Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3: Reveal
Wira terbangun perlahan, tubuhnya masih terasa lemah dan penuh luka, namun kesadarannya mulai pulih. Ketika membuka mata, ia mendapati Nora dan teman-temannya berkumpul di dekatnya, menatapnya dengan ekspresi lega.
“Oh, akhirnya pahlawan kita sadar,” kata Nora dengan senyum kecil.
Wira terkekeh pelan meski wajahnya masih pucat. “Pahlawan, ya? Sepertinya aku memang sedang di surga kalau begini caranya dilayani…”
Flora tertawa sambil menyerahkan segelas air. “Minum dulu, siapa tahu kamu benar-benar balik ke neraka.”
Setelah meneguk air dengan tenang, Wira mulai merasa sedikit lebih bertenaga. Ia menghela napas dan menatap teman-temannya satu per satu, senyumnya sedikit lemah namun penuh rasa syukur. “Berarti… aku benar-benar berhasil mengalahkan Ruo?”
Bima, yang berdiri di dekatnya, menepuk bahunya. “Benar. Berkat rencanamu, kita berhasil memotong kepalanya setelah dia membeku.”
Wira tersenyum lega, lalu sedikit menyeringai. “Bagus… Mungkin aku memang ditakdirkan jadi penyelamat kalian, ya?”
Setelah beberapa menit berbincang santai, suasana mulai berubah serius. Malam semakin larut, dan mereka memutuskan untuk berkumpul di sekitar api untuk berdiskusi lebih lanjut.
“Baiklah,” Wira memulai dengan nada tegas, pandangannya berkeliling menatap wajah-wajah yang kini mengandalkannya. “Sekarang, kita harus bicara soal ancaman nyata yang ada di luar sana. Aku butuh kalian benar-benar mengerti apa yang kita hadapi.”
Rizki menjawab pertama, “Yang kami tahu… Ruo itu seperti monster tak terkalahkan. Tidak peduli berapa kali kami mencoba, mereka selalu bangkit lagi.”
Wira mengangguk pelan. “Benar. Mereka memang sangat kuat. Tubuh mereka telah diubah untuk menjadi prajurit sempurna: kebal peluru, tahan api, regenerasi cepat. Tapi tidak ada yang benar-benar tak terkalahkan, setiap makhluk punya kelemahan.”
“Dan kelemahan mereka adalah dingin, kan?” tanya Flora, matanya penuh antusiasme.
“Ya,” Wira mengangguk, lalu menjelaskan lebih lanjut. “Saat kita memasukkan Ruo ke ruang pembeku, aku melihat reaksinya. Gerakannya melambat, kekuatannya melemah, dan bahkan regenerasinya terhenti sepenuhnya. Dari sini, aku bisa simpulkan bahwa mereka tidak tahan dingin ekstrem. Jika kita menciptakan lingkungan yang cukup dingin, kita bisa menghentikan mereka.”
Nora mengangguk pelan, tapi masih tampak bingung. “Tapi, mereka bukan hanya monster brutal yang asal menyerang. Di kamp pertama tempatku dievakuasi dulu, aku melihat sesuatu yang berbeda.”
“Lalu apa yang membuatmu berpikir Ruo dikendalikan?” Rizki bertanya penasaran.
Wira menghela napas panjang, mengenang pengalaman yang masih terbayang jelas di kepalanya. “Di kamp pertama, aku sempat melihat seorang pria… atau begitulah kukira. Dia tampak seperti manusia biasa, mungkin seorang survivor juga. Wajahnya lesu, seperti kita yang kelaparan dan putus asa.”
Ia berhenti sejenak, mengingat momen menegangkan itu. “Tapi sesuatu tampak janggal. Aku perhatikan dari gerakannya, ekspresi wajahnya terlalu kosong. Dan ketika alarm serangan Ruo berbunyi, pria itu tak lari atau bahkan bereaksi. Malah, ia berubah, langsung menyerang dengan kekuatan seperti Ruo lainnya, seolah ia bukan lagi manusia.”
Semua tampak terkejut mendengar penjelasan Wira. “Dia benar-benar menyamar sebagai survivor?” Bima bertanya, nadanya tak percaya.
Wira mengangguk, lalu melanjutkan, “Ya, dia masuk sampai ke dalam kamp. Itu artinya, Ruo bisa mengontrol perilaku mereka, bahkan bisa menipu manusia lain. Setelah kejadian itu, aku berkesimpulan kalau ada yang lebih cerdas mengendalikan mereka, memandu mereka. Ruo bukan makhluk liar yang asal bergerak; ada entitas yang memberi arahan. Mungkin itu adalah monster yang pertama kali menyerang kapalku dan tentara menyebut dia dengan Gougorr”
“Gougorr?” tanya Flora, dengan nada ketakutan.
“Itulah yang kuyakini,” Wira mengangguk. “Gougorr mungkin mengendalikan mereka dari jauh, membuat mereka berkamuflase, mencari celah, dan menyerang. Karena itu, kita harus waspada. Tak ada yang tahu kapan dan dari mana Ruo bisa menyerang. Mereka bukan sekadar prajurit, mereka adalah alat bagi sesuatu yang lebih besar.”
Rizki menatap Wira dengan kagum. “Kamu sangat teliti, Wira. Tanpamu, kami mungkin tidak akan pernah tahu kelemahan mereka atau bahwa mereka sebenarnya dikendalikan.”
Wira menatap mereka dengan tegas. “Ingat, kita bisa mengalahkan mereka jika kita tetap waspada dan bekerja sama. Ruo memiliki kekuatan besar, tapi kita memiliki kecerdasan dan tekad untuk melawan.”
Nora tersenyum lebar, anggukan kepalanya penuh semangat. “Benar, kita akan bertahan hidup dan melawan untuk kemanusiaan.”
Mereka semua mengangguk, merasakan semangat baru mengalir dalam diri mereka. Bagi mereka, Wira bukan hanya sekadar pahlawan, tetapi sosok yang membawa harapan dalam kegelapan. Dan dengan Wira di sisi mereka, mereka merasa tak ada ancaman yang terlalu besar untuk dihadapi.
Keesokan Paginya, Pukul 06.15
Pagi itu, udara terasa segar meskipun langit kelabu, menandakan hari yang penuh ketidakpastian. Wira dan Bima bersiap untuk keluar markas. Wira memakai jaket tebal dan membawa tas yang cukup besar untuk menampung barang-barang yang mereka perlukan, sementara Bima memeriksa busurnya, memastikan persediaan panahnya cukup. Mereka tahu bahwa hari ini bukan hanya untuk berburu makanan, tetapi juga untuk mencari suku cadang yang sangat dibutuhkan agar mesin di markas tetap bisa berfungsi.
Saat mereka berjalan menyusuri reruntuhan kota yang sunyi, Wira tak bisa menahan senyum kecil. Suasana yang begitu tenang bertolak belakang dengan situasi yang tengah mereka hadapi. Namun, dia tahu ini adalah momen yang diperlukan—sebuah ketenangan sebelum badai.
Sementara itu, di markas, Rizki sibuk dengan mesin pendingin yang mulai overheat. Suara denting logam terdengar dari ruang kerja sementara Flora dan Nora duduk di meja makan. Mereka berbicara ringan, tetapi ada keheningan yang terasa dalam percakapan mereka, mereka tengah memikirkan Wira. Nora terlihat termenung, tatapannya jauh, tak bisa lepas dari puisi yang Wira tulis kemarin malam.
"Flora," kata Nora pelan, "puisi yang Wira tulis itu... benar-benar memberikan kekuatan. Aku merasa seakan dia adalah harapan kita... kunci untuk keselamatan kita."
Flora mengangguk, senyuman hangat terlukis di wajahnya, tetapi juga ada kekhawatiran yang tampak samar. "Aku tahu. Dulu kita hanya bisa mengandalkan diri kita sendiri, tapi sekarang... mungkin kita benar-benar membutuhkan seseorang seperti dia. Tapi... dia siapa sebenarnya? Dia tidak memberi banyak informasi tentang dirinya sendiri."
Nora menggigit bibirnya, memikirkan jawaban yang tepat. "Aku tidak tahu, Flora. Tapi aku merasa ada sesuatu tentang Wira yang... berbeda. Mungkin, meskipun dia bukan orang yang kita kenal dengan baik, dia bisa jadi harapan yang kita butuhkan."
Flora diam, membenarkan perasaan Nora. Mereka berdua terdiam, saling berbagi rasa yang sama tentang sosok Wira, seorang pria yang baru mereka temui, namun tampaknya memiliki pengaruh yang begitu besar pada mereka semua.
Sementara itu, Wira dan Bima sudah jauh dari markas. Mereka berjalan melewati sisa-sisa kota yang hancur, berusaha menemukan jejak makanan dan sumber daya lain yang bisa digunakan. Ketika mereka tiba di sebuah area terbuka, Bima berhenti dan mengangkat busurnya, memfokuskan pandangannya pada seekor rusa yang sedang merumput tidak jauh dari mereka.
Dengan tenang, Bima menarik busur, matanya fokus pada target, dan panah melesat. Bunyi dentingan panah yang menancap di tubuh rusa membuat Wira tersenyum.
“Bagus, Bima,” puji Wira, menepuk pundak Bima.
Bima menurunkan busur, namun ada pertanyaan yang masih mengganjal di pikirannya. Dia menatap Wira sejenak, lalu bertanya, "Wira, kau yakin bisa kita percayai? Selama ini, kami bertahan dengan prinsip kita, dengan kepercayaan satu sama lain. Aku tahu kau baru bergabung dengan kami, dan aku tidak bisa begitu saja menganggapmu bagian dari kami tanpa ada jaminan."
Wira terdiam sejenak, mendengarkan kata-kata Bima. Bima menyembelih rusa yang terpanah, lalu dengan suara rendah dan serius, ia melanjutkan, "Mereka, Flora, Nora, Rizki adalah adik-adikku. Jika kau punya niat buruk, aku akan tahu. Menjadikanmu rusa sangatlah mudah bagiku. Aku harus memastikan kamu tidak akan mengkhianati mereka."
Wira menatap Bima tanpa ekspresi, namun di matanya ada ketegasan yang membuat Bima menunggu jawaban. Wira menghela napas pelan, kemudian sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya.
"Dengarkan aku, Bima," kata Wira dengan suara yang tenang, "Satu-satunya musuhku adalah Gougorr, sang monster itu. Tidak ada gunanya bagiku menambah musuh lain sekarang. Tidak ada alasan bagiku untuk menghianati kalian. Jika kalian menganggapku bagian dari tim ini, aku akan bertahan bersama kalian. Itu janji saya."
Bima memandang Wira, seolah mencari sebuah kebohongan dalam kata-katanya, namun tak menemukan apa pun selain ketulusan yang jarang terlihat dalam dunia yang penuh dengan kecurigaan ini.
Akhirnya, Bima mengangguk, "Baiklah. Aku percaya padamu."
Dengan ketegasan itu, mereka melanjutkan perjalanan, kembali mencari bahan-bahan yang diperlukan. Hari itu, mereka mendapatkan sedikit makanan, beberapa bahan bakar, dan sedikit suku cadang. Walaupun perjalanan mereka belum selesai, ada sebuah perasaan lega yang mengisi hati mereka. Tidak hanya karena mereka mendapatkan apa yang mereka butuhkan, tapi juga karena sebuah hubungan yang mulai terbentuk di antara mereka.
Saat mereka kembali ke markas, suasana terasa lebih ringan. Nora dan Flora sedang berbicara santai di meja, sementara Rizki sedang memeriksa mesin pendingin yang akhirnya bisa kembali berfungsi. Semua seakan berjalan lebih baik untuk sesaat, mereka merasakan kedamaian kecil di tengah kekacauan yang mengelilingi dunia mereka.
Wira dan Bima masuk, dan mereka langsung disambut oleh senyum dari teman-temannya. “Kalian berhasil?” tanya Flora dengan senyum ceria.
"Ya," jawab Wira, melemparkan beberapa kantong ke meja. "Dapat makanan dan suku cadang. Cukup untuk bertahan beberapa hari ke depan."
Wira menatap Bima dengan senyum kecil, memandang teman-temannya yang berkumpul di sekitar meja. Semua saling menatap, sedikit terdiam, seolah mengerti bahwa meskipun dunia mereka telah hancur, mereka masih memiliki satu sama lain.