Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman yang Menyakitkan
...Tama...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Enam tahun yang lalu...
"Menurut lo, apa karena kita seharusnya enggak ngelakuin ini, makanya kita suka banget ngelakuinnya?" tanya Yesica.
Dia bahas soal ciuman kita.
Kita sering banget ciuman.
Setiap ada kesempatan, bahkan ketika enggak ada kesempatan sekalipun.
"Maksudnya lo bilang enggak seharusnya, itu karena orang tua kita ada di rumah?"
Dia jawab iya.
Suaranya terengah-engah, soalnya gue lagi cium lehernya pelan-pelan.
Gue suka banget bisa bikin dia kehabisan napas.
"Inget enggak pertama kali gue liat lo, Yesica?"
Dia mendesah, tanda kalau dia ingat.
"Dan inget enggak waktu gue nganter lo ke kelas Pak Jun?"
Dia kasih jawaban tanpa kata lagi, iya.
"Waktu itu gue pingin banget nyium lo." Gue balik lagi ke bibirnya dan tatap matanya. "Lo juga pengen nyium gue, kan?"
Dia jawab iya, dan gue bisa lihat di matanya kalau dia lagi mengingat. Kembali ke hari itu.
Ke hari di mana dia jadi segalanya buat gue.
“Kita enggak tahu soal orang tua kita waktu itu,” jelas gue. “Tapi kita tetap ngelakuin ini. Jadi, menurut gue bukan itu alasannya kenapa kita suka kayak gini sekarang.”
Dia senyum.
“Tuh, lihat?” bisik gue, sambil mengelus lembut bibir gue ke bibirnya buat tunjukan betapa enak rasanya.
Dia bangkit dari bantal dan bersandar di sikunya.
“Gimana kalau kita emang cuma suka ciuman aja?” tanyanya. “Gimana kalau ini enggak ada hubungannya sama gue atau lo secara perasaan?”
Dia selalu begitu. Gue bilang dia harusnya jadi pengacara, karena dia suka banget debat jadi penantang. Tapi gue suka kalau dia kayak begitu, jadi gue selalu ikut main.
“Bagus,” jawab gue. “Gue emang suka ciuman. Tapi ciuman ini beda.”
Dia lihat gue dengan penasaran. “Apa bedanya?”
Gue turunkan bibir gue lagi ke bibirnya. “Lo,” bisik gue. “Gue suka ciuman sama lo.”
Itu cukup menjawab pertanyaannya, karena dia langsung diam dan membawa bibirnya kembali ke bibir gue.
Gue suka Yesica yang selalu tanya semuanya. Itu bikin gue melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda. Gue selalu menikmati ciuman sama mantan-mantan gue, tapi semua itu cuma karena gue nafsu sama mereka. Enggak ada hubungannya sama hati.
Waktu gue cium cewek-cewek lain, gue merasakan kesenangan. Itulah kenapa orang suka ciuman, karena rasanya enak.
Tapi kalau lo suka ciuman sama seseorang karena siapa dia, bedanya bukan di kesenangan.
Bedanya ada di rasa sakit yang lo rasakan saat lo enggak lagi bisa cium dia.
Enggak ada rasa sakit waktu gue cium cewek-cewek lain.
Sakit itu cuma ada pas gue enggak bisa cium Yesica. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa jatuh cinta itu sakit banget.
Gue cinta sama lo, Yesica.
...Sintia...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tama: Lo lagi sibuk enggak?
^^^Gue: Sibuk. Ada apa?^^^
Tama: Gue butuh bantuan lo. Enggak bakal lama kok.
^^^Gue: Oke, lima menit lagi gue sampai.^^^
Gue harusnya minta waktu sepuluh menit, bukan lima menit, karena hari ini gue belum mandi. Setelah dapat shift sepuluh jam tadi malam, gue yakin banget gue harus mandi. Kalau gue tahu dia sudah balik, mandi bakal jadi prioritas pertama gue, tapi gue kira dia baru balik besok.
Gue cepol rambut gue dengan asal dan ganti celana piama gue dengan jeans. Masih belum jam 12 siang, tapi malu juga kalau ngaku gue masih di kasur.
Dia teriak suruh gue masuk setelah gue ketuk pintu, jadi gue dorong pintunya. Dia lagi berdiri di atas kursi dekat jendela ruang tamu. Dia lihat gue sekilas, terus mengangguk ke arah kursi.
"Tolong ambilin kursi itu, dorong ke sini," katanya sambil tunjukan tempat beberapa meter dari dia. "Gue lagi coba ukur ini, tapi gue enggak pernah beli gorden sebelumnya. Gue enggak tahu harus ngukur dari bingkai luar atau jendela itu sendiri."
Wah, gue enggak nyangka.
Dia beli gorden.
Gue geser kursi ke sisi lain jendela dan naik ke atasnya. Dia kasih salah satu ujung meteran ke gue dan mulai menariknya.
"Itu tergantung lo mau gorden yang kayak gimana, jadi gue saranin lo ambil ukuran dua-duanya," usul gue.
Dia lagi pakai baju santai lagi, jeans sama kaos biru tua. Entah bagaimana, warna biru tua di kaosnya bikin matanya kelihatan kurang gelap.
Dia catat ukuran itu ke HPnya, terus kita ambil ukuran kedua. Setelah dia memasukkan kedua ukuran itu, kita turun dan dorong kursi-kursi itu balik ke bawah meja.
"Gimana sama karpet?" tanyanya, sambil memperhatikan ke lantai di bawah meja. "Menurut lo, gue harus beli karpet?"
Gue angkat bahu. "Terserah lo." Dia mengangguk pelan, masih lihat ke lantai kosong.
"Gue enggak tahu," katanya pelan. Dia lempar meteran ke sofa dan lihat gue. "Lo mau ikut?"
Gue tahan diri buat enggak langsung mengangguk. "Ke mana?"
Dia geser rambut dari dahinya dan ambil jaket yang dia lempar di belakang sofanya. "Ke tempat orang jual gorden."
Harusnya gue bilang enggak.
Pilih gorden itu hal yang biasa dilakukan oleh pasangan rumah tangga.
Cari gorden bareng bukan hal yang harusnya Tama dan gue lakukan kalau dia mau tetap kukuh pada aturan kita.
Gue angkat bahu supaya jawabannya kelihatan lebih santai dari yang sebenarnya. "Boleh. Gue kunci pintu dulu."
...***...
"Apa warna favorit lo?" tanya gue pas kita di dalam lift. Gue coba fokus sama tugas ini, tapi gue enggak bisa bohongi diri kalau gue ingin banget dia menyentuh gue.
Ciuman, pelukan... apa saja.
Tapi kita berdiri di sisi yang berlawanan di lift. Kita belum saling sentuh sejak malam pertama kita berhubungan. Kita bahkan enggak bicara atau kirim pesan sejak itu.
"Hitam?" katanya, enggak yakin sama jawabannya sendiri. "Gue suka hitam."
Gue geleng kepala. "Lo gak bisa dekorasi pakai gorden hitam. Lo butuh warna. Mungkin sesuatu yang mendekati hitam tapi bukan hitam."
"Navy?" tanyanya. Gue perhatikan matanya enggak fokus ke mata gue lagi. Matanya perlahan melirik dari leher gue sampai ke kaki.
Setiap tempat yang dia lihat, gue bisa merasakannya.
"Navy bisa aja," jawab gue pelan. Gue cukup yakin obrolan ini cuma ada buat mengisi keheningan saja. Dari cara dia melihat gue, jelas kita berdua enggak lagi memikirkan warna, gorden, atau karpet sekarang.
"Lo kerja malam ini, Tia?"
Gue mengangguk.
Gue suka kalau dia memikirkan malam ini, dan gue suka banget bagaimana dia selalu mengakhiri pertanyaannya dengan nama gue.
Gue suka bagaimana dia mengucapkan nama gue. Harusnya gue bikin aturan kalau dia harus sebut nama gue setiap kali ngomong sama gue. "Gue baru masuk jam sepuluh."