"Kak Zavin kenapa menciumku?"
"Kamu lupa, kalau kamu bukan adik kandungku, Viola."
Zavin dan Viola dipertemukan dalam kasus penculikan saat Zavin berusia 9 tahun dan Viola berusia 5 tahun. Hingga akhirnya Viola menjadi adik angkat Zavin.
Setelah 15 tahun berlalu, tak disangka Zavin jatuh cinta pada Viola. Dia sangat posesif dan berusaha menjauhkan Viola dari pacar toxic-nya. Namun, hubungan keduanya semakin renggang setelah Viola menemukan ayah kandungnya.
Apakah akhirnya Zavin bisa mendapatkan cinta Viola dan mengubah status mereka dari kakak-adik menjadi suami-istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
"Dari mana kamu tahu semua itu?" tanya Arvin dengan bergetar. Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Emosi semakin memuncak dalam dirinya saat mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Victor.
Victor menatap Arvin dengan tajam. "Aku lebih tahu semua tentang Viola daripada kamu. Apa kamu tidak mengawasi mereka di rumah? Jangan tertipu oleh sikap polos putramu, dia pasti akan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Biarkan saja Viola pulang ke rumahku, lalu kita nikahkan mereka. Dengan begitu, Viola akan tetap menjadi bagian dari keluargamu."
Arvin terdiam, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Ia merasa terjebak dengan keadaan itu, tak pernah terbayangkan status Viola yang dulunya anak angkat akan menjadi menantu.
"Aku tidak akan membiarkan kamu membawa Viola. Masalah Zavin, biar aku yang mengurusnya!" kata Arvin dengan tegas. Kemudian dia beranjak pergi tanpa menunggu jawaban dari Victor. Ia keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk.
Victor hanya tersenyum miring. "Sudah aku katakan, Viola pasti akan pulang ke rumahku dengan sendirinya," ucapnya pelan penuh percaya diri.
...***...
Di teras rumah, Viola merasa tidak tenang. Ia terus menunggu dengan gelisah, matanya terpaku pada jalanan, menanti mobil papanya yang sepertinya tak kunjung tiba. Jantungnya berdebar kencang setiap kali ada suara mesin kendaraan yang mendekat. Saat akhirnya mobil Arvin berhenti di halaman, senyuman menghiasi wajahnya. "Papa," teriaknya, segera berlari menghampiri papanya yang kini keluar dari mobil.
"Papa tidak apa-apa kan?" tanyanya penuh rasa khawatir sambil mengamati wajah papanya dengan seksama.
Arvin membalas tatapan putrinya dengan senyuman lembut. Sejak kecil, Viola selalu memiliki kebiasaan mengkhawatirkannya. Rasanya, ia semakin enggan untuk melepaskan Viola kembali kepada ayah kandungnya.
"Papa tidak apa-apa. Ini sudah malam, mengapa kamu masih menunggu di luar?" tanya Arvin sambil menggandeng tangan Viola dan membawanya masuk ke dalam rumah.
"Aku khawatir sama Papa," jawab Viola.
"Papa tidak apa-apa," ucap Arvin menenangkan. "Kamu sudah makan?"
Viola hanya menganggukkan kepalanya.
"Sekarang kamu tidur saja," katanya sambil mencium kening Viola dengan penuh kasih.
Viola tersenyum, merasakan kehangatan dari sentuhan papanya, sebelum menaiki tangga menuju kamarnya.
Setelah Viola menghilang ke dalam kamar, Arvin melonggarkan dasinya dan memasuki kamarnya sendiri. Di dalam, ia melihat istrinya, duduk di tepi ranjang dan menatapnya dengan tatapan tajam, seolah bisa membaca setiap pikiran yang melintas di benak Arvin.
"Sebenarnya ada masalah apa? Zavin, Viola, dan Papa sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku," tanya Zeva.
Arvin mendekat dan duduk di samping Zeva, lalu membuang napas panjang. Ia merengkuh bahu Zeva dan berusaha memberikan ketenangan. "Viola bertemu dengan ayah kandungnya," ucapnya pelan, hatinya bergetar saat kata-kata itu keluar.
Tatapan Zeva langsung terpaku pada Arvin, jelas sekali rasa cemas menggelayuti hatinya. "Apa Viola sudah mengingat masa lalunya?" tanyanya.
Arvin mengangguk pelan. "Viola dan Zavin tidak mau cerita sama kamu karena mereka tidak ingin membuatmu sedih."
Sejenak, Zeva menundukkan kepalanya dan meremat tangannya sendiri seolah berusaha menahan kepedihan yang menyeruak. Ia sangat menyayangi Viola. Ia tidak ingin kehilangan putri yang telah menjadi bagian dari hidupnya. "Apa Viola akan pergi dari rumah ini?" tanyanya.
Arvin mengusap lembut bahu Zeva, berusaha menenangkannya. "Aku akan berusaha membuat Viola tetap di sini, tetapi semua keputusan ada di tangan Viola. Dia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Jangan menunjukkan kesedihan seperti ini di depan Viola. Dia pasti juga sedang dilema."
Zeva hanya menganggukkan kepalanya. Ia berharap, Viola akan tetap bersamanya.
...***...
Viola duduk di meja belajarnya, matanya terpaku pada layar ponsel yang masih menyala. Sejak pulang dari perusahaan, ia terus berusaha menghindari Zavin. Ia tahu otak nakal Zavin sedang bekerja dengan baik hari itu, dan ia tidak ingin tergoda oleh godaannya yang selalu berhasil membuatnya luluh.
Ponselnya tiba-tiba bergetar, ada panggilan video dari Dika. Viola menatap layar sebentar, menyadari bahwa ia belum sempat menghubungi Dika sama sekali hari itu. Dengan malas, ia menggeser layar untuk menerima panggilan itu.
"Viola, kenapa kamu nggak balas pesanku? Dan kenapa kamu nggak masuk kuliah?" suara Dika terdengar cemas.
Viola menggeleng pelan, berusaha tersenyum meski hatinya terasa hampa. "Aku nggak apa-apa, nggak usah khawatir. Kamu lagi dimana sekarang?" tanyanya karena yang terlihat saat itu lampu dan langit-langit.
"Lagi di kamarku," jawab Dika sambil memutar kamera, memperlihatkan kamarnya. Gerakan cepat itu membuat pandangan Viola tertuju pada sesuatu, sebuah kaos yang tergeletak di ranjang. Kaos itu tampak familiar. Viola mengenal betul siapa pemiliknya. Raisa.
Hatinya tiba-tiba mencelos, tapi ia berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. "Kamu sibuk?" tanya Viola, meski ia tahu jawabannya. Perlahan, gambaran situasi di benaknya mulai jelas. Raisa dan Dika telah mengkhianatinya.
"Nggak, kamu mau ketemu sekarang?" Dika menawarkan, seolah tidak terjadi apa-apa.
Viola menggeleng. "Aku ngantuk, mau tidur. Besok, aku mau bicara sama kamu." Ia memutuskan panggilan itu tanpa menunggu jawaban dari Dika. Rasa kesal dan kecewa memenuhi dadanya. Ia memang tidak terlalu sakit hati, tapi tetap saja, persahabatannya dengan Raisa terasa palsu sekarang.
Dengan cepat, ia membuka kontak Zavin dan meneleponnya. "Kak Zavin, ke kamarku sekarang. Langsung masuk saja!" katanya cepat, sebelum melempar ponselnya ke ranjang.
Tak lama kemudian, Zavin muncul di pintu kamarnya. Ia melihat wajah Viola yang dipenuhi kemarahan. Setelah menutup pintu kamarnya, ia berjalan mendekat.
"Ada apa? Bukannya dari tadi kamu menghindariku?" Zavin duduk di tepi ranjang, tepat di belakang Viola.
Tiba-tiba Viola berdiri dan berbalik. Ia duduk di pangkuan Zavin, menghadap langsung ke arahnya. "Kak Zavin, boleh aku menangis?" napasnya mulai memburu. Sekuat apapun ia mencoba terlihat tegar, kenyataan dan masalah datang tanpa ampun seperti terus menghantam dirinya.
Zavin hanya mengangguk pelan sambil mengusap punggung Viola, memberi isyarat bahwa ia boleh meluapkan semua perasaannya.
Tanpa ragu, Viola memeluk Zavin erat, dan saat itulah tangisannya pecah.
Thanks Mbak Puput
Ditunggu karya selanjutnya ❤️
perjuangan cinta mereka berbuah manis...
Semoga cepat menghasilkan ya, Zavin
semoga cepat diberi momongan ya ..
udah hak Zavin...
😆😆😆
Siapa ya yang berniat jahat ke Viola?