Sekelompok anak muda beranggotakan Rey Anne dan Nabila merupakan pecinta sepak bola dan sudah tergabung ke kelompok suporter sejak lama sejak mereka bertiga masih satu sekolah SMK yang sama
Mereka bertiga sama-sama tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena terbentur biaya kala itu Akhirnya Anne melamar kerja ke sebuah outlet yang menjual sparepart atau aksesories handphone Sedangkan Rey dan Nabila mereka berdua melamar ke perusahaan jasa percetakan
Waktu terus berlanjut ketika team kesayangan mereka mengadakan pertandingan away dengan lawannya di Surabaya Mereka pun akhirnya berangkat juga ke Surabaya hanya demi mendukung team kesayangannya bertanding
Mereka berangkat dengan menumpang kereta kelas ekonomi karena tarifnya yang cukup terjangkau Cukuplah bagi mereka yang mempunyai dana pas-pasan
Ketika sudah sampai tujuan yaitu stadion Gelora Bung Tomo hal yang terduga terjadi temannya Mas Dwi yang merupakan anggota kelompok suporter hijau itu naksir Anne temannya Rey.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanyrosa93, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gara-gara Mabar
Ketika Anne dan Mas Yuda sedang kasmaran-kasmarannya, entah kenapa hari ini pasangan Rey dan Nabila mendadak ribut. Permasalahannya hanya karena hal sepele, Rey yang masih sering begadang dan Mabar game online bersama teman-temannya.
Di sebuah sudut kota yang selalu dipenuhi hiruk-pikuk kehidupan, Rey dan Nabila duduk di sebuah kafe kecil tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Namun, suasana hari ini berbeda. Wajah Nabila tampak masam, bibirnya tertutup rapat, sementara Rey menatap ponselnya dengan gelisah.
"Gue cuma main sebentar, yank Bil," ujar Rey dengan nada sedikit lelah.
"Sebentar?" Nabila mendengus. "Elu bilang sebentar, tapi nyatanya sampai pagi. Setiap hari! Lu kira gue nggak capek?"
Rey menghela napas. Ini bukan pertama kalinya mereka berdebat soal ini. Sejak awal pacaran, Rey memang suka bermain game online bersama teman-temannya. Namun, akhir-akhir ini, kebiasaannya semakin menjadi-jadi. Hampir setiap malam ia begadang, terjaga hingga subuh, sementara Nabila hanya bisa mengirim pesan yang sering kali tak terbalas.
"Nabila, gue butuh waktu buat refreshing juga. Ini cuma hiburan," kata Rey berusaha membela diri.
"Tapi kapan lu mikirin gue? Gue selalu nungguin lu, berharap kita bisa ngobrol sebelum tidur, tapi lu malah sibuk sama game itu. Gue capek, Rey," ucap Nabila, suaranya mulai bergetar.
Di sudut ruangan lain, Anne dan Mas Yuda sedang menikmati waktu mereka bersama. Mereka tampak seperti pasangan yang sedang kasmaran, saling tersenyum dan bercanda. Anne bahkan menyuapi Yuda sesendok es krim, membuat suasana di meja mereka terasa begitu hangat.
Kontras dengan itu, meja Rey dan Nabila terasa begitu dingin.
"Gue nggak ngerti kenapa lu nggak bisa kompromi sedikit aja," lanjut Nabila. "Gue nggak melarang lu main game, tapi tolong, Rey, jangan sampai berlebihan. Gue cuma minta lu lebih memperhatikan gue."
Rey terdiam. Ia tahu Nabila benar. Ia menyayangi Nabila, tapi di sisi lain, ia juga menikmati waktunya bermain game.
"Jadi, mau lu gimana?" akhirnya Rey bertanya, mencoba mencari solusi.
Nabila menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Gue cuma mau kita punya waktu yang berkualitas. Kalau lu main game terus, kapan kita benar-benar ngobrol? Kapan gue merasa dihargai?"
Rey menunduk, merenungkan kata-kata Nabila.
"Gue akan coba kurangi," katanya akhirnya. "Gue nggak mau kehilangan lu, Bil."
Senyum tipis muncul di wajah Nabila. Ia tahu ini bukan perubahan yang bisa terjadi dalam semalam, tapi setidaknya Rey berusaha. Itu sudah cukup baginya untuk saat ini.
Sementara Di meja sebelah, Anne dan Mas Yuda masih tertawa bahagia, tak menyadari bahwa di sisi lain kafe, sepasang kekasih sedang berjuang mempertahankan hubungan mereka.
“ Mas, apa orang tua Mas tidak apa-apa kalau anaknya merantau ke luar kota?” tanya Anne tiba-tiba memecah ketegangan yang sempat menggantung di antara mereka.
Mas Yuda, yang tengah menyeruput kopinya, terdiam sejenak. Matanya menatap lurus ke arah Anne, seolah mencari sesuatu di balik pertanyaan itu.
"Mereka pasti kaget kalau dengar kabar ini," jawabnya akhirnya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya. "Tapi mereka juga tahu kalau aku nggak bisa terus-terusan di rumah. Aku harus mencari jalan sendiri."
Anne mengangguk pelan, tangannya mengaduk-aduk sisa es di dalam gelasnya. Ia tahu, keputusan untuk pindah ke Tasikmalaya bukan perkara mudah bagi Mas Yuda. Selama ini, keluarga selalu menjadi prioritas utama bagi lelaki itu. Meninggalkan kota tempatnya tumbuh besar berarti meninggalkan banyak kenangan—dan yang lebih sulit lagi, meninggalkan orang-orang yang menyayanginya.
"Aku nggak ingin Mas Yuda merasa terbebani. Kalau Mas ragu, aku bisa menjalani hubungan LDR dari sini."
"Jangan begitu," potong Yuda cepat. "Aku yang harus berani ambil keputusan ini. Kalau aku terus menunda-nunda, kita nggak akan pernah melangkah ke mana-mana."
Anne tersenyum tipis. Jawaban itu sedikit melegakannya, tapi tetap saja ada kecemasan yang mengganjal di dadanya.
"Aku cuma takut Mas jadi menyesal nantinya."
Yuda meraih tangan Anne yang sejak tadi bersandar di meja. Ia menggenggamnya erat, menghangatkannya di antara jemarinya sendiri.
"Anne, dengerin aku. Aku nggak akan menyesal. Aku memilih ini karena aku percaya sama kita."
Anne menghela napas panjang. Tatapan Yuda begitu meyakinkan, dan ia ingin sekali percaya sepenuhnya pada kata-kata lelaki itu.
Di meja lain, suara debat masih terdengar. Ada sepasang kekasih yang sedang menikmati ketegangan mereka, dengan adanya beban. Tapi di sini, di sudut kafe yang lebih tenang, Anne dan Yuda sedang berusaha mencari cara agar mereka tetap bisa bersama.
Hujan mulai turun di luar, menambah dinginnya sore itu. Namun di antara genggaman tangan mereka, ada hangat yang perlahan menyusup—membisikkan harapan bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.
Begitu hujan mulai reda, Rey dan Nabila mengajak Anne dan Yuda untuk pulang bareng. Karena Nabila mulai agak suntuk juga setelah beberapa waktu Nabila sempat bertengkar dengan Rey.
“ Anne, pulang yuk...hujan udah reda, nih! ” ajak Nabila tiba-tiba.
Anne menoleh ke arah Nabila yang sudah berdiri sambil merapikan tasnya. Ia melirik Yuda yang duduk di sampingnya, lalu ke arah Rey yang masih sibuk memainkan ponselnya.
“Hm, iya, boleh,” jawab Anne sambil mengangkat tubuhnya dari bangku cafe yang sudah mulai banyak pengunjung lain. “Kamu ikut kan, Mas ?”
Yuda menghela napas pelan sebelum akhirnya mengangguk. “Ya, daripada duduk di sini kelamaan. Lagian udah agak dingin juga.”
Rey akhirnya mendongak dari ponselnya dan menatap mereka bertiga dengan tatapan malas. “Kalian heboh banget. Dari tadi juga kita pasti pulang bareng.”
Nabila hanya mendengus, tapi tak membalas ucapan Rey. Masih ada sedikit sisa kesal dalam hatinya setelah pertengkaran kecil mereka tadi.
Mereka mulai berjalan beriringan di trotoar yang masih basah, aroma tanah basah menguar di udara. Langit sore masih diselimuti awan kelabu, tapi hujan tampaknya benar-benar sudah berhenti.
Anne berjalan di samping Nabila, sementara Yuda dan Rey berjalan di belakang mereka. Langkah mereka lambat, mungkin karena menikmati udara sejuk setelah hujan.
“Lu masih kesal sama Rey?” bisik Anne, cukup pelan agar hanya Nabila yang mendengar.
Nabila mendesah. “Nggak tahu. Gue malas bahas itu sekarang.”
Anne mengangguk mengerti. Ia tahu kalau Nabila butuh waktu untuk menenangkan diri, apalagi kalau menyangkut Rey.
“Eh, nanti malam ada acara di kafe dekat kampus, loh. Mau mampir?” tanya Yuda tiba-tiba, mencoba mencairkan suasana.
“Kafe yang mana?” tanya Anne.
“Itu, yang ada live music-nya tiap Sabtu malam,” jelas Yuda.
Rey mengangkat alis. “Ada acara spesial?”
“Katanya ada band baru yang bakal tampil. Lumayan buat hiburan.”
Anne terlihat tertarik, sementara Nabila masih tampak ragu. Rey, yang sejak tadi diam, akhirnya menoleh ke arah Nabila.
“Kalau ayank Nabila nggak mau ikut, gue juga nggak masalah,” katanya dengan nada datar.
Nabila melirik Rey sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kita lihat nanti aja.”
Rey tersenyum kecil, meskipun Nabila tak melihatnya. Setidaknya, jawaban itu berarti masih ada harapan untuk memperbaiki suasana di antara mereka.
Mereka terus berjalan hingga tiba di persimpangan yang akan memisahkan jalan arah pulang masing-masing sambil menunggu taksi online datang. Anne dan Yuda menatap satu sama lain, lalu menoleh ke arah Nabila dan Rey.
“Jadi, nanti kita ketemu di kafe atau gimana?” tanya Yuda lagi.
Nabila menatap Rey sekilas sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Oke. Kita lihat nanti.”
Senyuman kecil kembali muncul di wajah Rey. Entah kenapa, hujan yang reda ini seakan membawa sedikit harapan baru.
***