Vino Bimantara bertemu dengan seorang wanita yang mirip sekali dengan orang yang ia cintai dulu. Wanita itu adalah tetangganya di apartemennya yang baru.
Renata Geraldine, nama wanita itu. Seorang ibu rumah tangga dengan suami yang cukup mapan dan seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Entah bagaimana Vino begitu menarik perhatian Renata. Di tengah-tengah kehidupannya yang monoton sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga yang kesehariannya hanya berkutat dengan pekerjaan rumah dan mengurus anak, tanpa sadar Renata membiarkan Vino masuk ke dalam ke sehariannya hingga hidupnya kini lebih berwarna.
Renata kini mengerti dengan ucapan sahabatnya, selingkuh itu indah. Namun akankah keindahannya bertahan lama? Atau justru berubah menjadi petaka suatu hari nanti?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Di Pihak Logika
Nafas Vino masih terengah. Renata yang berada di bawah Vino menatapnya heran. Suasana seketika canggung. Vino pun membaringkan tubuhnya di samping Renata, menghindari tatapan heran Renata.
"Aku denger kamu manggil nama seseorang," ucap Renata sambil menggunakan pakaiannya lagi.
"Manggil siapa, Mbak?" elaknya. Vino pun melakukan hal yang sama, mulai menggunakan pakaiannya.
"Tadi aku denger kamu bilang 'Ran'," lirih Renata.
"Mbak salah denger. Aku bilangnya 'Ren'. Nama Mbak itu, 'kan? Boleh gak sekarang aku manggil Mbak pakai nama?"
"Gak boleh. Kamu harus panggil aku 'Mbak' kayak biasa. Aku gak mau nanti kamu keceplosan."
Vino mendekat pada Renata dan merengkuh pinggang Renata. "Okay deh, Mbak. Jadi, kita ini apa sekarang?"
"Maksudnya?"
"Kita udah gak berjarak kayak gini loh, Mbak. Mbak pacar aku ya mulai sekarang?"
Renata menghembuskan nafasnya kasar. "Aku gak tahu."
"Ayo dong, jangan gitu, Mbak. Mau ya jadi pacar pertama aku?"
Renata terkekeh sinis. "Bohong."
"Beneran, Mbak. Mbak itu pacar pertama aku."
"Gak percaya," Renata keras kepala.
"Ya udah gak percaya juga gak apa-apa. Yang penting aku gak bohong."
Sudut mata Renata menangkap foto pernikahannya dengan Gavin yang tergantung di dinding kamar mereka. Renata kembali merasa bersalah. Bisa-bisanya ia melakukan dosa ini di kamar yang harusnya hanya dirinya dan Gavin bisa melakukannya.
"Aku gak mau ada status kayak gitu," tolak Renata. "Aku gak bisa, Vino."
Vino menghela nafasnya paham. "Iya, ya udah gak apa-apa. Aku ngerti. Tapi inget, Mbak harus mau ya kalau aku kangen."
"Tapi Vin..."
"Kalau Mbak nolak terus," potong Vino. "Aku bakal kayak tadi masuk ke apartemen Mbak dan nyerang Mbak. Aku gak peduli suami Mbak ada atau enggak."
"Maksud kamu, kamu gak peduli Gavin mergokin kita? Jangan aneh-aneh deh, Vino!" Renata tak habis pikir dengan Vino yang bisa berpikir senekat itu.
"Iya aku gak peduli. Aku bakal bikin Mbak berpaling dari Gavin dan milih aku," tekad Vino.
Renata menggelengkan kepala. "Gak bisa. Aku gak akan pernah cerai dari Gavin. Kamu tahu, aku mungkin iya membiarkan ini terjadi. Tapi aku gak akan pernah pergi dari Gavin. Gavin selamanya akan jadi suami aku, dan aku gak akan pernah biarin Nathan punya orang tua yang bercerai. Kamu, bukan siapa-siapa."
Vino tersenyum tipis mendengar kata-kata Renata itu. Renata tak akan berkata seperti itu jika tahu apa yang Gavin lakukan di belakangnya.
"Kita lihat aja nanti. Sekarang aku memang bukan siapa-siapa, tapi sebentar lagi Mbak pasti akan lebih memilih aku. Gak hanya kesetiaan Mbak aja yang aku curi, tapi hati Mbak akan aku curi. Jadi Mbak siap-siap aja. Aku akan sangat bikin Mbak kewalahan sampai Mbak akan bimbang, milih aku atau suami Mbak itu."
"Aku gak akan bimbang. Aku sama Gavin punya sesuatu yang mengikat kami. Jadi kamu jangan pernah mimpi buat bisa gantiin posisi Gavin," tegas Renata.
"Kalau misalnya ternyata suami Mbak selingkuh juga? Mbak akan tetap milih dia daripada aku?"
Renata tak langsung menjawab. Namun ia pun mengatakan, "itu gak akan terjadi. Gavin sangat setia sama aku. Aku sangat tahu itu. Aku kenal dia dengan sangat baik. Jadi gak usah kamu membandingkan diri dengan suami aku," Renata mendorong Vino menjauh darinya. "Dia jauh segala-galanya dibanding kamu."
Vino malah merasa tertantang. Ia memeluk tubuh Renata dari belakang dan menghadapkan tubuhnya pada foto pernikahan mereka yang tertempel di dinding kamar itu.
"Barusan kita lakuin di depan foto ini. Apa yang Mbak rasain?"
Renata mencoba melepaskan tautan tangan Vino di perutnya. Semakin Renata mencoba melepaskannya, semakin erat Vino memeluk Renata. Diremasnya kedua bukit itu sehingga Renata kembali seperti tersihir. Ia kehilangan kendali akan dirinya.
"Udah cukup, Vino. Kita udah lakuin ini dua kali!" Renata mencoba berada di pihak logikanya yang sedang mendominasi.
"Yakin cukup?"
Vino menelusupkan tangannya ke dalam pakaian Renata dan membuat Renata kembali 'on'. Renata sendiri tak mengerti. Andrenalinnya malah terpacu melakukannya di sini, di kamarnya, dengan foto Gavin di dinding yang seakan menyaksikan semua ini.
Renata berbalik. Ia sudah tak tahan. Ia pun mencium Vino lebih dulu dan lagi, mereka melakukannya.
***
"Sayang, besok kan libur. Sehari lagi ya?" rajuk Marsha. Ia memerhatikan Gavin yang tengah membereskan barang-barangnya ke koper.
"Gak bisa. Aku harus pulang. Aku mau ajak Nathan main besok," tolak Gavin dengan tegas. "Kemarin aku udah kabulin keinginan kamu buat kita tambah satu hari lagi di sini. Udah cukup. Aku kangen sama istri aku."
"Bisa gak sih Mas gak usah selalu bawa istri Mas kalau kita lagi bareng? Kenapa Mas gak pernah mikirin perasaan aku?!" Marsha emosi mendengar Gavin dengan entengnya mengatakan bahwa ia rindu pada sang istri.
"Kamu jangan coba ngatur aku," tegas Gavin seraya menatap tajam ke arah Marsha.
"Kenapa? Aku juga berhak atas Mas. Aku setia sama Mas selama ini. Tapi apa yang aku dapet?"
"Cukup Marsha. Aku gak mau debat. Cepet beresin barang kamu. Kita harus segera ke bandara."
Marsha pun bangkit dari tempat tidur dengan cemberut dan mulai bersiap untuk pulang. Koper mereka sudah siap. Namun Marsha duduk di tepi tempat tidur dengan lesu. Ia masih tak mau pulang.
"Sha, ayo dong. Kita harus pergi sekarang. Kalau enggak kita bakal ketinggalan pesawat," ucap Gavin tak sabar.
"Aku gak mau pulang," rajuk Marsha.
Gavin menghela nafas. Kadang ia begitu kesal dengan sikap manja Marsha. Ia menghampiri Marsha.
"Terus kamu maunya gimana? Aku harus apa supaya kamu mau pulang?"
Marsha menatap Gavin yang berdiri di depannya. "Besok Mas boleh bareng istri sama anak Mas, tapi lusa Mas harus sama aku."
semoga endingnya membahagiakan semuanya sich 🤭😁🤪
move on vino dari Rania 💪
lanjutin jaa Renata ma vino 🤭🤭🤭 situ merasa bersalah sdngkn suami mu sendiri dh selingkuh duluan 🙈😬😞😞