NovelToon NovelToon
DEVANNA

DEVANNA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Selingkuh / Kehidupan di Kantor / Identitas Tersembunyi / Office Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Evrensya

Laki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan.
Dan wanita bernama Anna Isadora B itu, siap membersamai Devan untuk membalaskan dendamnya- mengembalikan keadilan pada tempat yang seharusnya.

Cinta yang tertanam sejak awal mula pertemuan mereka, menjadikan setiap moment kebersamaan mereka menjadi begitu menggetarkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evrensya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

About Her And Sorrow

Ekor mata Alia melirik sekilas kepada bayangan pria yang berdiri gagah di sampingnya. Dia nampak begitu percaya diri, seolah-olah akan berhasil membawa pergi apa yang menjadi buruannya.

Kali ini Alia memang bersedia menyambut kedatangan Devan, bahkan dengan sambutan yang cenderung formal seolah penuh penghormatan. Namun di balik itu, sebenarnya Alia hendak bermain santai, tanpa harus mengusir langsung dengan ancaman ataupun amarah seperti waktu lalu. Ia juga telah menyiapkan beberapa trik untuk membuat pria itu pergi dengan sendirinya dari sisi Anna.

"Keperluan sepenting apakah yang menyeret anda harus datang ketempat yang kumuh ini, tuan muda?" tanya Alia yang masih enggan menghadapkan diri untuk bertatap muka dengan anak bangsawan itu.

"Maaf nyonya. Sebelumnya, aku ingin menegaskan bahwa kedatangan ku kesini bukan sebagai seorang Boss ataupun membawa statusku sebagai tuan muda, melainkan hanya kunjungan biasa seorang pria kepada wanitanya. Jadi tolong, nyonya tidak perlu berbicara formal padaku." Devan justru berbicara lebih sopan lagi dengan mengabaikan status sosial dirinya.

"Baiklah, jika itu adalah keinginanmu." Meski Alia menyetujui ucapan Devan untuk berbicara non formal, tapi Alia terlihat masih menjaga batasan diri dengan tetap menjaga etikanya. Pengaruh derajat seseorang memang tidak bisa di pungkiri. "Jadi, apa tujuanmu datang kemari?"

"Aku datang meminta izin nyonya untuk makan malam bersama Anna." Kata Devan sambil melayangkan pandang kepada wanita yang masih enggan menoleh kepadanya.

"Tuan muda, mengapa kau perlu meminta izin dariku? dengan kuasamu, bukannya kau bisa melakukan apapun tanpa memerlukan persetujuanku?! Jangan membuat ini sebagai formalitas belaka, jika pada kenyataannya kau bahkan mampu membeli gadis itu dengan kekuasaan uang di tanganmu. Ambil saja, bawa pergi dia sesuka hatimu."

Terlihat jauh berbeda perlakuan Alia pada Devan antara sebelumnya dan saat ini. Dimana sebelumnya ia memperlakukan Devan dengan penuh emosi cenderung kasar. Sedangkan kini, menjadi jauh menjadi lebih menghargai juga nampak bijaksana. Tapi tentu saja ini hanyalah jebakan, jika anak bangsawan itu lengah sedikit, maka dia akan pulang dengan tangan kosong.

"Nyonya, aku datang kesini dengan maksud yang baik, dengan meminta izin terlebih dahulu sebelum membawa putri nyonya pergi. Karna aku bukanlah seorang pencuri yang membawa pergi hak milik orang lain secara diam-diam. Dan juga, putri nyonya bukanlah sebuah barang yang bisa di perjual belikan dan di pergunakan sesuai harga. Itulah mengapa aku memerlukan kerelaan hati nyonya untuk memenuhi janjiku kepada Anna, untuk makan malam bersamanya." Devan menjelaskan maksud dan tujuannya apa adanya.

Alia terkekeh dengan mulut menyeringai mendengar jawaban seorang anak muda yang nampaknya sedang dalam gairah perasaan yang membara. Pernyataan Devan terdengar lucu baginya. Mustahil seorang laki-laki akan konsisten dengan ucapannya, bisa saja kan lain sekarang lain besok. Apapun akan di lakukan oleh seorang pria untuk mendapatkan wanita impiannya, tak akan lama, setelah tercapai hawa nafsunya, semua tak lagi bermakna. Yah, tak apa, bagaimanapun juga, Alia sudah terlanjur menerima kedatangan si tuan muda ini, jadi biarkan saja dia berucap sesuka hati.

"Baiklah. Jika kau bukanlah seorang pencuri dan putriku bukanlah sebuah barang. Lalu siapa Anna bagimu?" jelas disini yang di maksud oleh Alia adalah hubungan pribadi. Bukan bentuk hubungan antara Boss dan karyawan.

Alia kemudian melanjutkan, "apakah dia telah mengusik ketenangan seorang pemburu—semacam binatang hutan yang binal? Jika kau begitu tergoda ingin memilikinya, ambil saja. Lagipula saat ini kau sudah berada di kandangnya, kan." Imbuh mulut wanita yang tak mampu menyembunyikan taringnya.

"Binatang hutan?!" pria itu gigit bibir, "bagaimana bisa Anna umpamakan seburuk itu," ucapnya pelan sambil meremas jemarinya. Devan mulai geram mendengar pernyataan Alia. Meskipun begitu, tidak ada pilihan lain untuk saat ini selain hanya menahan diri.

"Lalu apa?" tanya Alia memancing.

"Nyonya. Jika aku memberikan kepastian saat ini juga, posisi apa yang akan aku berikan pada Anna di sisiku, apakah Anna bisa datang kepadaku sesuka hatinya dengan penuh kebebasan?" Devan berucap dengan nada lebih serius.

Alia mendengus, menghempaskan kabut hangat dari dalam rongga mulutnya, ia mengepalkan tangannya sebagai tanda kesal yang tertahan karena semua ucapannya mampu di putar balikkan dengan sempurna oleh pria muda yang berdiri tak jauh darinya. Rupanya, pria itu tau betul bagaimana caranya keluar dari jebakan yang Alia buat, bahkan berani mengambil keuntungan dari hal tersebut.

"Tuan muda Devan Artyom. Dalam dunia yang apapun bisa kau miliki, mustahil jika tidak di sediakan banyak wanita di sisi mu dari kalangan yang setara denganmu. Jadi, lebih baik kalau kau jangan serakah." Untuk saat ini, Alia berniat mengalihkan pembicaraan, karena jika ia menyanggupi permintaan Devan tadi dengan serius, sudah jelas ia akan kalah. Namanya- senjata makan tuan.

"Iya, kau benar nyonya. Aku memang memiliki seorang wanita yang di pilihkan oleh keluargaku dan sudah bertunangan selama lebih dari enam tahun lamanya. Tapi sesuatu yang sangat buruk telah terjadi, sehingga hubungan itu hanyalah sampah yang membungkus kepentingan orang-orang yang serakah. Hubungan itu tidak ada artinya bagiku, dan aku akan segera mengakhirinya."

"....."

"Karena itu, nyonya tidak perlu menghawatirkan apapun. Tidak ada keserakahan dalam niatku untuk memberikan apa yang sudah aku janjikan pada Anna malam ini. Hubunganku dengan tunanganku tidak ada sangkut pautnya dengan Anna. Jadi aku berharap nyonya tidak keberatan memberikan izin," jawab Devan apa adanya. Suaranya yang khas menyelindap diantara angin malam yang terasa lebih dingin dari biasanya. Bulan yang mulai nampak samar di balik awan suram terkulai begitu kelelahan.

"Tuan Devan! Bukankah jawabannya sudah jelas! Kau bilang kau akan memutuskan hubungan pertunanganmu, kan? Dan jikalau keluarga mu menyangka keputusan mu itu ada kaitannya dengan putriku, Anna yang tidak bersalah pasti dalam bahaya. Sebenarnya, yang kau butuhkan saat ini bukanlah kebebasan Anna ataupun izin mutlak dariku. Tapi kau membutuhkan kebebasanmu sendiri untuk menjamin posisi Anna, agar dia tidak hancur dalam genggamanmu, iya kan?" Alia memang pandai bersilat lidah. Ada saja dari jawaban Devan yang dia gunakan sebagai bahan untuk memojokkan pria itu.

Devan terdiam sejenak, tak langsung menimpali. Angin malam berlintasan di beranda rumah yang selalu sepi ini. Beberapa deru kendaraan roda dua terdengar samar melintas kemudian senyap setelahnya. Ah! Wanita memang memiliki firasat yang kuat dan jangkauan analisis yang tajam. Meskipun Alia hanya berkilah, tapi Devan menyadari bahwa apa yang di katakan wanita tua di depannya ini mungkin saja terjadi.

Sedangkan Anna, yang saat ini sedang menyimak percakapan kedua orang yang ada di luar itu, menyender lemah pada tembok rumah yang bersebelahan dengan garis pintu depan, berhadapan langsung dengan halaman.

Entah malaikat apa yang telah membisiki Ibunya sehingga mau di ajak berkomunikasi dengan cukup baik, meskipun wanita egois dan keras kepala itu tak mungkin mau mengalah. Hati Anna saat ini di penuhi oleh kekhawatiran, nampaknya Ibu sedang berusaha keras dengan sengaja mengotak-atik pemikiran dan emosi Devan agar pria itu menyerah dan mundur dengan sendirinya.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara berat Devan menggema dari balik pintu yang terbuat dari papan kayu ini. Anna menempelkan telinganya lekat, mencoba mendengar dengan jelas apa yang hendak di ucapkan oleh Devan.

"Nyonya, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menuntaskan segala bentuk masalah dengan tanganku sendiri. Tanpa melibatkan Anna di dalamnya dan menempatkannya dalam bahaya. Tapi aku harus mengakui, tanpa Anna di sisiku, tekadku menjadi lemah dan hidupku tidak sempurna. Rupanya, aku benar-benar bergantung dengan keberadaan Anna."

"....."

"Dan jikalau berada di sisiku membuat hidup Anna hancur, setidaknya jangan hilangkan dia dari pandanganku. Dan ketika tiba waktu dimana aku mencapai puncak yang aku tuju, tolong jangan halangi aku untuk mengukuhkan posisi Anna di sisiku, hingga tidak ada siapapun yang berani menyentuhnya. Mungkin terlalu dini untuk mengatakan hal ini, tapi inilah tujuan hidupku."

"....."

"Karena itu, Nyonya. Untuk kali ini, izinkan aku memenuhi janji yang sudah terlanjur aku ucapkan pada Anna. Tolong jangan kecewakan kami." Devan tiba-tiba ambruk, dan mengukuhkan kedua lututnya pada bumi, menundukkan kepala, sedang kedua tangannya bersimpuh di atas pangkuan. Tidak ada salahnya berlutut untuk memohon, apapun itu akan ia lakukan untuk Anna.

Demi Tuhan. Alia harus takjub! Ya, wanita berhati batu itu harus takjub dengan gelegar cinta yang sedang di ungkapkan pria tangguh itu meski tanpa kata-kata cinta di dalam kalimatnya.

Di bawah langit malam yang terhampar tanpa cahaya, yang sejujurnya sebagai tamparan keras bagi Alia yang sebagai Ibu justru selalu merasa bahwa Anna adalah anak pembawa sial yang pernah ingin di bunuhnya ketika masih di dalam kandungan, bahkan hingga beberapa saat yang lalu. Bukan, setiap kali emosinya meluap tak terkendali.

"Jika benar pria ini tidak mengenali Anna, bahkan tidak mengingat kisah pertemuan mereka, lalu apa yang membuat pria ini sampai begitu cepat mengukuhkan posisi Anna dalam hatinya. Tidak! Pria ini adalah seorang Hunter yang ulung, dia sangat berbahaya, dia menggunakan jebakan yang indah untuk menjebak buruannya. Anna adalah milikku, mana bisa manusia yang tak tahu datangnya dari mana, ingin mengambilnya dariku." Alia menelan paksa air ludah yang terasa pahit, menahan mual yang datang menyergap. Rasa takut mulai menggerogoti hatinya, jika Anna mendengarkan semua percakapan mereka saat ini, setiap kalimat yang terlontar dari mulut pria ini bisa saja meluluhkan hati Anna.

Lalu, Alia segera merubah posisinya, menghadap Devan yang tak bergeser sedikitpun dari tempatnya sejak awal. "Tuan Devan. Apa yang membuatmu begitu menyukai perempuan rendahan yang buruk rupa itu. Apakah selera orang-orang kaya sepertimu memang agak sedikit aneh?" Alia tidak punya pilihan lain, selain menyerang secara personal.

"Nyonya, apakah kau tidak bisa melihat nilai dari putri Nyonya sendiri? Apanya yang aneh dan rendahan, bukankah pernyataan Nyonya terlalu kejam?" Devan masih memiliki celah untuk melintasi jebakan demi jebakan yang buat oleh wanita keras kepala itu.

"Kalau aku adalah Ibu yang kejam, maka tunjukkanlah bagaimana caramu menjadi pria yang baik, dengan cara menikahi Anna. Apa kau sanggup, Tuan?!" Alia berteriak sedikit kencang. Kali ini ia sudah berada dalam puncak pertahanannya. Ia sudah tidak mau lagi bertele-tele. Jika pria ini berani menikahi Anna secepatnya secara terbuka di siarkan di ruang publik. Alia mungkin akan mempertimbangkannya.

Devan yang masih berlutut, hendak mengucapkan sebuah jawaban yang begitu mendadak terlintas di kepalanya, sebuah keberanian yang menantangnya untuk menyanggupi permintaan di luar perkiraan nya.

Bang!

Dan di detik-detik itu. Anna langsung membuka pintu dengan suara keras dan menampakkan sosok dirinya dari balik papan kayu berbentuk persegi panjang itu. Dengan setengah berlari ia menghampiri Devan yang masih duduk berlutut, dan membantu pria itu untuk segera berdiri.

Anna mengaitkan tangannya pada lengan Devan dan menarik tubuhnya untuk bangkit. "Ibu cukup! Jangan menekan Devan terlalu jauh. Memangnya apa yang telah dia lakukan sehingga dia harus bertanggung jawab untuk menikahi aku? Tolonglah Bu, meskipun Ibu tidak mengizinkan kami makan malam bersama, setidaknya jangan mempermainkan orang yang telah bersedia merendahkan dirinya di depan Ibu. Seorang Devan Artyom tidak pantas melakukan itu untuk putri Ibu."

Anna sudah tidak bisa menahannya lagi, emosinya meledak di dada walau tak ia tumpahkan semuanya secara nyata. Namun sorot matanya yang bening sedikit berair itu memberikan tanda bahwa jiwanya di liputi duka. Tangannya bergetar kecil untuk meredam air mata yang hendak membuncah di pelupuknya.

Anna menoleh kearah Devan yang terlihat mematung. "Devan, tolong pulanglah! Lupakan soal janji itu, bukan suatu kewajiban bagimu untuk memenuhinya sampai harus memohon seperti ini. Ini salahku, harusnya aku tidak menyanggupinya dan menempatkan mu dalam kesulitan." Anna berusaha mendorong tubuh Devan agar mau meninggalkan tempat ini.

Devan meraih tangan Anna dan mencengkeramnya kuat. "Anna, seorang pria pantang pulang dengan tangan kosong," sahut Devan tanpa ragu.

"Devan, aku mohon..." Suara Anna yang memohon begitu lirih.

"Anna Isadora B!" Suara teriakan Alia merobek lirihan Anna yang memohon agar Devan membatalkan rencana mereka malam ini. "Bukankah aku menyuruh mu untuk diam di dalam? siapa yang mengizinkan mu keluar, huh?!" sergahnya menyalak.

Nafas Anna yang naik turun di dada, sorot matanya yang menatap Alia tanpa kedip itu membuat Devan semakin mengeratkan genggamannya untuk memberikan isyarat ketengan bagi Anna yang nampaknya mulai di pancing amarah.

Anna yang mengerti maksud Devan mulai berusaha mengatur tekanan emosinya.

"Ibu, tolong biarkan Devan pergi. Kita bicarakan masalah ini setelahnya, ya?"

"Aku tidak akan pergi!" sahut Devan dengan memberikan tanda penolakan kuat pada tangan Anna yang ia tarik lebih mendekat padanya.

Lalu ia mengalihkan pembicaraan kepada Alia yang wajahnya sudah merah padam, begitu besar rasa muaknya melihat tingkah Anna yang begitu berani menentangnya di depan pria itu.

"Nyonya, mari kita selesaikan sekarang juga masalah ini. Tolong katakan dengan jelas apa yang sebenarnya Nyonya inginkan dariku, jika Nyonya ingin aku pergi dari kehidupan Anna, aku nyatakan—aku tidak bisa menyanggupinya. Tapi jika nyonya hanya tidak mengizinkan aku makan malam dengannya, aku akan bersedia pulang malam ini dengan harapan kosong, aku tidak akan memaksakan diri." Devan dengan terang-terangan mengakui apa yang sudah menjadi pilihannya pada wanita yang air wajahnya nampak menggelap itu.

Melihat keteguhan Devan yang mengungkapkan kesungguhannya, Alia pun tidak ingin menyembunyikan maksudnya lagi. Baiklah, mari buka saja semuanya.

"Tuan Devan. Apa kau tau, aku paling benci dengan orang yang menyentuh sesuatu milikku tanpa tau malu, apalagi merebutnya dariku. Tinggalkanlah putriku dan carilah wanita yang jauh lebih baik darinya. Kau bisa, bukan? Jangan bersikap seolah-olah wanita yang baru kau temui ini begitu penting bagimu, sangat tidak masuk akal." Alia meremas jemarinya kuat-kuat, sampai urat-urat yang ada di bawah lapisan kulit tipisnya menyembul keluar.

"Ibu..." Anna bersuara, namun tak menemukan kata-kata untuk melanjutkannya.

"Baiklah... tolong dengarkan aku sejenak," pinta Alia yang nada bicaranya tiba-tiba menjadi sedikit melemah.

Devan mengangguk menyanggupi, begitupun juga Anna. Kedua sejoli itu sepakat untuk mendengarkan apa yang ingin di katakan Alia, dengan lapang dada, tentunya. Di susul oleh suara Alia yang terdengar lebih dalam dari sebelumnya.

"Kau mungkin belum tau, di dunia yang luas ini, aku hanya memiliki Anna dan dia hanya memiliki aku, Ibunya. Kami hanya berdua di atas tanah yang begitu keras memberikan jalan takdirnya. Anna memang hidup tanpa seorang Ayah tapi bukan terlahir sebagai anak haram, kau juga harus tau itu. Jadi, Anna hidup tanpa pernah mengenal seorang laki-laki dalam bentuk apapun selama hidupnya. Jikalau dia begitu polosnya sangat mudah kau dapatkan perhatiannya, maklumlah sebab dia mungkin hanya tertarik dengan perasaan baru dan aneh yang kau tawarkan. Lalu, tegakah kau memisahkannya dari Ibu yang telah mengisi seluruh hidupnya?"

"....."

"Semasa hidupnya, Anna telah menanggung gonggongan anjing-anjing yang menebar fitnah dengan mengatakan bahwa Anna terlahir dari hubungan yang haram. Aku tau bagaimana Anna kerap mendapatkan ejekan semasa kecilnya karena hal itu. Namun Anna tidak pernah mengeluh, walaupun hanya menanyakan dimana dan siapa Ayahnya. Anna tidak ingin rasa sakit yang dia dapatkan juga akan menyakiti aku, Ibunya. Karena itu, aku bertekad untuk mengajari Anna, bagaimana caranya bertahan hidup di tengah manusia yang memiliki sifat seperti syetan."

"....."

"Jangan menganggap aku kejam. Aku membesarkan Anna dengan caraku sendiri, cara yang benar-benar membuat dia mengerti bahwa tidak ada satupun yang boleh di percaya di dunia ini, bahkan walaupun itu adalah aku, Ibu yang melahirkannya sendiri. Aku ingin, Anna mencapai titik dimana ia tidak akan pernah kalah dalam hidupnya, tidak akan pernah tunduk pada hukum dunia yang siap menghakiminya tanpa ampun, dan tidak akan pernah menyerah menerima dirinya apa adanya, Anna harus mampu melampaui dirinya sendiri. Jika kau bertanya mengapa aku menutup mata Anna dari dunia luar, menyembunyikan keindahannya, jawabannya adalah karena dia aku anggap belum cukup kuat untuk bertarung dengan dunia."

"....."

"Selama ini, aku menekannya untuk tunduk padaku, bukan untuk menjadi pasrah dan lemah. Aku memiliki tujuan agar dia bangkit melawanku dengan amarah dan senjata di tangannya yang menodong ku tanpa belas kasihan. Tapi nyatanya, dia bahkan tidak mampu menggenggam pisau yang aku berikan padanya untuk di pergunakan dengan benar. Aku memang terlihat tidak mencintainya, tapi hubungan kami telah terikat secara aneh, sehingga tidak ada celah untuk memutuskannya. Bahkan kematian yang beradu di antara kami pun tak berdaya."

"....."

"Suatu waktu aku pernah mencoba membuangnya jauh-jauh, kepada seorang manusia yang mau menghargainya dengan uang yang melimpah. Dengan harapan agar orang itu membawa pergi wanita malang itu dari hidupku selama-lamanya, hingga tak berjejak. Tapi Anna justru melakukan segala cara agar dia selalu tetap berada di sisiku selamanya. Walau Anna tau, betapa sakitnya hidup dan matinya di tanganku. Walau dia tau, dalam duniaku tidak terdapat setitik cahaya kehidupan yang akan menyinarinya. Walau dia tau, di telapak kakiku hanyalah bara api neraka. Wanita itu tetap memilih berjanji membersamai ku hingga akhir."

"....."

"Tuan Devan, menurutmu apakah Anna akan mengkhianati aku demi dirimu? apakah Anna akan rela membuangku pada sudut dunia yang gelap hanya untuk menggapai sekilas cahayamu yang melintas? Dan kau Anna! lihatlah aku, Ibumu. Malam ini aku akan memberikan mu sebuah pilihan, jadi gunakanlah kesempatan ini dengan baik. Jika kau memilih pria di samping mu, maka pergilah selamanya dan jangan pernah kembali, karna aku pasti sudah tiada. Tapi jika kau memilih untuk tetap setia bersamaku sampai akhir, maka tinggalkanlah pria itu, karena dia akan terus hidup meski kau tidak ada. Tapi jika kau tidak ada disisi Ibu, hidup ini akan berakhir."

Alia telah mengungkapkan segala-galanya, meskipun ini adalah salah satu cara untuk mencapai tujuannya, tapi semua yang tadi ia katakan benar adanya.

Benar saja, dari sekian fakta yang di ungkapkan Alia, mampu membuat ikatan tangan dua anak manusia yang saling menggenggam di depannya lepas seketika. Kemudian Devan tiba-tiba kembali terjatuh—berlutut, di susul oleh Anna.

Angin mendesau agak kencang, membisikkan pada malam yang kian kusut, bahwa pertarungan ini tidak di menangkan oleh siapapun. Devan yang mendadak lemah setelah menyimak penuturan Alia yang begitu menusuk, berusaha menguatkan diri untuk berbicara.

"Nyonya, apakah kau berfikir bahwa aku akan merebut Anna darimu? aku sungguh tidak ingin serakah dengan mengambil apa yang bukan hakku. Hanya karena aku menginginkannya bukan berarti aku harus mendapatkannya dengan segala cara, hingga menyakiti sang pemiliknya. Benar, bahwa Anna berhak menentukan hidupnya sendiri, tapi Anna sungguh tidak akan pernah meninggalkan Ibunya sendiri."

Devan meraih kembali tangan Anna kemudian memindahkannya ke atas pangkuannya. Ujung matanya mengintip wajah gemetar Anna yang amat di kasihinya itu, dan Devan tahu bahwa Anna tidak mungkin akan memilih laki-laki asing seperti dirinya, juga tidak bisa mengungkapkan akan membuang seluruh hidupnya demi untuk memuaskan keegoisan Ibunya yang bersiap memenjarakannya dari dunia. Benar, apapun alasannya, hak-hak sebagai manusia harus di bebaskan. Dan tidakk ada pembenaran untuk melakukan kekerasan atas nama cinta.

"Nyonya. Malam ini aku akan mengalah, aku tidak akan membawa pergi Anna walau selangkah pun tanpa izin dari nyonya. Tapi tolong mengertilah, Anna tidak harus menghilangkan nuraninya untuk bertahan hidup di dunia yang kotor ini. Anna yang begitu mencintai Ibunya, adalah satu-satunya fakta bahwa hal itulah yang membuatnya mampu bertahan hidup hingga detik ini. Iya, hanya cinta," tutup Devan dengan kalimat yang begitu nyata menggugah jiwa yang mendengarnya.

Sepasang kelopak mata Anna mengatup rapat, sebab ucapan Devan membuat air hangat yang tak lagi sanggup di bendung tanggul hatinya, yang kian bergetar di goncangkan rasa haru begitu deras menetas di pematang matanya. Berjatuhan ke pipinya, lalu sebagiannya hinggap ke dagu dan lehernya, dan sebagian lainnya jatuh ke tanah. "Benar, aku sangat mencintai Ibu," ungkap nya dengan tangis yang terisak kecil. Hanya dadanya yang terguncang oleh segukan.

Seumur hidup, Anna tidak pernah tau tujuan di balik perlakuan buruk Ibunya selama ini. Begitu mendengar pengakuan tak terduga dari wanita yang selalu bertindak kejam itu membuat hati Anna begitu ngilu. Jika Ibu ingin Anna menjadi kuat dan tak berperasaan, tapi mengapa Ibu lebih memilih menggunakan cara-cara kejam untuk membiasakannya, ketimbang melalui sebentuk kata-kata kebaikan yang tidak mampu di ucapkannya.

Mengapa hubungan antara Ibu dan anak ini begitu menyedihkan, bagaimana semua ini di mulai? entah mengapa... ketika kata cinta itu terucap dari lidah Anna, yang timbul justru sensasi yang amat sangat menyakitkan, menggerogoti hatinya seolah tercabik-cabik.

Alia berdiri. Masih tanpa suara. Namun suara tarikan nafasnya terdengar begitu berat. Lantas wanita tua yang tengah menyembunyikan perasaan sebenarnya di balik ekspresinya yang tak dapat di artikan itu menyeret kakinya yang berat, meninggalkan sepasang manusia yang wanitanya kini jungkal dalam tangisan yang deras, namun dengan suara yang berusaha keras ia tahan. Suara kaki Alia terdengar semakin jauh, kemudian di susul derit pintu kayu yang terkuak, dan tertutup kembali dengan suara yang keras.

Tangisan menyayat itu beberapa jenak masih sempat tertangkap oleh telinga Alia, sebelum kemudian punah di telan dentuman suara guntur yang menggelegar di atas awan yang hitam. Lalu sunyi di gelimpangkan senyap, menyisakan suara angin kencang dari balik kelambu jendela yang di terbangkan angin.

Devan mendekatkan wajahnya ke sisi Anna, hampir tak berjarak. Dengan setengah berbisik Devan bersuara di telinga Anna. "Anna, sepertinya aku harus pulang dengan tangan kosong, maafkan aku yang tidak bisa menepati janjiku padamu."

Suara Devan membuat Anna menolehkan kepalanya dengan pandangan mata yang basah seraya menggeleng-geleng. Lalu kedua telapak tangan Devan dengan lembut menyentuh pipi Anna yang nampak mulai membengkak itu, ibu jarinya mengusap air mata yang masih meleleh disana hingga bersih.

"Anna, aku tau apa sebab kau meluapkan air mata ini. Itu karena untuk pertama kalinya, bibirmu begitu jujur mengungkapkan kemurnian jiwamu tentang cinta yang begitu dalam dan tulus. Cinta memang membuat kita nampak lemah, tapi sejatinya terdapat kekuatan yang tak terhingga disana. Anna, tak mengapa wanita kuat itu menangis, air mata adalah benteng pertahanan agar luka tak menembus inti jiwa." Suara Devan begitu halus merayap menyentuh relung hati Anna.

Devan lalu merengkuh bahu Anna, menariknya lebih dekat menuju dirinya. Ia juga membisikkan sesuatu di telinga Anna. "Masuklah, nampaknya hujan akan segera turun, kita akan bertemu lagi besok di kantor. Datanglah ke taman pribadi ku pada jam makan siang, kita akan makan siang bersama disana, oke?"

Benar saja, belum semenit sejak Devan selesai bicara, gerimis kecil berjatuhan di atas kepala mereka. Titik air yang samar merekat di wajah Devan yang menjanjikan akan mengganti janji makan malam mereka dengan makan siang bersama di kantor.

Anna mengangguk pelan, menyetujui tanpa kata-kata. Lalu iapun bangkit di bantu oleh Devan. "Devan, tolong maafkan Ibuku, atas semua kata-katanya yang mungkin menyakiti dan merendahkan mu."

"Seorang Ibu seharusnya tidak boleh di salahkan, sebab yang salah adalah keadaan yang tidak memberikannya hak untuk memilih atau terpaksa mengambil tindakan yang salah. Aku bisa mengerti itu, Anna."

"Devan..." Anna tertunduk hingga ubun-ubun nya menyatu dengan dada bidang Devan yang masih bergetar.

"Tapi, jika Ibu masih bertindak kasar terhadapmu, tidak ada salahnya melakukan tindakan pembelaan diri, dengan cara-cara yang tidak balik menyakiti, tentunya." Devan menundukkan kepala, merasakan sentuhan kepala Anna yang hangat.

"Aku mengerti."

"Bagus." Devan meraih tangan Anna yang juga mulai menghantarkan kehangatan. Ia mengantar tubuh ramping itu sampai di ambang pintu. "Aku pulang ya," pamit Devan. Mereka bertukar tatap sejenak, lalu membalikkan badan pada arah yang berlawanan.

"Devan. Aku akan berjalan mengikuti arah takdir. Seperti pepohonan yang berkembang pada musim semi dan berbuah pada musim panas. Lalu mereka merontokkan daun-daun sepanjang musim gugur sehingga bertelanjang pada musim dingin. Seperti itulah harapanku menuju mu, bukankah rencana Tuhan selalu jauh lebih indah?"

...• • •...

1
Filanina
Hahaha... hanya kalau ada ayang impotennya sembuh.

btw, ga diceritakan kalau dia selalu teringat 'Anna'?
Filanina
berbaring? Kursinya panjang? Kirain sambil duduk dan bersandar di sandaran kursi.
Evrensya: eh iya, harusnya blm terbaring sih, krna kursinya blm di miringkan sama si pemilik. tengkiyuu koreksinya.
total 1 replies
Filanina
Hari yang panjang... ditambah malam yang panjangkah?
Evrensya: malam yg panjang dgn kesedihan 🥺
total 1 replies
Filanina
Sang multitalenta.
Filanina
udah gede, kenapa nggak pakai baju sendiri?
Evrensya: Harusnya lohh...Pak boss emang banyak tingkah.
total 1 replies
Filanina
sebaper itu ya...
Evrensya: maklum anak poloshh🤭
total 1 replies
Filanina
Adegan seperti ini kayaknya begitu penting di novel wanita.
Evrensya: Kapan lagi ngehalu ngeliat abs cowo cakep klo bukan di novel, plg greget pas nonton Drakor. 🤭
Jadi adegan seperti ini, harus ada😁😁😁
total 1 replies
Cevineine
semangat
Evrensya: yups. makasii....
total 1 replies
Filanina
kalau mandi riasannya luntur dong
Evrensya: nggak mandi, ganti baju seragam cleaning service aja. coz di kritik sama pak Ali karna bajunya kotor abis bersihin taman, 😁
total 1 replies
Filanina
emang Anna bawa baju ganti? 25 menit itu cepat. Dipakai belanja aja habis. masaknya 1 menit apa?
Filanina: iya, baru ingat sempat ganti pakai seragam.
Evrensya: wait.... soal waktu.... aku mau chek2 dulu. emang agak membagongkan. wkwk
total 3 replies
Filanina
kasihan sekali. kerja rodi
Filanina
kebetulan yang masuk akal sih kalau sama suka masakan perancis kayak ibunya.
Filanina
memasak juga? emang OP FL kita. Kirain pilih menu doang.
Filanina
ga ada capeknya dia.
Filanina
Thor, ada sedikit koreksi dari saya tapi sebenarnya khawatir kena mental ngomonginnya. Karena kalau secara penulisan udah cukup oke, biasanya saya melirik unsur lain.

Saya tahu banget kalau kritik dan saran pembaca itu bisa menjatuhkan mental penulis.

kalau kamu cuma sekedar nulis buat hobi dan hiburan diri sendiri ya sudah tidak perlu saya bilang.

kalau kamu mau lebih baik lagi di karya berikutnya atau suka merevisi, saya mau bilang.

for your own good. pilihan di tanganmu.
Filanina: Baiklah saya katakan aja yang mengganjal di pikiran saya adalah kepribadian Anna. Anna terlalu kuat untuk seseorang yang tidak punya support system.

Kecerdasan sosial itu membutuhkan pengalaman interaksi sosial yang cukup dan support system yg bagus. Dan itu Anna tidak punya. Normalnya, sepintar apapun orang, sebanyak apapun buku yang dia baca, ketika dia bertahun-tahun tidak berinteraksi dengan orang lain, dia akan gagap dan gugup ketika bertemu orang secara real life.
Kecuali dia punya support system yang bagus banget, yang meninggikan kepercayaan dirinya, berupa keluarga. Ini justru keluarganya toxic, merendahkan dia.

Jadi dari mana Anna dapat kekuatan?

Sebenarnya kamu bisa siasati bagian plot hole seperti ini dengan menambahkan beberapa elemen atau karakter lain yang menjadi role model Anna.

Semoga bisa mencerahkan, bukan menyuramkan.
Filanina: Panduan nulis yang benar blm tentu laku. Zaman sekarang beda ya. Novel yang laku bukan novel yang bagus, tapi yang sesuai selera pembaca. Dan seperti itulah selera pembaca sekarang, yang kurang literasi.

Saya udah kadung prefesionis dalam hal tulis menulis atau bahkan cerita. Tapi ini blm tentu disukai. Dan sebagian orang menganggap itu tak penting. Toh ini cuma fiksi. Yang saya maksud adalah logika cerita. Bahkan novel fantasi pun ttp punya logika cerita.

Dulu saya nulis buat sinetron, dan logika itu ga laku. Ga seru. Ini cuma cerita, ga usah terlalu berlogika. Itu sih kata orang.
total 6 replies
Filanina
dapat alasan buat manggil Anna tuh.
Filanina
revy itu masih yang dulu atau beda ya
Evrensya: Masih tunangannya yg dlu.
total 1 replies
Filanina
diriku yang buta fashion hanya bisa melongo.
Filanina
/Shame/ Pak Ali, sangat pintar memuji.
Filanina
Hahaha... silau man.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!