kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
"Mas Satria."
Satria mengulas senyum. pagi ini ia memang mengajak Adiba jalan-jalan seusai mengantar Faraz ke sekolah.
"Mantau sawah, mas?" tanya wanita yang berdiri di samping Novi.
"Iya, keliling jalan-jalan sama istri," ucap Satria menggenggam tangan Adiba. "Mau nganter makanan buat buruh?"
"Iya, mas. Skalian mau ngajar anak-anak."
"Ohz ya udah, kami duluan ya." Satria melangkah seraya menggandeng Adiba. Lalu tiba-tiba ia berhenti dan menoleh, "Nov!" panggilnya.
"Terima kasih untuk perhatian mu semalam sama Faraaz."
Novi tersenyum tipis melirik Adiba sebentar. "Jangan bilang begitu, mas. Faraz sudah seperti anakku sendiri sendiri. Sejak kecil kami memang sudah dekat. Jadi, aku juga merasakan apa yang mas rasakan saat Faraz dalam bahaya," katanya tersenyum sinis pada Adiba.
Satria mengangguk.
"Kamu juga harus lebih memperhatikan dirimu sendiri," ucapnya bersuara lagi, tapi tangannya yang menggenggam tangan Adiba semakin erat dan bertaut, karena istrinya itu sudah hendak menarik. Adiba merasa muak saja dengan percakapan seperti ini. "Kamu masih muda, banyak hal yang harus kamu prioritaskan dari pada Faraaz. Agar nantinya kamu bisa menemukan pria yang kamu cintai dan mencintai kamu dengan tulus."
Ucapan satria sangat mencubit hati Novi, ia tau sekali jika satria hanya ingin menenangkan dirinya.
"Nov, percayalah, kamu berharga bagi pria yang sungguh-sungguh mencintaimu. Seperti dia yang sangat berharga untukku," sambung Satria seraya menoleh pada Adiba.
"Terima kasih. Aku tidak berminat pada lelaki saat ini, mas." lirih Novi berucap sambil menunduk. matanya terus memperhatikan Satria dan Adiba yang melangkah kian menjauh.
***
"Kenapa mas berkata seperti itu pada Mbak Novi?" tanya Adiba setelah langkah mereka kini sampai di jalan setapak menuju Playgrup Faraaz.
"Kenapa?"
"Mas Satria perhatian banget." Bibir Adiba mengerucut.
"Kamu cemburu?"
"Enggak, siapa juga yang cemburu. Diba cuma nggak suka ada wanita lain. Mending mas ceraikan Adiba dari pada mendua."
"Diba!"
Satria berucap dengan suara lebih berat, hingga membuat Adiba terjengit.
"kenapa bicara seperti itu lagi?!" mata Satria terlihat marah, dan membuat Adiba sedikit gugup.
"Bi-bicara apa?" Adiba malah pura-pura tak tau maksud Satria.
"Mas nggak suka kamu ngomong-ngomong seperti tadi. Istri mas cuma satu, Adiba Khanza Az-Zahra. Sampai mas mati nanti."
Adiba terkesima, dalam diamnya.
"Tolong jangan bahas ini lagi. huummm?" Satria menyentuh wajah Adiba yang malah berdebar karenanya.
Adiba menuduh, mengusir debaran dan gugupnya. "ihh, apaaan sih?" batinnya.
***
Malam harinya,
"Mas, kenapa Faraaz bisa sampai trauma pada air kolam?" tanya Adiba saat mereka tidur bertiga dengan Faraaz di tengah. Ia mengelus rambutnya yang lembut sambil memperhatikan wajah lelap anak itu. Di luar, cuaca mendung dan suara jangkrik terdengar beradu dengan nyanyian alam.
Satria, yang menepuk-nepuk bokong Faraaz yang lelap itu , menghela napas dan mulai menjelaskan. "Waktu Faraaz baru dua tahun, kita pergi ke sebuah pesta ulang tahun bertemakan outdoor di daerah kaki bukit yang ada danaunya. Saat itu, mas dan mbakku menyewa sebuah perahu untuk keliling danau."
Satria menghela napas sejenak, lalu mulai melanjutkan, " Entah apa yang terjadi, perahu itu oleh di tengah danau dan mereka tengelam. Beruntung, saat itu ada seorang gadis berseragam Pramuka yang menyelamatkan Faraaz sampai ke tepi danau," kata Satria dengan nada suara berat, seraya menatap dalam istrinya.
"Ooh, begitu."
Adiba jadi merasa sangat gugup tiba-tiba satria menatap seperti itu. Ia mengalihkan pandangan pada wajah Faraaz yang menggemaskan."Sejak saat itu, dia jadi sangat takut pada air, terutama pada kubangan air yang banyak dan dalam," lanjut Satria, matanya sayu menatap Faraaz yang kini bersembunyi di pelukan Adiba.
"Mas, Faraaz nggak bisa seperti ini terus, kita harus membantu Faraaz mengatasi rasa takut ini," ucap Adiba, menatap mata Satria.
"Kami sudah pernah melakukannya, Adiba. Melakukan terapi dan berakhir seperti saat bersamamu kemarin. Kami sudah tak mau mengambil resiko."
"Apa aku boleh mencobanya?" tanya Adiba memberanikan diri.
Satria terlihat ragu, menimbang-nimbang hal yang tepat dilakukan.
"Kasihan Faraaz jika tetap dibiarkan begini. Boleh ya Adiba mencobanya? Jika mas Satria sangat khawatir, kita bisa lakukan bersama." Adiba mencoba meyakinkan. "Atau, jika tidak, ijinkan aku mencoba sekali, jika Faraaz ternyata masih trauma, Adiba akan mundur."
Satria menatap wajah istrinya, terlihat jelas kesungguhan di sana. Ia akhirnya mengangguk. "Tapi, mas juga harus ada di sana."
Adiba mengulas senyum, lalu mengangguk. "Iya, tentu saja, mas."
Hari berikutnya,
Pada hari yang cerah, Satria membawa keluarganya ke sebuah restoran terbuka yang dilengkapi dengan kolam kecil yang mengalir seperti sungai. Adiba, dan Faraz, tampak antusias dengan pemandangan yang menenangkan tersebut. Sambil menunggu pesanan mereka datang, Adiba memutuskan untuk memanfaatkan waktu dengan bermain air di kolam. Seperti rencananya tadi.
"Faraaz, lihat nih! Airnya segar banget!" seru Adiba sambil menyentilkan air ke arah bocah lima tahun itu.
Uuuuh, dingin, Umi!" Faraz meringis dari tepi pembatas Gasebo di pinggir kolam, tangannya mencengkeram erat pinggiran kayu.
"Ayo masuk sini!" rayu Adiba,"enggak dalam kok. Tuh, lihat, cuma segini." Seraya menunjuk kakinya yang terendam air.Faraz yang tadinya ragu-ragu, mengamati ibu sambungnya yang sudah berada di dalam kolam dengan air yang setinggi betisnya.
"Ayok!"
Senyum Adiba yang ceria dan percikan air yang menyenangkan itu membuat Faraz penasaran. Namun, ketakutan kecil masih terpampang di wajahnya.
Faraaz menggeleng, "Enggak, Umi!" tolaknya. Tapi, dapat Adiba lihat bahwa binar mata Faraz sangat tertarik.
"Ayolah, Raz! Jangan takut, ya? Kan ada Umi!" Adiba melambaikan tangan, mengajak Faraz untuk bergabung."Ayok, sana! Kamu nggak ingin ikut masuk?" Satria ikut memberi semangat. "Tuh lihat, umi aja seneng banget main air."
Faraaz masih kukuh menggeleng.
"Abi sini dong kalau Faraaz nggak mau!" Adiba ikut menyeret satria agar mau turun ke kolam yang mengalir seperti sungai itu.
Satria tersenyum dan menggeleng.
"Ya pantas ajalah, Faraaz nggak mau, Abi-nya aja nggak mau masuk."
"Mas nggak bawa ganti, Adiba."
Adiba tersenyum jail, lalu berjalan mendekat menarik Satria dengan paksa.
"Apa-apaan ini, Diba!" protes satria yang ditarik paksa Adiba. "Ayok! Nggak seru dong kalau cuma Diba yang basah!"
Adiba tertawa, lalu melirik Faraaz. "Faraz, bantu umi dorong tubuh Abi! Berat banget."
"Enggak, enggak! Mas nggak bawa ganti, Adiba!"
"Ayok! Faraaz tolongin!"
Reflek, Faraaz mendorong belakang satria sampai pria itu masuk ke kolam dan menimpa Adiba. Bibir mereka bahkan hampir bersentuhan.