"Ada rahasia yang lebih dalam dari kegelapan malam, dan ada kisah yang lebih tua dari waktu itu sendiri."
Jejak Naga Langit adalah kisah tentang pencarian identitas yang dijalin dengan benang-benang mistisisme Tiongkok kuno, di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi sehalus embun pagi. Sebuah cerita yang mengundang pembaca untuk menyesap setiap detail dengan perlahan, seperti secangkir teh yang kompleks - pahit di awal, manis di akhir, dengan lapisan-lapisan rasa di antaranya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup sabar untuk menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan Air yang Mengalir
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Mei kembali ke kedai tehnya. Cermin Pertama terasa dingin di balik lipatan pakaiannya, tapi tanda di pergelangan tangannya masih terasa hangat dan berdenyut pelan—seolah sedang berbisik dalam bahasa yang tidak dia pahami.
Di luar dugaannya, kedai tidak kosong. Master Song duduk di sudut favoritnya, jari-jarinya yang kasar oleh tanah liat mengetuk-ngetuk pelan permukaan meja. Di hadapannya berdiri sebuah vas yang tidak pernah Mei lihat sebelumnya—keramik putih dengan motif naga yang tampak bergerak dalam cahaya temaram.
"Pagi yang terlalu awal untuk seorang pembuat keramik," Mei berkata sambil menyalakan lentera-lentera kedai.
Master Song tidak langsung menjawab. Matanya yang tajam mengikuti gerakan Mei, seolah sedang membaca sesuatu yang tertulis di udara. "Dan malam yang terlalu panjang untuk seorang penyeduh teh," akhirnya dia berkata. "Terutama setelah bertemu dengan air yang mengalir ke atas."
Mei membeku. "Bagaimana Anda—"
"Bagaimana aku tahu?" Master Song tersenyum tipis. "Naga di tanganmu berbisik lebih keras dari yang kau sadari, Anak Muda. Dan keramik..." dia mengetuk pelan vas di hadapannya, menimbulkan dengung yang terdengar seperti lonceng kuno, "...keramik memiliki cara sendiri untuk mendengarkan."
Mei mendekati meja Master Song, matanya tertarik pada vas yang tidak biasa itu. Dilihat dari dekat, motif naga pada vas tampak lebih detail dari yang dia kira. Sisik-sisiknya terukir dengan presisi yang tidak mungkin dicapai tangan manusia, dan matanya—mata naga itu tampak balik menatapnya.
"Ini bukan keramik biasa," Mei berbisik.
"Seperti kau bukan penyeduh teh biasa," Master Song mengangguk. "Dan seperti Cermin yang kau bawa bukan cermin biasa."
"Anda tahu tentang Cermin-cermin itu?"
Master Song menghela napas panjang. Untuk sesaat, dia tampak jauh lebih tua dari biasanya. "Lima ratus tahun yang lalu, saat Cermin-cermin itu pertama kali ditempa dari air mata naga dan dibingkai dengan tanah liat dari dasar Sungai Langit, ada lima pembuat keramik yang dipilih untuk menjadi Penjaga mereka." Dia mengangkat tangannya, memperlihatkan bekas luka berbentuk sisik yang hampir sama dengan tanda di tangan Mei. "Aku adalah keturunan terakhir dari salah satu dari mereka."
"Dan vas ini..."
"Adalah kunci menuju Cermin Kedua," Master Song menyelesaikan kalimatnya. "Tapi tidak sekarang. Setiap Cermin memiliki waktunya sendiri untuk ditemukan, dan memaksa takdir hanya akan membawa malapetaka." Dia menatap ke luar jendela, ke arah Kuil Naga Tidur yang menjulang di kejauhan. "Tanyakan pada Wei An, jika kau tidak percaya."
Seolah dipanggil oleh namanya, pintu kedai terbuka, membawa hembusan angin dingin dan aroma hujan yang familiar. Wei An melangkah masuk, gulungan-gulungan tua di tangannya tampak lebih usang dari biasanya.
"Master Song," Wei An mengangguk sopan, tapi ada ketegangan dalam suaranya. "Sudah lima puluh tahun sejak terakhir kali kita bertemu."
"Lima puluh tahun bagimu, mungkin," Master Song tersenyum misterius. "Tapi waktu mengalir berbeda bagi mereka yang hidup di antara tanah liat dan air."
Wei An tidak membalas. Matanya yang retak terfokus pada vas di meja. "Kau membawanya kemari."
"Seperti kau membawa gulungan-gulungan itu," Master Song menunjuk ke gulungan di tangan Wei An. "Kita semua memainkan peran kita, Wei An. Bahkan jika peran itu bukan yang kita inginkan."
Mei merasakan ketegangan yang aneh di antara kedua pria itu. Ada sejarah di sini, lebih dalam dan lebih rumit dari yang bisa dia bayangkan. "Apa yang sebenarnya terjadi?" dia bertanya. "Mengapa kalian berbicara seolah sudah saling kenal selama berabad-abad?"
"Karena kami memang sudah saling kenal selama itu," Wei An menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari vas. "Atau setidaknya, versi kami yang lain sudah saling kenal. Waktu... waktu adalah konsep yang rumit bagi mereka yang telah melihat terlalu banyak masa lalu."
Master Song berdiri, mengambil vas dengan hati-hati. "Sudah waktunya aku pergi. Cermin Pertama telah menemukan jalannya padamu, Mei Zhang. Tapi ingat—air yang mengalir terlalu cepat hanya akan membawa lumpur ke permukaan." Dia berjalan ke pintu, tapi berhenti sejenak. "Dan Wei An... jangan biarkan masa lalu mengaburkan apa yang harus dilakukan di masa kini."
Setelah Master Song pergi, keheningan yang berat menyelimuti kedai. Wei An akhirnya duduk, membuka salah satu gulungannya dengan gerakan yang tampak telah dilakukannya ribuan kali.
"Kau punya pertanyaan," dia berkata pada Mei. "Tapi tidak semua pertanyaan siap untuk dijawab."
"Kalau begitu jawab satu saja," Mei menarik kursi di hadapan Wei An. "Siapa kau sebenarnya? Dan jangan katakan 'seorang cendekiawan' karena kita berdua tahu itu bukan seluruh kebenaran."
Wei An terdiam sejenak, matanya yang retak tampak berkilau dalam cahaya lentera. "Aku adalah kesalahan," dia akhirnya berkata. "Sebuah retakan dalam cermin waktu yang seharusnya tidak ada. Lima ratus tahun yang lalu, ketika Cermin-cermin itu pertama kali dibuat, aku adalah salah satu dari lima Penjaga yang dipilih untuk menjaga mereka. Tapi aku... aku mencoba mengubah apa yang tidak seharusnya diubah."
"Lima ratus tahun..." Mei berbisik. "Tapi bagaimana mungkin?"
"Dengan cara yang sama seperti air bisa mengalir ke atas di Kolam Cermin," Wei An tersenyum sedih. "Dengan cara yang sama seperti teh bisa menyimpan kenangan, dan naga bisa tidur dalam lukisan. Dunia ini... dunia yang kau lihat hanyalah permukaan dari kolam yang jauh lebih dalam."
Tiba-tiba, Cermin Pertama di balik pakaian Mei bergetar kuat. Mei mengeluarkannya, dan permukaan cermin yang tadinya gelap kini dipenuhi riak-riak seperti air yang terganggu. Dalam riakan itu, Mei melihat sekilas bayangan—seorang pria muda dengan mata yang belum retak, berdiri di depan lima cermin yang disusun dalam formasi melingkar, dan seorang wanita yang tampak seperti versi lebih muda dari Madam Lian.
"Itu..." Mei tergagap.
"Ya," Wei An mengangguk. "Itu aku, dan itu Lian, sebelum... sebelum segalanya berubah. Sebelum aku mencoba menggunakan Cermin-cermin untuk mengubah takdir." Dia mengulurkan tangan seolah ingin menyentuh permukaan Cermin, tapi mengurungkan niatnya. "Dan sekarang, lima ratus tahun kemudian, lingkaran itu akan tertutup. Dengan caraku... atau dengan cara Lian."
"Apa maksudmu? Apa hubungannya Madam Lian dengan semua ini?"
Tapi sebelum Wei An bisa menjawab, suara lonceng Kuil Naga Tidur bergema di kejauhan—suara yang seharusnya tidak mungkin terdengar, mengingat kuil itu telah sunyi selama berabad-abad.
Wei An bangkit dengan tergesa. "Dia sudah bergerak," katanya, suaranya tegang. "Kita kehabisan waktu."
"Siapa? Madam Lian?"
"Tidak," Wei An menggeleng. "Sesuatu yang jauh lebih tua. Sesuatu yang telah menunggu dalam kegelapan sejak Cermin-cermin pertama kali dibuat." Dia menggulung gulungannya dengan cepat. "Kau harus pergi ke kuil. Sekarang. Sebelum matahari sepenuhnya terbit."
"Tapi—"
"Tidak ada waktu untuk penjelasan," Wei An mendorong salah satu gulungannya ke tangan Mei. "Bawa ini, dan Cermin. Kau akan tahu apa yang harus dilakukan saat waktunya tiba." Dia berjalan ke pintu, tapi berhenti sejenak. "Dan Mei... jangan percaya semua yang kau lihat dalam Cermin. Bahkan air yang paling jernih bisa memantulkan kebohongan jika cahaya jatuh dengan cara yang tepat."
Dengan itu, Wei An menghilang ke dalam kabut pagi yang mulai turun—kabut yang tampak terlalu tebal untuk musim ini, membawa aroma teh hitam yang familiar dan sesuatu yang lebih tua, seperti sisik naga yang berdebu.