"Menikahlah denganku, maka akan kutanggung semua kebutuhanmu!"
Karina Anastasya harus terjebak dengan keputusan pengacara keluarganya, gadis sebatang kara itu adalah pewaris tunggal aset keluarga yang sudah diamanatkan untuknya.
Karina harus menikah terlebih dahulu sebagai syarat agar semua warisannya jatuh kepadanya. Hingga pada suatu malam ia bertemu dengan Raditya Pandu, seorang Bartender sebuah club yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafafe 3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghadapi ketidakpastian
Pagi yang cerah di luar seolah berlawanan dengan suasana hati Karin. Duduk di depan cermin, dia melihat bayangan dirinya dengan mata lelah dan wajah tegang. Hari ini adalah hari lain menuju terapi, tetapi entah mengapa, ia merasa terjebak dalam siklus yang tidak pernah selesai. Teh di cangkir di depannya sudah mendingin, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
Karin menghela napas panjang. "Harusnya aku bisa lebih baik dari ini," gumamnya pada dirinya sendiri. Dia tahu Pandu sedang menanggung banyak hal, menjaga bisnis keluarga, merawat ibunya yang sakit, dan masih harus bersabar dengan kebiasaan OCD-nya yang semakin membuatnya frustasi. "Aku tak bisa terus-terusan begini," ucapnya dalam hati. Dia tahu waktunya berubah, tetapi rasanya lebih sulit daripada yang ia kira.
Sesi terapi hari ini terasa lebih berat dari biasanya. Setiap kata dari psikolognya terasa seperti memecah benteng yang selama ini ia pertahankan, membawa emosi-emosi yang terpendam. Keluar dari ruang terapi, Karin merasa seolah terombang-ambing. Ada kemajuan kecil, tentu, tapi semuanya terasa lambat.
Di rumah, Pandu sedang menunggu dengan senyum yang tulus. "Bagaimana terapinya tadi?" tanyanya, mencoba untuk terdengar ceria. Dia tahu betul bahwa hari-hari ini sangat berat untuk Karin, tapi dia juga sudah mulai merasa cemas karena tidak ada perubahan yang berarti.
"Seperti biasa," jawab Karin pelan, seraya membuka sepatunya dengan pelan. "Aku merasa tak ada kemajuan yang nyata, Pandu. Aku merasa seperti mengecewakanmu. Dan itu membuatku lebih buruk."
Pandu menatapnya penuh perhatian, menghampirinya dan menariknya ke dalam pelukan. "Karin, aku tidak pernah merasa kecewa padamu. Ini butuh waktu, dan aku di sini bersamamu, apa pun yang terjadi."
Namun di dalam dirinya, Pandu juga merasakan frustrasi. Meskipun dia berusaha sebisa mungkin untuk mendukung Karin, ada momen-momen di mana dia juga ingin semuanya berjalan lebih cepat. Tapi dia tahu dia tak bisa menunjukkan itu pada Karin. Dia harus tetap menjadi batu karang yang kuat.
"Ya, tapi aku tidak ingin terus-terusan membuatmu lelah," gumam Karin dengan suara yang hampir terdengar seperti rintihan. Dia menarik diri dari pelukan Pandu dan berjalan menuju dapur, tetapi setiap langkah terasa berat di pundaknya.
Saat Karin mencoba membereskan dapur, Pandu melihatnya mulai panik ketika satu piring terlihat tidak berada di tempatnya yang seharusnya.
"Karin, santai saja. Biarkan piring itu di situ dulu, kita bisa membereskannya nanti," kata Pandu, mencoba untuk menenangkan suasana.
Namun, Karin tidak mendengarkan. Dia mendekati piring itu dengan ekspresi tegang, seolah-olah ketidakteraturan kecil itu adalah masalah besar. Dengan cepat, Karin menatanya kembali, tetapi masih merasa cemas.
"Ini harus sempurna, Pandu. Aku tidak bisa biarkan ini begitu saja," ujar Karin dengan nada putus asa.
Pandu memutar matanya dan tertawa kecil. "Serius, itu cuma piring, Karin. Bukan akhir dunia!"
Karin menatapnya dengan ekspresi bingung. "Kamu tidak mengerti, Pandu. Ini bukan hanya tentang piring. Ini tentang segalanya. Aku merasa tidak pernah bisa mengendalikan hidupku, dan kalau aku biarkan satu hal saja tidak sempurna, semua akan berantakan."
Pandu mendekat dengan senyuman lembut, mengangkat piring itu dengan penuh canda dan berkata, "Oke, piring, lihatlah. Kamu telah menyebabkan kegemparan besar hari ini. Aku akan menempatkanmu di tempat yang benar agar kamu tidak bikin onar lagi." Dia mengedipkan mata ke arah Karin dengan canda, berharap bisa meredakan ketegangannya.
Karin hanya menatapnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil, tetapi jelas masih ada kesedihan di balik senyuman itu. Pandu menariknya ke dalam pelukan lagi. "Kamu tidak sendiri dalam hal ini. Kita akan melakukannya bersama-sama, perlahan-lahan, dan aku tidak akan meninggalkanmu."
Namun, malam itu, kabar buruk datang. Pandu menerima telepon dari adiknya. "Kak Pandu, ibu semakin parah. Dokter bilang kondisinya menurun drastis." Suara adiknya terdengar lelah dan penuh kekhawatiran di ujung telepon.
Wajah Pandu berubah serius, membuat Karin yang mendengarkan dari kejauhan mulai cemas. Setelah Pandu menutup telepon, Karin menatapnya dengan pandangan penuh rasa bersalah.
"Harusnya kamu lebih sering bersama ibumu," ujar Karin dengan suara lemah. "Aku hanya menjadi beban bagimu. Kamu harusnya di sana, bukan di sini. Aku tidak pantas mendapatkanmu, Pandu. Aku bahkan tidak bisa mengatasi masalahku sendiri."
Pandu menatap Karin, merasakan hatinya tersentuh oleh kata-kata tersebut. Dia mendekat dan duduk di sebelah Karin, menggenggam tangannya dengan erat.
"Karin, aku menikah denganmu bukan karena kasihan atau karena aku harus. Aku menikah denganmu karena aku mencintaimu. Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi ini bersama. Aku tidak akan meninggalkanmu hanya karena ada masalah. Dan aku tahu kamu akan melewati semua ini."
Mata Karin mulai berkaca-kaca. "Tapi, aku hanya merasa... tidak cukup baik. Kamu punya banyak hal yang harus diurus, dan aku tidak bisa membantu. Aku bahkan membuat segalanya lebih sulit."
Pandu menatapnya dalam-dalam. "Karin, kamu lebih dari cukup. Kamu kuat, lebih kuat daripada yang kamu kira. Dan aku di sini bukan untuk menyerah padamu. Kita akan atasi ini satu demi satu.
Saat malam semakin larut, Karin duduk di tepi tempat tidur sambil memandang keluar jendela. Pandu, yang baru selesai berbicara lagi dengan keluarganya di telepon, berjalan mendekati Karin dan menatapnya. Ia tahu bahwa situasi di keluarganya semakin sulit, namun ia juga tak ingin meninggalkan Karin dalam keadaan seperti ini.
"Kita bisa ke rumah sakit besok pagi," kata Karin tiba-tiba, suaranya sedikit gemetar tapi tegas. "Aku bisa ikut kamu, Pandu. Aku ingin ada di sana bersamamu."
Pandu terkejut mendengar tekad dalam suara Karin, tetapi ia tersenyum hangat. "Terima kasih, Karin."
Namun, sebelum mereka bisa merencanakan lebih lanjut, telepon Pandu kembali berdering. Pandu meraih ponselnya dengan cepat, tetapi setelah beberapa detik mendengarkan, wajahnya berubah pucat.
"Kita harus pergi sekarang," ucap Pandu dengan suara berat. "Mama..."
Karin berdiri terkejut, dan tanpa sepatah kata lagi, mereka bergegas keluar dari rumah. Pandu menyalakan mobil dengan cepat, sementara Karin hanya bisa berdoa dalam hati, berharap mereka tidak terlambat.
Apa yang akan mereka temukan di rumah sakit? Akankah Pandu menghadapi kehilangan yang tak terduga, atau masih ada waktu tersisa untuk memperbaiki hubungan dengan ibunya?