Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Labirin Jakarta
Pagi itu, suasana Jakarta mulai berubah. Jalanan yang biasanya macet dengan kendaraan dan manusia, kini mulai terasa lebih sepi, meskipun jam sibuk telah dimulai. Ada yang berbeda di udara, seolah kota ini menunggu sesuatu yang besar untuk terjadi. Raka, Nadia, dan Pak Hasan berjalan perlahan di trotoar yang sudah mulai dipenuhi kendaraan. Masing-masing dari mereka membawa beban yang berat, meskipun mereka berusaha untuk tetap tenang dan fokus.
Raka menatap map yang diberikan Victor semalam. Tempat pertama yang harus mereka kunjungi adalah sebuah gedung tua di kawasan Jakarta Barat, yang konon katanya merupakan tempat pertemuan dari kelompok-kelompok bawah tanah yang berhubungan dengan “Mata-mata Kota”. Di sana, mereka berharap bisa mendapatkan informasi yang lebih konkret tentang siapa yang sebenarnya mengendalikan Jakarta.
Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi, tetapi mereka sudah memutuskan untuk maju. Setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka semakin dekat dengan kebenaran yang selama ini tersembunyi. Tapi mereka juga sadar, semakin dalam mereka menggali, semakin banyak pula bahaya yang mengintai di setiap sudut.
"Jadi kita akan ke gedung itu dulu?" Nadia bertanya sambil melirik Raka, yang sedang menatap peta dengan penuh konsentrasi.
Raka mengangguk pelan. "Iya, kita harus ke sana. Ini langkah pertama kita. Kalau kita berhasil mendapatkan informasi di sana, kita bisa melangkah lebih jauh lagi."
Pak Hasan, yang berjalan di samping mereka, menambahkan, "Gedung itu sudah lama ditinggalkan, tetapi banyak orang yang bilang kalau ada yang masih menggunakan tempat itu. Mungkin kita bisa menemukan petunjuk yang kita butuhkan."
Kebanyakan orang di Jakarta mungkin menganggap gedung tua itu hanya sekedar bangunan kosong, tetapi bagi mereka, itu adalah langkah pertama menuju kebenaran yang lebih besar. Raka, Nadia, dan Pak Hasan tahu bahwa tempat ini menyimpan rahasia yang sangat penting. Jika mereka bisa menemukan apa yang tersembunyi di dalamnya, mereka bisa mengungkap jaringan kekuasaan yang mengendalikan kota ini.
Setibanya di depan gedung yang dimaksud, mereka berhenti sejenak, menilai situasi. Gedung itu memang terlihat tua dan terbengkalai, dengan jendela-jendela yang pecah dan dinding yang mulai retak. Namun, ada sesuatu yang membuat mereka merasa bahwa di balik kerusakan itu ada sesuatu yang lebih gelap dan lebih berbahaya. Mereka tahu, tempat seperti ini sering kali menjadi tempat persembunyian bagi mereka yang berusaha menyembunyikan identitas mereka.
Raka menghela napas dan memberi isyarat pada Nadia dan Pak Hasan untuk berhati-hati. Mereka melangkah menuju pintu masuk yang sudah berkarat, dan dengan hati-hati membuka pintu itu. Suara berderit dari engsel pintu menggema di seluruh lorong gelap yang menyambut mereka. Tak ada suara manusia, hanya suara langkah kaki mereka yang menggema.
Mereka melangkah pelan-pelan, mencari tanda-tanda apa pun yang bisa menunjukkan bahwa mereka sedang menuju ke tempat yang tepat. Di sepanjang jalan, dinding-dinding gedung dipenuhi dengan grafiti dan simbol-simbol yang tidak mereka mengerti. Ada sesuatu yang tidak biasa di tempat ini, sebuah aura yang membuat mereka merasa waspada.
"Tunggu sebentar," kata Pak Hasan, menghentikan langkah mereka. "Ada sesuatu yang aneh di sini."
Mereka berhenti, dan Pak Hasan menunjuk ke arah sebuah lorong sempit yang terletak di sisi kiri. Di ujung lorong itu, ada sebuah pintu kecil yang terlihat lebih baru dibandingkan dengan bagian lain dari gedung yang sudah tua. Pintu itu terlihat tidak terjamah oleh waktu, dan bahkan catnya masih terlihat segar. Seperti ada yang sengaja menyembunyikan pintu itu dari pandangan orang lain.
"Ini mungkin jalan menuju tempat yang kita cari," kata Nadia, dengan suara pelan, tetapi tegas. "Ayo, kita coba."
Raka mengangguk, dan mereka bertiga berjalan menuju pintu tersebut. Saat mereka membuka pintu itu, mereka menemukan sebuah ruangan yang tampak jauh lebih terawat dibandingkan dengan bagian gedung lainnya. Di dalamnya, ada beberapa meja kerja yang berantakan, tumpukan dokumen, dan sebuah komputer yang tampaknya sudah usang. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian mereka.
Di tengah meja, terdapat sebuah kotak logam kecil yang terkunci rapat. Tanpa ragu, Raka mendekati kotak itu dan mencoba membuka kuncinya. Setelah beberapa percobaan, akhirnya kotak itu terbuka. Di dalamnya, mereka menemukan sejumlah berkas dan dokumen yang sepertinya sangat penting.
Salah satu dokumen yang menarik perhatian mereka adalah sebuah peta yang menunjukkan lokasi-lokasi penting di Jakarta, yang sepertinya berkaitan dengan jaringan “Mata-mata Kota”. Selain itu, ada juga sejumlah nama yang terdaftar—beberapa di antaranya adalah orang-orang yang terkenal, baik di dunia politik maupun bisnis.
"Ini dia. Kita menemukan petunjuk yang kita butuhkan," kata Raka dengan suara penuh percaya diri.
Namun, sebelum mereka sempat melihat lebih jauh, mereka mendengar suara langkah kaki dari arah belakang. Raka, Nadia, dan Pak Hasan menoleh cepat, hanya untuk menemukan dua pria berbadan besar yang menghalangi jalan mereka.
"Apakah kalian mencari sesuatu?" tanya salah satu pria itu, suara mereka berat dan mengancam.
Raka langsung menilai situasi. Mereka tidak bisa melawan kedua pria ini dengan cara biasa. Dalam sekejap, Raka memutuskan untuk mengambil tindakan cepat. Ia melangkah maju, berlari ke arah pria yang lebih dekat dengannya dan memberi pukulan cepat ke wajah pria itu, membuatnya terjatuh ke tanah. Namun, pria kedua segera menyerang dengan tendangan keras yang hampir mengenai tubuh Raka.
Nadia dan Pak Hasan tidak tinggal diam. Mereka berdua juga maju, berusaha menahan serangan pria kedua. Dengan cepat, Pak Hasan menggunakan tasnya untuk menghantam perut pria itu, sementara Nadia berhasil menjatuhkan pria itu dengan gerakan tangkas.
Namun, meskipun mereka berhasil mengalahkan dua pria tersebut, Raka tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan mereka. "Kita harus segera pergi. Mereka pasti akan membawa lebih banyak orang," kata Raka, sambil menarik tangan Nadia dan Pak Hasan untuk keluar dari ruangan itu.
Mereka berlari kembali ke pintu keluar gedung, tetapi suara sirene mulai terdengar dari kejauhan, mengindikasikan bahwa kehadiran mereka sudah diketahui. Mereka tahu waktu mereka terbatas.
Setibanya di luar, mereka melangkah cepat, berusaha menghindari patroli yang mulai datang ke arah mereka. "Kita harus keluar dari sini sebelum mereka mengejar kita," kata Raka, napasnya terengah-engah.
Namun, meskipun mereka berhasil melarikan diri, perasaan cemas tidak bisa hilang begitu saja. Mereka tahu, bahaya yang lebih besar sedang menunggu mereka di depan. Keberhasilan mereka dalam menemukan dokumen itu hanya akan memicu lebih banyak ancaman, dan mereka harus siap menghadapi segala kemungkinan.
Di luar gedung yang kini semakin jauh tertinggal, Jakarta kembali hidup dengan hiruk-pikuknya. Namun bagi mereka, kota ini bukan lagi tempat yang penuh dengan peluang. Jakarta kini adalah medan perang, tempat mereka harus melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.
Dan mereka baru saja memulai perjalanan panjang mereka menuju kebenaran yang penuh bahaya.
Perjalanan mereka belum berakhir, dan tantangan baru sudah menanti. Setiap informasi yang mereka kumpulkan semakin mendekatkan mereka pada kebenaran yang tersembunyi di bawah permukaan Jakarta. Namun, setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat pada ancaman yang mengintai. Meskipun begitu, mereka tidak bisa mundur. Mereka harus terus melangkah, karena hanya dengan membuka lapisan-lapisan kegelapan itulah, mereka bisa menemukan cahaya yang mereka cari.
Jakarta kini menjadi lebih dari sekadar kota ia adalah medan pertempuran antara kebenaran dan kekuasaan, dan mereka akan berjuang sampai akhir.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)