Jihan, harus memulai kehidupannya dari awal setelah calon kakak iparnya justru meminta untuk menggantikan sang kakak menikahinya.
Hingga berbulan-bulan kemudian, ketika dia memutuskan untuk menerima pernikahannya, pria di masa lalu justru hadir, menyeretnya ke dalam scandal baru yang membuat hidupnya kian berantakan.
Bahkan, ia nyaris kehilangan sang suami karena ulah dari orang-orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Setelah kepergian mama, aku buru-buru menutup pintu dan bergegas ke kamar untuk meminta penjelasan soal mas Sagara yang mengatakan bahwa dirinya habis makan di luar. Merasa itu tak benar, jadi aku akan meluruskannya, selain itu aku juga ingin tahu apa alasannya.
Begitu di dalam kamar, aku berdiri di sisi sofa tempat mas Sagara tiduran sambil memainkan games di ponsel. Dia melirikku sekilas lalu kembali memusatkan pandangan pada layar telfon genggamnya.
"Kenapa mas bilang ke mama kalau alergi itu muncul karena mas habis makan di luar?"
"Pertanyaan nggak penting" Sahutnya tetap fokus pada permainanya.
"Kenapa nggak bilang kalau itu kesalahanku?" tanyaku tak mau menyerah.
"Bukankah kamu nggak mau nama kamu buruk di mata mertua kamu?"
"Kenapa mas pakai kasih tahu mama kalau mas terkena alergi?"
"Kamu bawel banget si, Ji"
"Harusnya mas nggak perlu kasih tahu ke mama, itu kan urusan kita. Kalau mas apa-apa ngadu ke mama, itu tandanya anak mami"
Mas Sagara menghela napas panjang, meletakkan ponsel di sofa lalu bergerak duduk, dengan cepat salah satu tangannya menarik tanganku. Aku yang tak siap, otomatis terhuyung dan jatuh terduduk di atas pangkuannya.
"Aku minta mama datang kesini buat bawain krim wajah khusus untuk alergi. Karena krim itu tertinggal di rumahnya" Ucapnya dengan fokus sepenuhnya ke wajahku.
Dengan posisi seperti ini, juga wajah kami yang hanya berjarak tak kurang dari sejengkal, aku tak bisa melakukan apapun karena kedua tangan mas Sagara melingkar di pinggangku cukup erat, sepasang matanya pun tak teralihkan dariku barang sejenak.
"Aku nggak ada niat buat ngadu ke mama soal alergiku seperti yang kamu kira, tapi mama cukup paham kenapa aku meminta krim wajah untuk segera di antar kemari"
"Jadi jangan terus-terusan menuduhku!" Tambahnya yang sepersekian detik membuatku menelan ludah.
"Dimana-mana orang nabungnya amal baik, Jihan ... Kenapa kamu selalu nabung su'uzon pada suamimu?"
Aku diam, menahan napas sejenak ketika memberanikan diri membalas tatapan matanya. Hanya sekilas, sebab ada perasaan gugup yang terus merongrongku.
"Kalau kamu keberatan dengan apa yang ku perintahkan" Ucapnya pelan tapi berhasil membuatku merinding karena suara rendahnya tepat berada di telinga kananku. "Mulai sekarang aku nggak akan lagi memintamu mempersiapkan keperluanku, termasuk memasak. Terserah kamu mau melakukan apa di rumah ini, yang jelas mulai detik ini aku akan mempersiapkan kebutuhanku sendiri. Sudah cukup puas? Hmm?"
"A-apa maksud perkataan mas?"
"Perlu di ulang?" Kedua alis mas Sagara terangkat. "Aku tahu kamu merasa keberatan dengan pekerjaan rumah, dan aku nggak akan lagi menuntutmu untuk melakukan semua itu, cukup kamu urus diri kamu sendiri, bersenang-senang dengan teman-temanmu, pergi ke salon, atau shoping, ketemu mantan pacar mungkin?"
"Enggak gitu juga, kan?" Aku mencoba mengutarakan keberatan. "Dan kenapa juga mas Sagara selalu menyebut soal mantan pacar?"
"Kenapa? Apa ada yang salah dengan kalimatku?" Pungkasnya yang tak ku respon. "Uang sudah ku beri, tempat tinggal aku sediakan, biaya kuliahmu juga ku tanggung. Bukankah itu fasilitas yang menggiurkan, sementara itu kamu nggak perlu mengurus apapun. Kamu bebas pergi kemanapun yang kamu inginkan, tanpa pamit dan tanpa kabar. Kamu bebas pulang jam berapapun kamu mau tanpa ada yang mengganggumu lewat telfon"
Sepertinya, mas Sagara sedang menyindirku alih-alih waktu itu tak mengindahi perintahnya untuk langsung pulang ke rumah, aku justru ke toko, juga tak mengangkat panggilannya dan membalas pesannya.
"Maaf, waktu ke toko aku benar-benar sibuk, jadi nggak tahu kalau mas menelfonku"
Mas Sagara tersenyum miring.
"Aku nggak bahas soal itu, nona Jihan"
"Tapi kalimat mas merujuk ke sana, mas lagi menyindirku, kan?"
"Enggak, aku cuma memberitahumu kalau mulai sekarang kamu bebas kemanapun kamu mau, bebas melakukan apapun yang kamu suka"
"Itu artinya aku nggak di butuhin lagi di sini, dan kalau gitu balikin saja aku ke ayah"
"Ayah bundamu sedang banyak masalah, apa kamu mau menambah masalah baru untuk mereka?"
Benar juga, ayah bunda kan sedang fokus memikirkan soal mas Ryu yang lagi banyak-banyaknya butuhin uang buat pendidikan dokternya, belum lagi soal kak Lala yang sakit, kalau aku tiba-tiba cerai dengan mas Sagara, ayah bunda pasti akan terpukul, usia pernikahanku kan baru menginjak bulan ke tiga. Mereka pasti kecewa karena aku sudah mempermainkan pernikahan.
"Halo" Aku tersentak, aku yakin manik hitamku bergerak gelisah, dan mas Sagara seperti tersenyum menang menangkap kegelisahanku.
"Apa yang sedang kamu fikirkan?" Tanyanya tenang.
"Enggak ada" Jawabku spontan.
"Kapanpun kamu mau pulang ke rumah ayah, katakan saja padaku, aku pasti akan mengantarmu"
Karena mas Sagara merenggangkan lingkaran tangannya di pinggangku, aku pun langsung bangkit dari pangkuannya.
****
Tiga hari berlalu, seperti yang mas Sagara katakan, sudah tiga hari ini dia benar-benar tak mengijinkanku mempersiapkan semua keperluannya. Seperti pagi tadi setelah tiga hari cuti, dia yang baru saja sembuh sudah bisa kembali mengajar. Dia mempersiapkan kemeja, sepatu, kaos kaki dan membuat jus lemon sendiri. Untuk sarapan dia hanya memakan dua lembar roti tawar, satu gelas fresh milk, dan separuh buah naga.
Tiga hari yang menurutku membosankan. Padahal benar kata mas Sagara, sebelumnya aku merasa keberatan dengan pekerjaan rumah ataupun tugas-tugasku untuk mengurusnya. Tapi setelah pria itu tak memerintahkanku, bersikap acuh cuek padaku, ini justru terkesan aneh. Aku yang biasa melakukan pekerjaan rumah mendadak rindu dengan kegiatanku terutama di pagi hari, seperti memasak dan juga menyiapkan kemeja untuk mas Sagara.
Menghela napas, suara bel pintu ku dengar bersamaan dengan hembusan nafasku yang terasa berat.
Aku lantas membukanya, dan langsung ku temukan wajah tukang ojek online berdiri di depan pintu.
"Dengan mbak Jihan?"
"Iya saya" Jawabku melirik ke paperbag yang ia bawa.
"Ada kiriman makanan dari bu Rahma untuk mas Sagara dan mbak Jihan"
Mama kirim makanan lagi?
Gumamku dalam hati.
Cukup, ini nggak bisa di biarin, aku harus tegaskan pada mas Sagara untuk tidak lagi meminta mama buat kirim-kirim makanan.
Dia nggak bisa seenaknya melarangku untuk melakukan pekerjaan rumah, aku istrinya aku berhak protes.
"Mbak!"
"I-iya"
"Tolong di terima dan tanda tangan di sini" Katanya sopan.
"Baik"
Setelah aku menandatangani tanda terima, tukang kurir itu menyerahkan paperbag berwarna gelap ke tanganku.
Aku sendiri segera menutup pintu setelah kepergiannya, lantas buru-buru ke ruang kerja dimana mas Sagara berada.
Tanpa mengetuk aku langsung membuka pintunya dan menerobos masuk.
"Mau sampai kapan mas minta mama buat kirim makanan?" Tanyaku sambil meletakkan paperbag ke atas meja kerja.
Mas Sagara seperti tercenung. Bukannya menjawab, dia malah menautkan kedua alisnya kemudian menyandarkan punggung ke sandaran kursi.
Kedua tangannya terlipat di dada sementara matanya menatapku penuh lekat.
"Pokoknya mulai besok, mama nggak boleh lagi mengirimkan makanan, aku yang akan memasak buat kita, aku yang akan menyiapkan segala keperluan rumah ini termasuk keperluan mas. Aku istri mas, mas nggak bisa melarangku untuk melakukan pekerjaan di rumahku sendiri. Apapun yang ingin aku lakukan, sekali lagi mas nggak bisa melarangku, titik"
Pria yang masih menampilkan gestur santai, terus menatapku tanpa sepatah kata.
"Ini rumahku, aku yang menentukan, tugas mas hanya cari uang, faham!"
Mas sagara tampak mengangkat satu alis, mungkin dia terkejut dengan aksiku ini. Dia lalu meraih ponselnya yang ada di atas meja.
Pria itu benar-benar membuatku naik pitam. Jelas-jelas aku sedang bicara dengannya, tapi seakan dia mengabaikanku, tak menggubris semua ucapanku.
"Wa'alaikumsalam, mah"
Mas Sagara tahu-tahu mengeraskan suaranya, dan saat itu juga ku dengar suara mama dari sebrang telfon.
"Iya Ga, ada apa?"
"Ini, makanan dari mama sudah Jihan terima, makasih ya mah"
"Sama-sama nak" Sahut mama, sepertinya mama tersenyum saat mengatakan itu.
"Oh ya sayang, ada olahan ikan salmon, itu mama masak khusus buat Jihan, sayur asparagus juga. Kamu boleh makan, tapi jangan banyak-banyak"
"Dalam rangka apa mama kirim makanan ke kita? Ini sudah ke sekian kalinya loh"
"Nggak apa-apa" Kata mama dengan santainya. "Biar Jihan cepat hamil jadi mama nggak akan biarin menantu mama terlalu capek, dia sudah mengurusmu, mengurus rumahmu, kuliah, ngurus toko bunganya juga, sampai rumah harus masak buat makan malam, kasihan kan"
Mendengar kalimat mama, aku mencium bau-bau su'uzon lagi dalam diriku. Ah, kenapa aku selalu menuduh mas Sagara yang enggak-enggak.
"Makanan yang mama buat juga banyak mengandung protein serta asam folat, bisa buat penyubur kandungan kata teman-teman mama"
"Tapi mulai besok lebih baik nggak usah mah, Jihan merasa nggak enak harus merepotkan mama"
"Mama nggak merasa di repotkan kok, mama kan pengin cepat-cepat punya cucu"
"Halo mah" Aku merebut ponsel mas Sagara dari tangannya.
"Iya, sayang" Jawab mama.
"Aku juga nggak mau mama capek-capek masak buat aku sama mas Saga"
"Kamu kan tahu mama nggak ada kerjaan, hanya ibu rumah tangga, jadi kalau cuma masak, mama nggak kerepotan kok"
"Tapi tetap saja jangan mah, besok-besok nggak usah ya"
"Ok deh, tapi kamunya jangan capek-capek, cepat hamil juga, ya sayang!"
"Iya mah"
Biarlah, ku iyakan saja ucapannya, yang penting mama nggak lagi kirim-kirim makanan yang malah akan membuatku semakin nggak enak hati.
Dan setelah sambungan terputus, akan ada urusan panjang dengan mas Sagara tentunya. Aku harus mempersiapkan diri untuk malu lagi.
Bersambung