Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 - Aku Sudah Memulainya
"Please jangan peluk, aku bisa gila, Cakra."
Ameera sampai memejamkan mata, dia pikir Cakra akan berbuat sejauh itu. Nyatanya, pria itu hanya memakaian jaket untuk Ameera. Malu bukan main, terlebih lagi kini Cakra tersenyum tipis seolah tahu isi otaknya.
"Kenapa? Mau dipeluk?" tanya Cakra membuat Ameera semakin malu hingga wajahnya memerah.
"Apasih? Tidak sama sekali."
Ameera mencebik, entah sengaja atau bagaimana, yang jelas kali ini dia merasa seolah tengah Cakra lucuti satu persatu. Meski sudah membuat Ameera seakan tidak punya muka, Cakra tetap santai saja memasangkan jaketnya.
"Cakra, kamu tidak perlu begini. Maksudku cukup pelan-pelan, kalau begini kamu yang dingin."
"Anginnya tetap berasa walau pelan. Besok-besok bajunya jangan pendek gini ya cantiknya, Cakra," ucap Cakra lembut hingga wanita itu hanya bungkam dibuatnya.
Bukannya menjawab, Ameera hanya terdiam dan terus menatap lekat wajah Cakra. Begitu banyak pertanyaan yang membelenggu benak Ameera setiap kali menatapnya, salah-satu yang paling tertanam ialah kenapa bisa Cakra meratukan seseorang begitu lembut sementara dunia saja begitu keras padanya.
"Hei, Sayang!"
"Hah? I-iya kenapa?" Ameera terpranjat kala Cakra memanggil dengan suara sedikit meninggi seraya menyentuh dagunya.
"Melamun ternyata, dengar tidak?"
"Dengar, siapa juga yang melamun."
Bukan putri Mikhail jika tidak pernah membohongi hatinya, saat ini jelas saja dia berkhianat. Secepat mungkin dia bersikap seolah baik-baik saja, berharap Cakra tidak akan menerka apa yang dia pikirkan.
"Oh iya? Coba ulangi aku bilang apa," pinta Cakra kemudian, gelagat Ameera terlalu kentara hingga siapapun bisa membaca pikirannya.
Ameera yang terjebak keadaan terpaksa asal menjawab dan berpikir jawaban yang sekiranya paling mendekati walau mungkin tidak tepat. "Lain kali bawa jaket."
Detik itu Ameera menjawab, detik itu juga Cakra tertawa sumbang kemudian mencubit pipinya. "Ngaco," tandas Cakra sebelum kemudian kembali duduk di depan Ameera.
"Cakra!! Jangan asal cubit, jerawatan nanti."
Mulutnya protes, tapi tangannya kini balas dendam mencubit perut Cakra hingga pria itu tergelak dan menahan tangan Ameera. "Kalau mau peluk tinggal peluk, Ra, pakai acara nyubit segala."
Ameera lupa jika ada istilah senjata makan tuan. Niat hati hanya untuk mencubit, kini justru terjebak dan Cakra tidak memberikan izin untuknya agar bisa lepas. Baru saja berhasil mundur, tepat di depan lampu merah Cakra berhenti mendadak hingga Ameera keduanya benar-benar tidak berjarak.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Cakra tidak meminta maaf, melainkan meraih kedua tangan Ameera agar melingkar di perutnya. Tidak selesai di sana, Cakra juga meletakkan tangannya di atas lutut Ameera.
"Apa begini pacaran yang sesungguhnya?"
Ameera mengullum senyum, dia yang tadinya begitu terpaksa melingkarkan tangan di perut Cakra perlahan bisa mengendalikan perasaan. Ada beberapa hal yang tidak pernah dia rasakan sebelum mengenal Cakra, termasuk hal-hal semacam ini.
"Sssh Cakra!!"
Belum selesai lamunan Ameera, dia merasakan sakit di lututnya. Sudah tentu hal itu karena kuku tajam Cakra. Ameera yang baru saja terlena dengan suasana yang belum pernah dia alami tersebut, kini fokus dengan lututnya.
"Kenapa? Perih?"
"Tajam banget sih, itu kuku atau belati, Cak," gerutu Ameera seraya mengusap lututnya berkali-kali.
Sementara Cakra yang merasa bersalah jelas tidak tinggal diam. Demi Tuhan Cakra lupa, kukunya memang belum sempat dipotong dan sama sekali tidak menduga jika akan menyakiti Ameera malam ini.
Suasana romantis tersebut buyar sudah. Beruntung saja Ameera bukan tipe wanita yang memperpanjang masalah, mungkin karena dia juga membatasi diri hingga tidak bertindak seolah pasangan Cakra sungguhan.
Karena hal itulah dia tidak mungkin akan marah dan meminta Cakra membujuknya seperti wanita kebanyakan. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain menegaskan jika baik-baik saja dan menerima permintaan maaf dari Cakra.
Walau sesederhana itu, tetap saja Cakra merasa bersalah. Bahkan ketika tiba di kediaman keluarga Megantara, pria itu masih terus memastikan keadaan Ameera.
"Serius, Ra, masih sakit tidak?"
"Tidak, Cakra, tadi aku terkejut makanya sampai teriak."
Andai tahu Cakra akan sekhawatir ini, mungkin Ameera tidak akan bereaksi berlebihan seperti tadi. Hanya karena tidak sengaja menggores lutut Ameera dengan kuku tajamnya, Cakra sampai sepanik ini.
Setelah berkali-kali dia pastikan, pada akhirnya Cakra menyerah juga. "Semoga," timpal Cakra seraya melempar senyum hangat ke arah Ameera.
"Ehm, pulanglah ... jangan begadang, nanti pulang kalau bisa langsung tidur ya."
"Kebalik, aku yang harusnya bilang begitu," jawab Cakra tidak segera mengiyakan, respon Ameera lebih dulu membuat jiwanya tergelitik.
Tanpa menjawab, Ameera hanya menunduk seraya meremas ujung jemarinya. Jujur Ameera tidak suka bagian ini, dia seolah bingung dengan diri sendiri yang seakan hilang kendali. Sadar betul jika dia sudah dewasa, tapi anehnya wanita itu seolah betah berhadapan dengan pria yang jauh lebih muda darinya.
"Dah sana pulang, kalau sampai kabarin."
"Kamu masuk dulu, baru aku pulang," ucap Cakra bersedekap dada, sebuah permintaan sekaligus perintah yang harus Ameera turuti saat ini juga.
Keduanya sama-sama mendominasi jika sudah menjalin hubungan, tapi untuk beberapa hal Cakra akan bersikap egois dan enggan mengalah, termasuk kali ini. Dia masih terus memandangi Ameera yang meninggalkan dirinya, hingga kala Ameera menoleh Cakra sontak melambaikan tangannya.
"Love you."
Cakra berguman sebelum melayangkan ciuman jarak jauh pada Ameera. Sebuah ungkapan yang mungkin tidak akan terbaca oleh Ameera karena jarak mereka cukup jauh dan Cakra juga begitu pelan kala mengutarakannya.
.
.
Dibalik hubungan Cakra dan Ameera yang kian manis, masih ada satu jiwa yang terus terbakar, Julio. Dari kejauhan dia pandangi, hingga setelah usai memastikan tidak ada lagi Cakra di sana barulah Julio mengambil kesempatan.
Tidak peduli sekalipun harus memicu keributan lebih dahulu, Julio dengan tanpa malunya berteriak memanggil Ameera di depan gerbang utama. Tidak hanya berteriak, dia bahkan meraung dan mengutarakan kegilaannya demi membuat Ameera menemuinya.
"Kamu tidak punya malu, Julio?"
"Meera, tolong kasih kesempatan ... aku ingin bicara, Sayang, kumohon," lirih Julio bahkan rela berlutut di hadapan Ameera, sebuah cara paling basi yang dia gunakan demi memohon agar Ameera bersedia untuk kembali.
"Kita sudah selesai, tolong ingat itu."
Dahulu mungkin Ameera tidak akan tega membiarkannya berdiri di luar pagar, tapi kini untuk menatapnya saja dia malas. Sudah bulat tekad Ameera untuk pergi dari Julio, sekalipun pria itu menangis darah dia tidak akan sudi kembali apapun alasannya.
"Ameera, aku sudah putus dengan Anita ... kembalilah, kita mulai semua dari awal, Sayang."
"Aku sudah memulai semuanya dari awal, tapi tidak bersamamu," balas Ameera tegas. Sekecil air mata semut sekalipun tidak ada rasa iba di dalam hatinya, yang ada hanya sakit dan dendam di sana.
Julio tertawa hambar, dia bangkit berdiri dengan perasaan kacau dan mengepal kuat-kuat. "Lalu? Bersama cowok miskin itu? Apa yang bisa kamu banggakan darinya, Ameera? Cowok semacam itu tidak lebih dari beb_"
Plak
.
.
- To Be Continued -
bukannya ponselnya masih belum kembali? /Doubt/