Di era 90-an tanpa ponsel pintar dan media sosial, Rina, seorang siswi SMA, menjalani hari-harinya dengan biasa saja. Namun, hidupnya berubah ketika Danu, siswa baru yang cuek dengan Walkman kesayangannya, tiba-tiba hadir dan menarik perhatiannya dengan cara yang tak terduga.
Saat kaset favorit Rina yang lama hilang ditemukan Danu, ia mulai curiga ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Apalagi, serangkaian surat cinta tanpa nama yang manis terus muncul di mejanya, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah Danu pengirimnya atau hanya perasaannya yang berlebihan?
“Cinta di Antara Kaset dan Surat Cinta” adalah kisah romansa ringan yang membawa pembaca pada perjalanan cinta sederhana dan penuh nostalgia, mengingatkan pada indahnya masa-masa remaja saat pesan hati tersampaikan melalui kaset dan surat yang penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom alfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Operasi Mata-Mata yang Berantakan
Rina duduk di kursinya dengan tatapan kosong, matanya menatap buku yang terbuka di depannya, namun pikirannya jauh melayang. Hari itu, seperti biasa, pelajaran matematika berlangsung membosankan. Ia berusaha keras untuk tidak mengalihkan perhatian ke hal lain, tapi tak bisa menahan rasa penasaran yang terus mengganggu. Surat-surat cinta yang misterius, kaset yang hilang, dan Danu—semuanya seperti teka-teki yang tak bisa ia pecahkan.
“Eh, Rina!” suara Sari membuat Rina terlonjak. Sahabatnya itu sudah berdiri di sampingnya dengan senyum lebar dan ekspresi nakal. “Gimana? Kamu udah siap untuk ‘operasi’?”
Rina menggelengkan kepala sambil memutar matanya. “Sari, aku gak tahu nih. Rasanya aneh aja kalau harus nyari tahu tentang Danu kayak gini.”
“Tapi kan kamu penasaran banget! Kapan lagi kamu punya kesempatan buat tahu lebih banyak tentang dia? Ini kan momen emas,” Sari berkata sambil menyunggingkan senyum penuh arti. “Lagipula, kita juga kan harus cari tahu siapa pengirim surat cinta itu.”
Rina menggigit bibirnya, tak yakin. Namun, ia tahu bahwa Sari tak akan berhenti membicarakan hal ini sampai ia setuju. Lagipula, rasa penasaran yang semakin membuncah membuatnya tak bisa lagi menghindar dari ide gila ini.
“Baiklah, Sari. Tapi jangan sampai ketahuan, ya. Aku nggak mau jadi bahan omongan di sekolah,” Rina akhirnya menyerah.
Sari langsung tersenyum lebar. “Setuju! Oke, rencananya begini: kita ikuti Danu pulang sekolah. Kita perhatikan dari kejauhan, siapa tahu dia ngasih petunjuk lebih lanjut tentang siapa yang nulis surat itu. Kalau perlu, kita ikutin sampai dia pulang ke rumah.”
“Eh, tunggu dulu, Sari. Kamu serius?” Rina berkata setengah tidak percaya.
“Serius dong!” jawab Sari sambil menunjuk-nunjuk ke arah Danu yang duduk beberapa bangku di depannya, tampak asyik dengan Walkman-nya, menutup dunia sekitarnya. “Lihat itu, dia lagi asyik sama kasetnya. Siapa tahu dia punya kaset lagi yang bisa jadi petunjuk!”
Rina menarik napas dalam-dalam. Ia memang merasa penasaran, tetapi menyusun rencana ini bersama Sari terasa seperti langkah gila. Namun, ia tak bisa membantah, ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk mengambil langkah ini.
Setelah bel berbunyi, mereka berdua bergerak cepat keluar dari kelas. Sari sudah mengeluarkan peta kecil dari tasnya dan mempelajarinya dengan serius, meskipun jelas itu hanya bentuk dramatisasi yang dibuat-buat. “Kita harus ambil jalan belakang supaya Danu nggak curiga,” katanya sambil menarik lengan Rina.
Mereka berjalan dengan hati-hati, menyelinap melalui gang-gang sempit di belakang sekolah. Rina hampir saja tertawa melihat Sari yang berusaha keras untuk terlihat serius, padahal seluruh tubuhnya bergetar karena terlalu bersemangat.
“Ayo cepat, Rina! Jangan sampai kita ketinggalan!” bisik Sari dengan suara tegang.
Di depan, Danu baru saja keluar dari gerbang sekolah, tampaknya tidak sadar ada dua gadis yang mengikuti jejaknya. Rina dan Sari berusaha tetap di belakang, berusaha untuk tidak terlalu mencolok. Mereka bersembunyi di balik pohon dan tiang listrik, menunggu Danu untuk melangkah lebih jauh.
Namun, tanpa mereka sadari, ada seorang siswa lain yang juga baru keluar dari sekolah, dan tanpa sengaja mereka malah mengikuti orang tersebut. Sari yang sibuk mengamati peta dan Rina yang terpaku pada Danu, tanpa sengaja berbelok ke arah yang salah.
“Danu, di mana Danu?” Rina berbisik pada Sari, saat menyadari mereka telah berbelok dari rute yang benar.
Sari memeriksa sekeliling dengan panik, dan akhirnya ia baru sadar bahwa mereka telah mengikuti orang yang salah. “Aduh! Kita salah orang, Rina!” serunya dengan penuh kebingungannya.
Rina yang merasa geli, hampir tertawa terbahak-bahak. Mereka berdua melihat sosok yang mereka ikuti, ternyata hanya teman sekelas mereka, Arief, yang sedang berjalan pulang. Bukan Danu. Danu sudah jauh di depan mereka, dan kedua gadis itu malah mengikuti Arief yang sedang asyik dengan topi baseball-nya.
“Aduh, malu banget!” Rina hampir tidak bisa menahan tawanya. “Kita ngapain sih?”
Sari menggaruk kepala, cemas. “Sabar, sabar! Kita kan masih bisa lihat Danu di depan sana!”
Mereka akhirnya berlari mengejar Danu, dan kali ini, mereka berhati-hati agar tidak salah lagi. Setelah berlari beberapa ratus meter, mereka kembali menemukan Danu yang sedang berjalan sendirian di jalan sepi. Kali ini, mereka memastikan untuk tetap di belakangnya tanpa membuat suara.
Setelah beberapa saat, Danu berbelok ke toko kaset, yang cukup terkenal di kota mereka. Rina dan Sari terkejut, karena mereka tidak menyangka bahwa Danu akan masuk ke dalam toko itu. Toko kaset itu selalu ramai dengan anak muda yang suka berkumpul di sana setelah sekolah.
“Danu pasti suka musik banget ya,” bisik Rina sambil memperhatikan Danu yang masuk ke dalam toko.
“Lihat tuh! Dia masuk ke dalam! Apa kita masuk juga?” tanya Sari.
Rina menatap toko kaset itu sebentar. “Mungkin kita bisa masuk, tapi jangan sampai dia tahu kalau kita mengikuti dia. Kalau nggak, kita malah jadi kayak detektif yang aneh!”
Sari mengangguk setuju. Mereka memutuskan untuk masuk, namun tetap berusaha agar tidak menarik perhatian Danu. Rina merasakan jantungnya berdegup kencang. Mereka memeriksa rak-rak kaset di sekeliling mereka, mencoba untuk terlihat seperti pelanggan biasa.
Saat mereka sedang sibuk memeriksa kaset, Rina secara tidak sengaja melihat Danu sedang berbicara dengan penjual toko. Matanya sempat melirik sekeliling dan… Rina merasa bahwa Danu menatapnya sekilas.
“Mungkin dia tahu kita mengikuti dia,” bisik Rina dengan gugup.
Sari buru-buru mengajak Rina pergi dari sana, namun Danu sudah lebih dulu pergi. Saat mereka keluar, Rina merasa sedikit canggung dan bingung. “Aduh, kita salah langkah lagi,” gumamnya.
Namun, meskipun operasi mata-mata mereka berantakan, Rina merasa bahwa ada satu hal yang semakin jelas: Danu bukanlah orang yang bisa dia ketahui begitu saja. Ia masih menyimpan misteri, dan itu semakin membuat Rina semakin tertarik untuk mengenalnya lebih dalam.
“Apa yang kamu pikirkan, Rina?” tanya Sari dengan serius, meskipun senyum nakalnya masih tersisa.
“Aku nggak tahu, Sari. Tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Aku cuma nggak tahu apa itu,” jawab Rina, matanya menatap ke arah jalan di mana Danu pergi.
Sari menepuk pundaknya. “Nggak apa-apa, Rina. Semua ini masih permulaan. Kita akan terus cari tahu. Pasti ada sesuatu yang menyenangkan di balik semua misteri ini.”
Rina tersenyum tipis, meski masih merasa sedikit bingung. Namun, ia tahu bahwa perjalanan ini, meskipun penuh kesalahan, baru saja dimulai.