Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua tiga
Firda yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan, menyaksikan semuanya dengan jantung berdebar. Dia merasa seperti sedang menyaksikan drama keluarga yang rumit, yang seharusnya tidak ia campuri.
Namun, ada sesuatu tentang pemuda itu yang membuatnya merasa tidak tega. Wajahnya mungkin terlihat dingin dan acuh tak acuh, tetapi Firda yakin ada kesedihan yang tersembunyi di balik ekspresinya.
Luka di pelipisnya masih belum diobati, dan darah yang mengering mulai meninggalkan noda gelap di kulitnya. Ayah pemuda itu bahkan tak mau repot-repot menanyakan mengenai luka putranya, seolah itu adalah hal yang sudah biasa. Bagaimana jika putranya benar-benar mati? Akankah ia tetap seperti ini atau... menyesal?
Firda menggigit bibir, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
“Kamu... masih terluka,” ucap Firda dengan suara pelan, hampir berbisik.
Pemuda itu menoleh padanya, matanya bertemu dengan mata Firda. Sorot tatapannya yang dingin membuat Firda ingin mundur, tetapi Firda keras kepala. Dengan mengumpulkan nyali yang ia miliki, ia nekat tetap berdiri di tempatnya.
“Aku... mungkin ada apotek di dekat sini. Aku bisa membelikan obat kalau kamu mau.”
Namun, secepat kilat Firda langsung menyadari bahwa dirinya tidak memegang sepeser pun uang sama sekali. Alhasil, buru-buru ia memberikan klarifikasi, "T-Tapi aku nggak punya uang, maksudku... Kamu bisa memberikan aku uang untuk aku ke apotek membeli ob-"
"Tidak perlu,” jawab pemuda itu menyela ucapan Firda yang belum selesai sambil mengalihkan pandangannya ke depan. Suaranya terdengar dingin, nyaris seperti tidak berterima kasih. “Aku baik-baik saja.”
Firda mengangguk kecil, merasa dirinya terlalu banyak bicara. Namun, dalam hatinya, dia tidak bisa menahan rasa peduli terhadap pemuda itu. Ada sesuatu yang aneh tentang dia, sesuatu yang membuat Firda merasa bahwa pemuda ini telah melalui hal-hal yang jauh lebih buruk daripada dirinya.
Pemuda itu menghela napas dan melangkah keluar. Firda mengikutinya dengan pandangan mata, sementara pikirannya berkecamuk... Akankah pemuda itu meninggalkannya begitu saja di sini? Namun, setelah Firda memikirkan... Memang bukan kewajiban pemuda itu untuk membawa Firda pulang ke rumah.
Tapi... Akankah pulang ke rumah adalah pilihan yang baik untuk Firda saat ini? Bagaimana mungkin dirinya sanggup menampung lampiasan kemarahan dari paman dan bibinya jika mereka tahu Firda kabur malam ini, menolak disetubuhi oleh pria asing.
Bahkan untuk membayangkannya saja Firda tak sanggup. Itu sungguh menjijikan!
Perlahan Firda mengikuti langkah pemuda itu dari belakang. Sebagaimana dugaannya, pemuda itu memang tengah berjalan ke arah mobilnya sendiri yang ini terparkir di pinggir jalan.
Alhasil Firda memilih berhenti... Merasa tak pantas untuk ikut karena dirinya memang hanya menumpang di mobil pemuda itu.
Akan tetapi, tak disangka sang pemuda menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang hingga matanya dapat menangkap siluet sosok Firda yang berdiri mematung di bawah lampu jalan. Gadis itu tampak seperti orang hilang, diam dengan tubuh gemetar. Pakaiannya yang terlalu terbuka membuatnya terus-menerus berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan, meski itu jelas tidak banyak membantu.
Jika pemuda itu memperhatikan dengan intens, sebenarnya saat pertemuan pertama mereka di parkiran klub, Firda memang sudah terlihat sangat kacau sejak awal. Wajahnya basah, sisa air mata yang mengalir tadi malam masih meninggalkan jejak.
Bagaimana mungkin ada orang seperti itu? Sang pemuda bertanya-tanya. Dalam keadaannya sendiri yang kacau balau, bisa-bisanya gadis itu masih mengkhawatirkan kondisi seorang lelaki asing yang bahkan ia tak kenali?
Sesaat, dia merasa harus acuh seperti biasanya, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat egonya pada akhirnya mengalah hingga tanpa sadar ia menggerakkan langkahnya untuk mendekati gadis itu.
“Hei,” panggilnya datar. Firda terlonjak sedikit, menoleh dengan mata yang masih merah dan sembap.
“Kamu nunggu siapa malam-malam begini?” tanyanya. Tidak ada nada lembut dalam suaranya, tapi juga tidak terdengar kasar.
Firda menggigit bibir bawahnya, menunduk sejenak sebelum menjawab lirih, “Aku... nggak tahu.”
Dirinya bahkan tidak memegang ponsel, tak ada uang sama sekali dalam kantongnya. Bagaimana caranya ia mengabari paman dan bibinya? Firda... Di sisi lain ia takut pulang ke rumah, merasa tak sanggup menerima kemarahan dari mereka. Namun, jika tidak kembali ke rumah paman dan bibinya, lantas ke mana lagi ia harus mencari tempat pulang?
Jawaban Firda tersebut tentu saja membuat pemuda itu seketika mengernyit heran. “Gimana bisa nggak tahu? Di mana rumahmu?”
Firda hanya diam. Tangannya semakin erat mencengkeram sisi-sisi tubuhnya, seolah mencoba melindungi dirinya dari dingin malam atau mungkin dari rasa malu yang menusuk.
"Aku bertanya," kata pemuda itu lagi dengan tak sabaran, mendesak Firda untuk segera menjawab pertanyaannya. Tak lama ia mengangguk, lalu berucap dengan nada tak acuh. “Ya sudah, kalau nggak mau jawab, nggak usah."
Dia hampir berbalik, tetapi Firda dengan cepat menghentikan langkahnya membuatnya seketika langsung menghela napas panjang.
"J-Jangan tinggalkan aku, a-aku... sendirian. A-Aku...." Firda hampir menangis ketakutan kala mendapati tatapan dingin pemuda itu menghunus tajam ke arahnya.
Nyalinya ciut menghilang entah ke mana hingga tak tersisa, membuat Firda... kesulitan bicara hingga susunan kalimat yang terkumpul apik dalam otaknya tak mampu keluar dengan baik dari lisannya. Ia mendadak menjadi gagap tak terkendali.
Namun, karena menyadari pemuda itu tetap diam menanti penjelasan darinya meski terbata-bata, akhirnya dengan penuh usaha Firda mencoba menjelaskan meskipun mempunyai banyak keterbatasan.
"Maaf jika aku lancang, t-tapi... Aku nggak mau pulang ke rumah paman dan bibiku. Aku takut.... Aku, apakah, ...." Sudahlah, semua kalimat Firda tertelan begitu saja, ia benar-benar tak punya keberanian untuk mengutarakan keinginannya.
Namun, pemuda itu memiliki karakter yang jauh berbeda dengan Firda. Ia tak suka hal-hal skeptisisme penuh keragu-raguan yang saat ini Firda tampilkan padanya. Karena pemuda itu adalah tipe orang yang tegas dan tidak suka berbasa-basi. Dia selalu mengutarakan keinginan dan pendapatnya dengan jelas penuh tekad dan keberanian.
Sangat jauh berbanding terbalik dengan Firda yang pengecut dan penakut.
"Orang tuamu di mana? Kalau kamu tidak ingin pulang ke rumah paman dan bibimu, seharusnya kamu bisa pulang ke rumah orang tuamu. Maksudku begini, kamu nggak bisa di sini sendirian. Bahaya. Aku bisa mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu, cukup tunjukkan jalannya saja. Bagaimana?”
Firda mengangkat wajahnya perlahan, menatap pemuda itu dengan penuh keragu-raguan. “K-Kamu serius? T-Tapi... orang tuaku sudah meninggal dunia. Aku hidup bersama paman dan bibiku sejak kecil, Aku tidak mau pulang ke rumah itu lagi. Mereka ja....” Sayangnya kata 'jahat' yang hendak Firda ucapkan tertelan begitu saja. Ia menelan ludahnya dengan susah payah.
Nyatanya Firda tak sanggup... mengatakan hal itu.