Sekuel(Emily:Ketika cinta harus memilih)
Maxime Alexander Lemos pria berusia 37 yang merupakan orang kepercayaan pimpinan mafia paling kejam di Jerman jatuh cinta pada seorang gadis namun cintanya harus kandas terhalang restu dari orangtua gadis yang ia cintai dan meninggalkan luka yang begitu mendalam hingga cinta itu berubah menjadi dendam. Ia pergi meninggalkan semuanya merelakan orang yang ia cintai menikah dengan pria pilihan orangtua.
Hingga berbulan lamanya dan keduanya kembali dipertemukan dengan keadaan yang berbeda.
Bagaimana kisah mereka, yuk simak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novi Zoviza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Bertemu Lucas
Di sebuah bangunan cukup tua, Maxime menapaki kakinya memasuki ruangan gelap yang minim cahaya. Aroma lembab dari lantai yang kumuh menguar hidungnya. Maxime terus melangkah hingga berhenti didepan pintu sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh orang kepercayaannya. Kedua penjaga pintu itu langsung membukakan pintu ruangan itu untuk Maxime.
Maxime melangkah memasuki ruangan itu, suara rintihan penuh kesakitan mengisi indera pendengarannya. Pria itu tersenyum miring melihat tawanannya yang kini terlihat tidak berdaya dan kesakitan. Wanita yang dulunya berpenampilan modis dan anggun serata berwibawa itu kini terlihat kurus kering dan kedua matanya terlihat cekung dan garis keriput menghiasi wajahnya yang dulunya selalu wanita tua itu rawat dengan baik.
Maxime tersenyum miring melihat wanita itu yang tampak menyedihkan. Nafasnya mulai terdengar pendek.
"Bagaimana? kau suka hukuman dariku?," ujar Maxime memecah keheningan ruangan itu selain dari suara rintihan dari wanita tau itu yang sebenarnya juga adalah Neneknya juga tapi perbuatan wanita itu tidak bisa ia maafkan begitu saja. Bertahun-tahun lamanya ia menyekap Grandmanya dan juga menipu dirinya. Dan dia bukanlah manusia pemaaf yang memberikan kata maaf dengan mudah pada orang yang sudah berbuat kesalahan padanya orang yang ia sayangi.
Sebenarnya ini adalah hari kedua ia berada di Hamburg, kemarin ia tidak langsung kesini karena harus bertemu dengan rekan bisnisnya. Jadilah hari ini ia datang kesini melihat secara langsung penderitaan yang dialami oleh saudari Grandmanya sendiri.
"M-max...," ujar Mauren dengan suara yang hampir tidak terdengar. Wanita itu terus merintih kesakitan dan mengerang ketik rasa sakit dari bekas jahitan ginjalnya yang mulai membusuk itu terasa.
"Max...kau benar-benar gila, kau menyekap wanita tua ini disini dalam keadaan yang begitu menyedihkan," ucap Diamian yang memasuki ruangan itu. Damian berusaha menahan rasa mualnya karena aroma amis yang menguar dari tubuh Mauren.
Maxime tidak menjawab ocehan sahabatnya itu. Pria itu malah menatap lurus pada Mauren yang tampak seperti menghadapi sakaratul mautnya. Maxime tampak mengepalkan kedua tangannya, sejujurnya ia tidak rela jika Mauren pergi secepat ini tapi jika Tuhan berkehendak ia bisa apa. Tapi setidaknya ia sudah membalaskan rasa sakit yang dialami Grandmanya. Ini tidaklah seberapa bagi Mauren tapi itu cukup membuat Maxime puas.
"Max...aku tunggu di luar," bisik Damian yang tidak kuasa menahan gejolak perutnya akibat aroma tidak sedap yang ada diruangan itu.
Maxime mengangguk pelan dan tetap berdiri di sebelah tempat tidur usang dimana Mauren terbaring tidak berdaya menahan kesakitannya. Aroma amis seperti ini sudah biasa bagi Maxime, sehingga ia tetap betah berada disana menyaksikan Mauren yang saat ini tengah mengalami sakaratul mautnya.
Setelah menunggu beberapa menit, Maxime menghela nafas beratnya berusaha melepaskan beban berat yang bersarang dipundaknya. Pria itu terlihat begitu tegang setelah menyaksikan dengan kedua matanya sendiri Mauren menemui ajalnya.
Maxime keluar dari ruangan itu dan memintanya orang kepercayaannya untuk mengurus mayat Mauren. Meski Mauren sudah mendapatkan balasannya tapi entah kenapa hatinya tidak merasa senang sama sekali.
"Kalian urus mayat wanita itu dan jangan sampai ada yang tahu tentang kematian wanita itu," ucap Maxime. Ia tidak akan mengikuti proses pemakaman wanita itu meskipun wanita itu juga Neneknya juga.
"Baik Tuan," jawab orang kepercayaan Maxime menganguk patuh.
"Setelah selesai, bersihkan tempat dan pergi dari sini. Ingat jangan meninggalkan jejak apapun," ujar Maxime dengan penuh ketegasan.
"Ya Tuan," jawab orang kepercayaannya.
****
Maxime mengendarai mobilnya meninggal bangunan tua itu. Disebelah Damian duduk sembari menyesap rokoknya lalu menghempaskan asapnya ke udara.
"Kau tidak ingin melihat proses pemakaman wanita itu Max, bagaimanapun juga dia Nenekmu juga Max," ujar Damian tanpa menoleh pada Maxime.
"Dia bukan Nenekku, Dam," jawab Maxime yang menatap lurus ke depan fokus pada jalanan yang ia lewati.
Damian tidak lagi berbicara membiarkan kesunyian yang menghinggapi mereka. Ia tahu sahabatnya ini tidak baik-baik saja. Jika ia tetap berbicara, semua itu percuma saja karena Maxime tidak akan menjawab ucapannya. Ia begitu mengenali sifat sahabatnya ini.
"Dam...aku ingin bertemu seseorang disini. Apakah kau akan ikut denganku?," tanya Maxime tanpa menoleh pada sahabatnya itu.
"Siapa? rekan bisnismu lagi?," jawab Damian kembali bertanya menatap Maxime dengan raut wajah kebingungan.
Maxime menggeleng pelan."Tidak," jawab Maxime singkat.
"Lalu siapa?," tanya Damian. Ia begitu penasaran dengan siapa Maxime akan bertemu. Siapa orang yang ingin ia temui di kota ini.
"Kau ikut atau tidak?. Jika kau tidak ikut, kau bisa menungguku di hotel. Tapi jika kau ikut rahasiakan apa yang kau lihat nanti," jawab Maxime.
"Kau membuatku benar-benar penasaran Max, kalau begitu aku ikut denganmu," ucap Damian mengangguk setuju jika ia akan ikut dengan sahabatnya itu.
Maxime menambah kecepatan mobilnya, pria itu tampak begitu sangat misterius. Entah kemana ia akan pergi dan siapa yang akan ditemui di kota ini.
Mobil yang dikendarai Maxime sampai di sebuah bangunan yang cukup besar yang bisa disebut mansion. Bangunan itu dijaga begitu ketat oleh pria bertubuh kekar dan sangar.
"Max... tempat apa ini?.Dan siapa mereka?," tanya Damian saat mobil mereka diizinkan masuk oleh penjaga pintu.
"Diamlah Dam, jangan banyak bicara!," jawab Maxime.
Maxime turun dari mobilnya diikuti Damian. Kedua pria tampan itu disambut oleh seorang pria yang tampak berekspresi datar. Mereka di bawa memasuki Mansion mewah itu dan berhenti tepat di ruang tengah ruangan itu.
Damian membola saat melihat siapa yang kini duduk di sofa ruangan itu menatapnya dan Maxime dengan tatapan dinginnya.
"Lucas?," batin Damian. Ini adalah pertemuan secara langsungnya dengan pria yang bernama Lucas itu. Selama ini ia hanya melihat gambarnya saja yang ditunjukkan Kakek Armand.
Damian bertanya-tanya dalam hatinya, untuk apa sahabatnya mendatangi markas musuh dengan tangan kosong. Dan yang membuatnya semakin bingung adalah mereka masuk kesini dengan begitu leluasa. Apakah selama ini Maxime bekerja sama dengan Lucas dan oleh sebab itu tiba-tiba saja pria itu mengundurkan diri dari kelompok yang dipimpin oleh Kakek Armand. Segala pertanyaan bersarang di kepalanya saat ini
"Maxime... silahkan duduk!," ujar Lucas masih dengan tatapan dinginnya.
Maxime tampak mengangguk pelan.Ia tidak langsung berbicara apa tujuannya datang kesini dan membuat janji dengan Lucas. Ia membiarkan pelayan menyajikan minuman terlebih dahulu.
"Aku mengucapkan terimakasih padamu Maxime karena sudah membiarkanku pergi malam itu," ucap Lucas membuat Damian tampak terkejut dengan ucapan Lucas. Pria itu tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Lucas.
"Hm"
"Oh ya ada apa kau datang kesini?," tanya Lucas.
"Ini tentang kebenaran mengenai Grandpaku," jawab Maxime.
...****************...
semoga para penjaga tidak ada yg berkhianat
bagaimana busuk nya kake Arman