Karena sebuah mimpi yang aneh, Yuki memutuskan untuk kembali ke dunia asalnya. Walaupun Dia tahu resikonya adalah tidak akan bisa kembali lagi ke dunianya yang sekarang. Namun, saat Yuki kembali. Dia menemukan kenyataan, adanya seorang wanita cantik yang jauh lebih dewasa dan matang, berada di sisi Pangeran Riana. Perasaan kecewa yang menyelimuti Yuki, membawanya pergi meninggalkan istana Pangeran Riana. Ketika perlariaannya itu, Dia bertemu dengan Para Prajurit kerajaan Argueda yang sedang menjalankan misi rahasia. Yuki akhirnya pergi ke negeri Argueda dan bertemu kembali dengan Pangeran Sera yang masih menantinya. Di Argueda, Yuki menemukan fakta bahwa mimpi buruk yang dialaminya sehingga membawanya kembali adalah nyata. Yuki tidak bisa menutup mata begitu saja. Tapi, ketika Dia ingin membantu, Pangeran Riana justru datang dan memaksa Yuki kembali padanya. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hari Yuki dan Pangeran Riana. Semua di sebabkan oleh wanita yang merupakan bagian masa lalu Pangeran Riana. Wanita itu kembali, untuk menikah dengan Pangeran Riana. Ketika Yuki ingin menyerah, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Namun, sesuatu yang seharusnya menggembirakan pada akhirnya berubah menjadi petaka, ketika munculnya kabar yang menyebar dengan cepat. Seperti hantu di malam hari. Ketidakpercayaan Pangeran Riana membuat Yuki terpuruk pada kesedihan yang dalam. Sehingga pada akhirnya, kebahagian berubah menjadi duka. Ketika semua menjadi tidak terkendali. Pangeran Sera kembali muncul dan menyelamatkan Yuki. Namun rupanya satu kesedihan tidak cukup untuk Yuki. Sebuah kesedihan lain datang dan menghancurkan Yuki semakin dalam. Pengkhianatan dari orang yang sangat di percayainya. Akankah kebahagiaan menjadi akhir Yuki Atau semua hanyalah angan semu ?. Ikutilah kisah Yuki selanjutnya dalan Morning Dew Series season 3 "Water Ripple" Untuk memahami alur cerita hendaknya baca dulu Morning Dew Series 1 dan 2 di profilku ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Yuki berkata pelan “mama memintaku memaafkanmu Yang Mulia. Tapi tetap saja Aku merasa binggung. Apakah nasibku yang sekarang, karma yang harus Aku tanggung dari Ibuku”
Raja Bardhana terdiam sejenak mendengar ucapan Yuki. Matanya menatap lurus ke depan, seolah mencari jawaban di antara butiran salju yang terus jatuh. “Aku tidak percaya pada karma yang harus ditanggung anak dari dosa orang tua,” katanya pelan, suaranya penuh perasaan. “Nasib yang kau jalani, Yuki… adalah hasil dari keputusan-keputusan yang kami buat. Itu adalah beban yang kami wariskan padamu tanpa maksud.”
Yuki menggigit bibirnya, menatap tanah, hatinya penuh dengan keraguan dan kesedihan. “Tapi aku tidak pernah meminta semua ini. Semua rasa sakit, kehilangan, dan… Pangeran Riana.”
Raja Bardhana menghela napas panjang, merasa berat dengan kesalahan-kesalahan masa lalunya. “Aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi antara kau dan Riana, atau apa yang ibumu dan aku alami.”Tatapannya tampak penuh penyesalan“Aku juga harus meminta maaf padamu, Yuki,” katanya dengan nada pelan namun tegas. “Atas apa yang dilakukan Riana padamu. Dia… menjadi seseorang yang berbeda, hampir gila karena obsesi pada dirimu. Aku gagal mengarahkan dan mengawasinya. Itu kesalahanku.”
Yuki menundukkan kepala, merasa hatinya penuh dengan berbagai emosi—marah, sedih, bingung. “Aku tidak tahu bagaimana menghadapi dia, Yang Mulia. Apa yang dia lakukan… terus menghantuiku.”
Raja Bardhana terdiam, memahami bahwa obsesi anaknya mungkin sudah terlalu dalam untuk dihentikan dengan mudah. “Aku akan berbicara padanya, Yuki. Aku tidak bisa berjanji dia akan berubah… tapi aku akan mencoba untuk membuatnya melihat betapa dia telah menghancurkan dirimu dan dirinya sendiri.”
Mereka berdua tenggelam dalam keheningan, merasakan beban berat masa lalu dan kesalahan yang terus menghantui.
Raja Bardhana berkata dengan suara rendah, mencoba menenangkan Yuki, “Riana… dia hanya tidak tahu bagaimana cara menunjukkan cintanya padamu. Dia dibutakan oleh perasaannya, dan mungkin karena itu, dia bertindak dengan cara yang salah. Cintanya kuat, tapi juga keliru dalam banyak hal.”
Yuki terdiam, perasaannya campur aduk. “Tapi bagaimana mungkin cinta terlihat seperti itu, Yang Mulia? Cinta yang menyakiti, mengklaim, dan membuatku merasa terjebak? Ataukah tidak ada cinta dan Aku seperti Ratu Elmira”
Raja Bardhana terdiam sejenak, merenungkan perkataan Yuki. Ia menyadari betapa dalam kesalahpahaman yang telah terbentuk dalam pikiran Yuki. Yuki merasa seperti Ratu Elmira—Istrinya dan Ibu dari Riana, seorang wanita yang mencintai pria yang hatinya sepenuhnya milik wanita lain. Kesalahpahaman itu bisa menghancurkan Yuki dan semakin mengaburkan hubungan yang sudah rumit antara dirinya dan Pangeran Riana.
“Yuki,” kata Raja Bardhana dengan lembut namun tegas, “kau tidak berada dalam posisi yang sama dengan Ratu Elmira. Riana bukan aku, dan kau bukan Elmira. Perasaannya padamu, meskipun ditunjukkan dengan cara yang keliru, sangat nyata.”
Raja Bardhana menarik napas panjang. “Riana tidak mencintai Marsha seperti yang kau pikirkan. Kedekatan mereka adalah bagian dari masa lalu, tapi sekarang, itu lebih pada menghormati hubungan lama dan menjaga politik antar bangsawan. Riana mungkin tidak tahu bagaimana cara memperlakukanmu dengan baik, tapi itu bukan karena dia mencintai wanita lain. Dia hanya tersesat dalam caranya mencintaimu.”
Yuki terdiam, mencoba mencerna kata-kata Raja Bardhana. Hatinya masih dipenuhi kebingungan, tapi perlahan, ia mulai melihat bahwa mungkin semua yang ia pikirkan selama ini tidak sepenuhnya benar.
“Melihatmu yang sekarang, Aku merasa lebih baik Kau menjadi anakku dengan Ransah. Dengan begitu Aku lebih mudah melindungimu dan menghindarkanmu dari Anakku Riana”
Yuki terkejut mendengar kata-kata Raja Bardhana. Matanya membesar, dan sejenak, ia merasa dunianya terhenti. Raja Bardhana, yang dulu adalah kekasih ibunya, kini berbicara seolah menyesal karena Yuki tidak dilahirkan sebagai putrinya sendiri. Sebuah rasa campur aduk antara keheranan dan kebingungan merasuk dalam benak Yuki.
“Yang Mulia…” suara Yuki hampir tidak terdengar, ia tidak tahu bagaimana harus merespons. Ada keinginan untuk membalas pernyataan itu, tapi lidahnya kelu.
Raja Bardhana melanjutkan dengan nada lembut, namun serius. “Jika kau adalah putriku, Yuki, aku akan memastikan kau terlindungi dari segala penderitaan yang datang dari Riana. Aku tidak akan membiarkan dia menyakitimu. Tapi kenyataannya berbeda… Aku hanya bisa berharap, sebagai ayahnya, bahwa dia bisa memperbaiki dirinya sendiri.”
Yuki terdiam, menunduk memandang salju di kakinya. Ucapan Raja Bardhana terdengar seolah penuh penyesalan, namun juga mengandung harapan. Raja Bardhana ingin melindunginya, tapi apa artinya itu bagi Yuki sekarang, ketika dirinya sudah begitu jauh terlibat dengan Pangeran Riana?
“Kau adalah hidup Riana Yuki. Seperti Ibumu adalah hidupku. Aku masih mencintainya. Sampai sekarang. Apapun yang terjadi dimasa lalu adalah apa yang kusesali. Dan Aku tidak ingin Kau ataupun Riana melakukan kesalahan yang akan Kalian sesali.”
Yuki menatap Raja Bardhana dengan mata berkaca-kaca, merasakan beban dari kata-katanya. Ia bisa merasakan kedalaman penyesalan dan cinta yang masih tertinggal dalam diri raja itu—cinta yang pernah dimiliki untuk ibunya, Putri Ransah.
Kata-kata Raja Bardhana, bahwa Yuki adalah hidup Riana seperti ibunya adalah hidup Raja Bardhana, menghantam perasaan Yuki dengan keras. Ada kesamaan dalam jalan hidup mereka, dan entah bagaimana, itu membuat Yuki semakin bingung dengan perasaannya terhadap Pangeran Riana.
“Apa yang terjadi padaku dan Pangeran Riana…” Yuki berkata pelan, suaranya nyaris bergetar, “…apakah ini akan berakhir seperti yang terjadi pada Mama dan Yang Mulia? Dengan penyesalan?”
Raja Bardhana mendekat, matanya penuh keprihatinan. “Aku berharap tidak, Yuki. Kau dan Riana masih memiliki kesempatan untuk mengubah segalanya.”
Yuki menunduk, merasakan beban emosional yang begitu berat. “Tapi aku tidak tahu bagaimana mengubahnya. Pangeran Riana… dia terus menyakitiku. Bagaimana bisa ada cinta jika itu hanya membawa rasa sakit?”
Raja Bardhana mendesah pelan, seolah berat dengan pikirannya sendiri. “Itulah mengapa aku berharap kalian tidak mengulangi kesalahan yang kualami. Riana mencintaimu—walaupun dia tidak tahu bagaimana cara menunjukkannya. Jangan biarkan kebencian atau ketakutan memisahkan kalian sebelum kalian benar-benar mencoba memahami satu sama lain.”
Yuki memejamkan matanya, air matanya perlahan jatuh. Di tengah dinginnya salju, kata-kata Raja Bardhana menghantam hatinya. Tapi di sisi lain, masih ada luka yang begitu dalam dari perlakuan Pangeran Riana, yang sulit untuk dilupakan begitu saja.
...****************...
Yuki berjalan perlahan bersama Raja Bardhana, menyusuri taman bersalju menuju kereta kuda yang menunggu. Suasana di sekitarnya terasa tegang, meskipun tak ada kata-kata yang terucap antara mereka. Yuki masih merasa terombang-ambing oleh percakapan barusan, hatinya berat dengan emosi yang belum sepenuhnya ia pahami.
Tiba-tiba, langkah Yuki terhenti ketika melihat sosok yang sudah tidak asing lagi di depannya—Pangeran Riana, bersama Putri Marsha dan beberapa bangsawan lainnya. Mereka sedang bercakap-cakap, namun pandangan Pangeran Riana langsung tertuju padanya begitu menyadari kehadirannya di sana bersama ayahnya.
Tatapan Pangeran Riana yang gelap dan tajam bertemu dengan mata Yuki, dan ada sekilas kilatan emosi yang sulit dijelaskan. Apakah itu kecemburuan, kemarahan, atau sesuatu yang lebih dalam? Yuki tidak tahu, tetapi rasa dingin yang ia rasakan bukan hanya dari salju yang turun.
Putri Marsha, yang berdiri di sisi Riana, tampak anggun dan tenang. Namun, ada sinar di matanya yang tidak bisa disembunyikan, seolah ingin menunjukkan bahwa ia memiliki tempat di samping Pangeran Riana. Bangsawan-bangsawan lain yang berada di sana juga tampak memperhatikan situasi, meskipun tidak ada yang berbicara secara langsung.
Raja Bardhana menghentikan langkahnya, memandangi anaknya dengan tatapan yang penuh makna, sebelum berkata dengan suara yang rendah namun tegas. “Pangeran Sera memperlakukan Calon Ratu Kita dengan baik, Dia menjanjikan tidak ada wanita lain di sisinya. Mungkin, Riana Kau bisa mempertimbangkan untuk mengatasi bencana itu” sindir Raja Bardhana pada Pangeran Riana mengenai kedekatannya dengan Putri Marsha.
Pangeran Riana menatap ayahnya dengan mata penuh emosi yang terpendam, bibirnya tetap terkatup rapat. Kata-kata Raja Bardhana seperti panah yang ditembakkan dengan tepat, langsung menuju inti permasalahan. Yuki, yang berdiri di antara mereka, merasa dadanya berdebar saat mendengar sindiran halus tersebut. Meski disampaikan dengan tenang, maksud Raja Bardhana sangat jelas—Pangeran Sera telah bersikap terhormat terhadap Yuki, sementara Riana masih mempertahankan kedekatannya dengan Putri Marsha di tengah hubungan yang semakin rumit dengan Yuki.
Putri Marsha, yang berdiri di samping Pangeran Riana, tampak sedikit tersentak mendengar pernyataan itu. Namun, ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap Raja Bardhana dengan senyum tipis yang menutupi perasaan tidak nyamannya. Suasana terasa semakin tegang, seperti ada sesuatu yang menggantung di udara antara mereka.
Pangeran Riana akhirnya membuka mulutnya, meski nada suaranya terdengar terkendali, ada kekesalan yang samar. “Aku tidak membutuhkan pelajaran tentang bagaimana caraku menjalani hubunganku, Ayah. Marsha hanyalah teman lama.” Ia menekankan kalimat terakhir dengan tatapan tajam ke arah Raja Bardhana, tetapi semua yang hadir dapat merasakan bahwa sindiran itu telah mengenai sasaran.