Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembang api
“Kak, sayang, bangun,” sebuah suara hangat menyentuh indera Keira yang masih tenggelam dalam lelap. Sentuhan lembut menggoyangkan tubuhnya, membuatnya perlahan membuka mata. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Kian, suaminya, sudah siap dengan mantel tebal, rambutnya tertata rapi, wajahnya dipenuhi antusiasme.
“Hah?” Keira menguap panjang, rasa kantuk masih menggulung dirinya seperti selimut tebal yang enggan ia lepaskan.
“Ayo, Kak. Mandi dulu sana. Aku nggak sabar banget nih main ke Disneyland! Udah lama nggak ke sana,” kata Kian dengan mata berbinar seperti anak kecil yang menunggu hari libur.
Keira tersenyum tipis, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan. Ekspresinya sejenak berubah, seolah ada bayangan masa lalu yang kembali menghantui. Kian, yang sangat mengenal setiap perubahan pada wajah istrinya, langsung menangkap kegelisahan itu.
“Kak, kamu takut?” tanyanya lembut, alisnya bertaut karena khawatir.
Keira menggeleng cepat, berusaha mengusir bayangan buruk yang berputar di benaknya. “Nggak kok, aku cuma... mimpi buruk tadi malam,” jawabnya pelan. Ia segera bangkit dari ranjang, melangkah menuju kamar mandi dengan gerakan ragu.
Kian memandangnya dengan tatapan penuh tanya, namun memilih diam. Sesuatu jelas membebani hati Keira, tapi ia tak ingin memaksa.
Di Disneyland, keramaian menyergap mereka begitu tiba. Suara tawa anak-anak, deru langkah orang-orang, dan musik ceria yang mengalun dari pengeras suara menciptakan atmosfer kegembiraan yang luar biasa. Setiap sudut penuh dengan kehidupan; warna-warni lampu dan hiasan seolah membawa pengunjung ke dunia lain.
“Kak, kamu mau ke wahana mana dulu?” tanya Kian, matanya tak lepas dari peta besar yang ia pegang.
Keira ingin menjawab, tetapi suaranya tertelan oleh suara keras dari pengeras suara yang menyapa pengunjung dalam bahasa Jepang. “Selamat datang di Disneyland!”
Seketika wajah Keira berubah. Tangannya, yang semula menggenggam tangan Kian dengan santai, kini mencengkeramnya erat. Matanya mulai berkaca-kaca, wajahnya memucat. Ia terdiam, seperti ada sesuatu dari masa lalu yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan. Kian, yang menyadari perubahan itu, dengan sigap menepi dan mengajaknya duduk di bangku terdekat.
“Kak, ada apa? Cerita sama aku,” bisik Kian, merangkul bahu Keira dengan lembut. Ia tahu ini bukan sekadar kelelahan, ada sesuatu yang lebih dalam.
Keira menundukkan kepala, air matanya mulai mengalir. Suara di sekitarnya terdengar jauh, seperti gema di kejauhan. Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang berat sebelum Keira akhirnya berbicara.
“Dulu, waktu aku masih kecil, aku pernah ke tempat permainan sama Papa dan Mama,” katanya dengan suara pelan, terputus-putus. “Aku kehilangan mereka... keramaian itu... suara pengeras suara... semuanya bikin aku panik. Aku nangis terus, nggak tahu harus ke mana. Suara keras itu ngebuat aku nggak bisa nemuin mereka.”
Kian menghela napas panjang, memeluk Keira lebih erat. Ia tak pernah menyangka tempat penuh kebahagiaan ini bisa membawa ingatan pahit bagi istrinya. “Kalau kamu nggak nyaman di sini, kita bisa pergi. Aku nggak mau kamu harus ngerasain itu lagi,” katanya lembut.
Keira menggeleng, menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Nggak apa-apa, Ian. Aku... aku nggak mau menyerah pada rasa takut. Ayo jalan, aku baik-baik saja sekarang,” katanya, mencoba tersenyum meski matanya masih basah.
Kian memandangnya sejenak, lalu mengangguk. Ia tahu betapa kuatnya Keira. “Oke, kalau kamu yakin.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan, meresapi setiap momen. Di depan mereka, kastil Disneyland berdiri megah dengan menara-menara yang menjulang, memantulkan cahaya keemasan dari matahari sore. Keira terperangah melihatnya.
“Wow,” gumamnya kagum. Rasa takut yang tadi menghantuinya perlahan memudar, digantikan oleh decak kagum pada keindahan di hadapannya.
Kian tersenyum kecil melihat wajah Keira yang penuh kekaguman. “Seneng, ya?” tanyanya lembut.
Keira mengangguk, matanya berbinar. “Ini pertama kalinya aku lihat kastil Disney beneran,” katanya dengan penuh semangat.
“Asal kamu tau, nanti malem ada kembang api di atas kastil. Sama lampu-lampunya juga bakal dinyalain,” kata Kian, membuat Keira semakin antusias.
“Serius? Wah, nggak sabar nunggu malem!” Keira berseri-seri, rasa cemas yang sempat melingkupinya sudah lenyap.
Sambil menunggu malam, mereka menjelajahi berbagai wahana. Dari Peter Pan's Flight yang membawa mereka terbang ke dunia dongeng, hingga pengalaman menonton 3D Star Wars yang membuat mereka seolah berada di tengah pertempuran luar angkasa. Kian memperhatikan bahwa setiap senyuman Keira hari itu seperti menebus semua luka yang pernah ia rasakan.
Saat malam tiba, kerumunan sudah berkumpul di depan kastil yang kini memancarkan warna ungu cemerlang. Di latar belakang, hologram raksasa Elsa dan Hans dari Frozen menari di tengah kastil, dengan alunan musik yang menyentuh. Kembang api mulai meluncur ke langit, mewarnai kegelapan dengan percikan cahaya yang mempesona.
Keira tak bisa menahan decak kagum, matanya terpaku pada langit yang penuh warna. Namun, di sela keindahan itu, ia memandang Kian. “Ian,” panggilnya.
Kian menoleh. “Iya, Kak?”
Keira menatapnya dalam-dalam, lalu tiba-tiba menyosor, mencium bibir Kian dengan lembut. Kian terkejut, matanya membesar, namun ia segera membalas ciuman itu.
Setelah melepaskan diri, Keira mengalungkan tangannya di leher Kian. “Makasih ya, Ian. Kamu selalu ada buat aku. Di saat aku kehilangan Mama Papa, di saat aku jatuh. Kamu nggak pernah ninggalin aku. Terima kasih,” ucapnya tulus.
Kian tersenyum hangat, memeluk Keira erat. “Sama-sama, sayang. Aku akan selalu ada buat kamu,” balasnya lembut, memandang wajah istrinya yang penuh kebahagiaan.