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!