(#HIJRAHSERIES)
Keputusan Bahar untuk menyekolahkan Ameeza di SMA Antares, miliknya mengubah sang putri menjadi sosok yang dingin.
Hidup Ameeza terasa penuh masalah ketika ia berada di SMA Antares. Ia harus menghadapi fans gila sepupu dan saudaranya, cinta bertepuk sebelah tangan dengan Erga, hingga terlibat dengan Arian, senior yang membencinya.
Bagaimanakah Ameeza keluar dari semua masalah itu? Akankah Erga membalas perasaannya dan bagaimana Ameeza bisa menghadapi Arian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana Hasna Raihana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Titik Lelah
Pening yang menyerangnya setiap kali sedang mengerjakan soal latihan fisika tak dihiraukan. Ameeza pikir gejala itu hanya hal biasa, nanti juga akan hilang dengan sendirinya.
Makan malam yang biasanya tak pernah terlewatkan, beberapa minggu ini Ameeza lewatkan. Ketika Eliska datang mengetuk pintu, memberitahukan untuk makan malam, Ameeza selalu mengatakan nanti akan menyusul. Yang pada kenyataannya sampai makan malam selesai, sampai jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam, kadang-kadang pukul dua belas malam Ameeza tidak mengisi perutnya sama sekali. Ia terlalu sibuk mengerjakan soal latihan fisika. Terkadang sibuk mengerjakan tugas dari sekolah.
"Sayang, kenapa belum makan?" tanya Eliska sembari menatap Ameeza yang sibuk mengotret di buku kosong.
Tak ada lirikan. Ameeza hanya menjawab, "Nanti, Ma. Nanggung."
"Sayang, beberapa minggu ini kamu jarang makan malam. Sarapan juga jarang," ucap Eliska lembut, tatapannya menggambarkan kekhawatiran. Namun, Ameeza tak acuh dengan ucapan mamanya. Ia hanya fokus menatap lembaran kertas yang berisi coretan hitungan dan buku paket berisi latihan soal fisika.
Eliska menutup buku paket berisi latihan soal fisika. Tindakan itu membuat kepala Ameeza menoleh. "Ma!"
"Makan, mama khawatir karena kamu jarang makan. Belum lagi jadwal kamu yang padet gara-gara ikutan les fisika." Eliska menghela napas panjang untuk menstabilkan emosinya. "Kamu kira mama gak tahu, kamu ngambil jadwal les tambahan 'kan?"
Mata Ameeza tak berani menatap Eliska. Ia sibuk memainkan alat tulisnya yang ada di atas meja. Setelah cukup lama keheningan menyelimuti Ameeza menatap Eliska tepat. "Ma, aku cuma mau memperbaiki nilai fisika yang hancur."
Tangan Eliska mengelus puncak kepala Ameeza. "Nilai kamu udah bagus, Sayang."
"Belum, Ma." Kepala Ameeza tertunduk. "Itu belum cukup," lirih Ameeza menatap ke bawah.
Eliska keluar dari kamar, tak berselang lama Eliska kembali dengan sepiring nasi beserta lauk pauknya dan segelas air putih.
Ameeza hanya melirik malas ketika mamanya meletakkan piring berisi nasi putih beserta lauk pauknya dan segelas air putih di meja. Dan buku-buku yang berserakan di atas meja sudah Eliska bereskan ke tempatnya.
"Makan," ujar Eliska.
Ameeza mengangguk pasrah.
...-oOo-...
Entah sejak kapan Ameeza memaksakan diri untuk fokus belajar ketimbang memikirkan permasalahan lainnya. Ameeza menambah porsi belajarnya, tidak hanya di tempat les, di rumah saat malam hari, ia juga menambahkan belajar ketika istirahat pertama dan kedua berbunyi. Ketika istirahat tiba, alih-alih ikut ke kantin bersama Melva, Ameeza tidak ikut. Terkadang Melva menawari Ameeza mau membeli apa di kantin, ia kadang nitip kadang tidak. Namun, tetap saja makanan yang Ameeza pesan tidak pernah di makan.
Untuk memikirkan makan saja rasanya tidak bisa.
"Ameeza!"
"Ini!" Melva melemparkan roti ke meja dan meletakkan sebotol air mineral dengan keras hingga meja Ameeza sedikit bergetar.
Ameeza melirik Melva tajam karena perempuan itu telah mengganggu aktivitasnya. Setelahnya Ameeza menatap roti dan air mineral di mejanya. "Gue gak nitip. Itu punya lo 'kan?"
"Bukan, itu punya lo," tunjuk Melva pada Ameeza. Dia berjalan mendekati bangku yang ada di depan meja Ameeza.
Melva menjadikan sandaran kursi sebagai penyangga. Ia menatap Ameeza yang kembali fokus mengerjakan soal. "Gak pusing?"
Pertanyaan Melva tak mendapat jawaban.
"Di makan dulu, bentar lagi waktu istirahat abis," kata Melva sembari membuka bungkus roti miliknya sendiri. Lantas melahapnya sebagian.
Lagi-lagi tidak ada sahutan.
"Ameeza! Lo denger gue gak, sih?!" teriak Melva kesal.
Tatapan menghunus bak pedang terarah pada Melva. Ameeza mendengus kesal. "Bisa diem?"
"Gaklah, gue tuh khawatir lo akhir-akhir ini jarang jajan." Melva menyahut cuek. Dia kembali melanjutkan memakan roti yang tersisa.
Setelah itu tak ada perbincangan lagi. Ameeza terus mengabaikan Melva yang mengoceh meminta Ameeza untuk segera memakan makanannya. Namun, Ameeza selalu acuh tak acuh. Hingga ketika Melva menarik paksa buku paket Ameeza, cewek berambut cepol di hadapannya melotot. "Mel!"
"Makan dulu."
Mendengar penuturan Melva seketika ia teringat dengan kejadian semalam, dimana sang mama memaksanya untuk makan padahal ia tidak ingin. Ia terlalu malas dan muak dengan kalimat itu. Lagi pula kenapa mamanya dan Melva memaksanya untuk makan. Ameeza sudah bukan anak kecil lagi.
Buku di pegangan Melva sekarang sudah berada di dekapan Ameeza. Dia bangkit dari kursinya. Membereskan alat tulis dan buku tulisnya. Lantas berlari keluar kelas. Walaupun Ameeza mendengar Melva berteriak menyerukan namanya, ia tetap tidak mau berbalik. Ia sudah terlalu malas mendengar kalimat itu.
...-oOo-...
Semenjak kakinya menapaki lapangan out door bulu tangkis, kepalanya terasa pening. Tapi, Ameeza tetap memaksakan diri untuk latihan. Lagi pula ia tidak mau dianggap hanya numpang nama di eskul ini, sebab beberapa pertemuan ke belakang Ameeza tidak latihan.
Untuk kali ini latihan one by one. Ameeza bertanding dengan Erin. Sedangkan Melva dengan orang lain. Dan lagi-lagi pemilihan ini tidak bebas.
Awalnya Ameeza fine-fine saja, tapi ketika Erin melayangkan smash berulang kali, ia mulai merasa kewalahan. Terlebih lagi, ia merasa Erin terlalu kasar dalam bermain.
Ameeza terjatuh ketika kakinya terkilir. Ia memegangi kakinya masih terasa sakit. Erin yang berada di seberang tidak membantunya sama sekali. Teman-teman di sekitarnya pun tidak ada yang tahu, mereka sibuk dengan permainannya masing-masing. Alhasil Ameeza berdiri sendiri.
"Ayo lagi!" teriak Erin.
Saat kok dilayangkan, Ameeza menatapnya penuh harap agar masuk. Namun, Erin mematahkan harapan itu, dia berhasil menahannya dan memberikan serangan balik dengan smash.
Niat hati ingin menahan serangan itu, namun justru pipi Ameeza yang kena. Bersamaan dengan itu tubuh Ameeza ambruk.
Teriakan dari sana-sini mendominasi, sebelum matanya tertutup ia melihat banyak orang yang datang menghampirinya. Setelahnya ia tidak tahu apa-apa lagi.
"Rin, apa yang udah lo lakuin?" tanya Melva.
"Yah, gue gak ngapa-ngapain, kok. Dia ambruk sendiri," jawab Erin santai.
...-oOo-...
Pemandangan pertama yang Ameeza lihat saat membuka kedua matanya adalah Angga yang tiba-tiba memeluknya erat sekali. "Dek, maafin gue," lirih Angga dengan sesenggukan.
Kening Ameeza mengerut bingung. "Hah? Lo ... nangis, Kak?" Setelahnya tawa Ameeza lepas. Mendengar tawa itu, Angga melepaskan pelukannya. Memandang Ameeza kesal sembari menghapus jejak air matanya. "Lo jahat amat, sih."
"Gue minta maaf, yah. Saat itu gak sengaja. Seriusan."
Ameeza tersenyum tipis. "Yah, okelah."
"Udah mendingan? Ada yang sakit gak?" tanya Eliska khawatir.
"Gak ada, Ma."
"Syukurlah, kata dokter kamu cuma kecapekan." Eliska memeluk Ameeza erat. "Sayang, ini pasti karena kamu maksain belajar terus-terusan."
Ameeza menggeleng. "Gak, Ma."
"Amy ...."
"Sebaiknya lo jangan maksain," ujar Izzi yang duduk di sebuah sofa.
"Kenapa, sih. Lagian ini kemauan aku."
Pelukan Eliska terlepas. Ia memandang putrinya khawatir. "Jujur sama mama, kamu ngerasa tertekan 'kan?"
Bibir Ameeza tiba-tiba kelu, ia menunduk tak berani menjawab. Awalnya Ameeza ingin mengatakan bahwa 'belajarnya' itu bukanlah alasan ia berada di rumah sakit sekarang. Namun, entah kenapa tiba-tiba ia merasa alasan itu hanya dusta yang dijadikan benteng pertahanan.
"Ya 'kan?"
Kepala Ameeza mengangguk tanpa sadar. "Maaf, Ma." Kepala Ameeza kembali mendongak. "Tapi, Ma ... nilai aku ...."
"Maaf, My. Ini gara-gara gue yang gak mau ngajarin lo. Dan semua gosip itu juga karena gue juga," kata Angga.
Ameeza tersenyum tipis. "Bukan, kok."
"Amy, dengar. Mama dan ayah gak pernah maksa kamu buat jadi yang terbaik, buat dapetin nilai paling tinggi. Walaupun tentu saja kalau kamu dapat nilai bagus, mama dan ayah senang. Tapi, itu bukanlah keharusan dan prioritas. Prioritas yang seharusnya adalah keinginan kamu sendiri, niat kamu sejak awal, hal yang buat kamu merasa senang dan tentunya gak buat kamu merasa terbebani." Eliska menarik kursi lalu duduk, menggenggam tangan Ameeza. "Mama faham dan mengerti pentingnya memperhatikan kondisi psikis seorang anak, Sayang. Kondisi psikis yang kadang-kadang diabaikan oleh sebagian orang tua. Mama cuma gak mau buat kamu stress. Lalu nantinya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan." Tetes bening itu mengalir melewati pipi. "Karena banyak di luar sana anak-anak yang kurang diperhatikan kondisi psikisnya, sampai-sampai terjadi kondisi depresi bahkan sampai ada yang bunuh diri," lirih Eliska dengan nafas tercekat.
Ameeza bungkam.
Tak berapa lama pintu terbuka. Di sana Bahar yang melihat putrinya sudah bangun segera memeluknya. "Syukurlah kamu gak apa-apa."
Ameeza hanya membalas dengan senyuman.
Hari ini Ameeza faham kenapa orang tuanya, saudaranya, dan teman-temannya mengakhawatirkan kondisinya. Mereka hanya tidak mau kehilangan. Tidak mau Ameeza sampai kenapa-kenapa.
...-oOo-...