Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23
Keesokan paginya, Kania terbangun oleh suara nyaring alarm di atas meja. Ia mengerang pelan, matanya masih tertutup rapat.
Tangannya yang masih setengah sadar meraba-raba hingga akhirnya berhasil mematikan alarm itu.
“Berisik sekali,” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.
Setelah beberapa detik, ia membuka matanya perlahan dan menoleh ke sisi tempat tidur.
Di sana, Enzio, putranya, masih terlelap dalam tidurnya. Wajah bocah itu tampak tenang, nafasnya sudah kembali normal setelah semalam ia demam tinggi.
Kania mengulurkan tangan, menyentuh dahi Enzio dengan hati-hati untuk memastikan suhu tubuhnya.
Ia tersenyum lega.
“Syukurlah, demamnya sudah turun,” bisiknya.
Kania kemudian bangkit perlahan dari ranjang, mencoba tidak mengganggu tidur anaknya.
Tubuhnya terasa sedikit pegal setelah semalaman begadang, tetapi itu tak mengurangi kebahagiaannya karena Enzio akhirnya membaik.
Kania meregangkan otot-otot tubuhnya sejenak, lalu melangkah keluar kamar.
Saat tiba di dapur, tenggorokannya yang kering membuatnya langsung mencari air putih.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok pria berdiri membelakanginya.
“Mas? Ngapain kamu di sini?” tanya Kania dengan nada terkejut, tetapi ia segera mengenali siapa pria itu.
Adrian menoleh dengan senyum tipis. “Kamu sudah bangun?”
Kania mengangguk pelan, lalu mengambil gelas kosong dan mengisinya dengan air putih dari dispenser.
Ia meminum seteguk, mengembalikan gelas itu ke meja dapur, sebelum menatap Adrian yang sibuk mengaduk sesuatu di panci.
“Aku pikir kamu sudah pulang,” ucap Kania.
Adrian melirik sekilas ke arah Kania sambil tetap mengaduk bubur yang sedang dimasaknya.
“Putraku sakit. Mana mungkin aku pulang cepat?” jawabnya tanpa ragu.
Kania menyipitkan matanya, mencoba memahami maksud Adrian.
“Sudah minta izin istrimu?” tanyanya pelan, tapi cukup jelas untuk terdengar.
Adrian langsung menghentikan aktivitasnya. Ia meletakkan sendok kayu ke tepi panci dan menatap Kania dengan serius.
“Untuk apa aku meminta izin padanya? Dia cuma istri di atas kertas,” ucapnya, nada suaranya datar tapi ada ketegasan yang tak bisa dibantah.
Kania memutar matanya, menahan rasa kesal.
“Mas, jangan egois. Bagaimanapun, kamu harus tetap meminta izin padanya. Itu bentuk tanggung jawab,” desaknya. Ia tidak ingin dianggap sebagai wanita yang merebut suami orang.
Adrian mendekat, langkahnya pelan tapi penuh maksud.
“Ini masih pagi, Kania. Jangan membuat mood-ku buruk dengan membahas wanita yang nggak penting itu,” katanya dingin.
Kania perlahan mundur, merasa gugup. Tubuhnya akhirnya berhenti saat punggungnya terbentur dinding dapur.
“Mas, mau apa kamu?” tanyanya dengan nada bergetar, wajahnya sedikit memaling ke samping untuk menghindari tatapan intens Adrian.
Adrian tiba-tiba mengulurkan tangan.
Mata Kania terpejam erat, pikirannya mulai membayangkan hal yang tidak-tidak.
Suara Adrian yang santai membuat matanya perlahan terbuka.
“Ini,” katanya sambil menunjukkan serbet yang ia ambil dari belakang Kania. “Aku cuma mau membereskan dapur ini sebelum pemiliknya marah karena kubuat berantakan.”
“Oh…” Kania menghela napas panjang, merasa lega sekaligus malu.
Hampir saja ia berpikir Adrian akan melakukan sesuatu yang tidak semestinya.
“Kamu mikir apa barusan?” tanya Adrian dengan alis terangkat.
“Nggak mikir apa-apa,” jawab Kania cepat, mencoba menghindari topik. Ia segera berbalik, hendak kembali ke kamar untuk mandi.
Sebelum Kania melangkah, Adrian lebih dulu menahan pinggangnya.
Refleks, Kania berbalik, membuat tubuhnya kini berhadapan langsung dengan Adrian.
Mata mereka bertemu.
Tatapan Adrian begitu dalam, dan jarak di antara mereka terasa semakin menipis.
Kania bisa merasakan hembusan napas Adrian yang hangat bercampur aroma maskulin khas tubuhnya. Ia gugup, tapi tak bisa bergerak.
“Mas, lepas,” pinta Kania dengan suara pelan tapi tegas.
Adrian tidak menghiraukannya. Ia malah semakin merapatkan genggamannya di pinggang Kania, membuat wanita itu benar-benar terjebak.
Tangannya yang lain terulur, menyelipkan anak rambut yang jatuh di wajah Kania.
Kania memejamkan matanya, seolah tahu apa yang akan terjadi. Napasnya tak lagi teratur, sementara Adrian terus mendekat, menipiskan jarak hingga hidung mereka hampir bersentuhan.
Tapi sebelum sesuatu terjadi, suara riang dari ruang tamu memecah suasana tegang di dapur itu.
“Mama! Papa! Zio lapar!” teriak Enzio, memanggil mereka dari kejauhan.
Adrian langsung melepaskan pelukannya, mundur dengan cepat. Kania pun langsung memalingkan wajahnya, wajahnya merah padam.
Keduanya terlihat salah tingkah.
Adrian mengusap tengkuknya, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
“Aku... Aku akan menyiapkan buburnya,” katanya singkat sebelum kembali ke kompor.
Sementara itu, Kania hanya berdiri terpaku, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang. Ia memandang punggung Adrian yang kembali sibuk di dapur, lalu menghela nafas panjang.
“Kenapa dia tiba-tiba begini? Dia kan sudah punya istri… Aku harus menjaga jarak,” pikirnya sambil melangkah pergi meninggalkan dapur sambil menggendong Enzio.
Dalam hati kecilnya, Kania tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang terguncang. Sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak mengerti.
“Buang pikiran sialan ini Kania.”