Widia Ningsih, gadis berusia 21 tahun itu kerap kali mendapatkan hinaan. Lontaran caci maki dari uanya sendiri yang bernama Henti, juga sepupunya Dela . Ia geram setiap kali mendapatkan perlakuan kasar dari mereka berdua . Apalagi jika sudah menyakiti hati orang tuanya. Widi pun bertekad kuat ingin bekerja keras untuk membahagiakan orang tuanya serta membeli mulut-mulut orang yang telah mencercanya selama ini. Widi, Ia tumbuh menjadi wanita karir yang sukses di usianya yang terbilang cukup muda. Sehingga orang-orang yang sebelumnya menatapnya hanya sebelah mata pun akan merasa malu karena perlakuan kasar mereka selama ini.
Penasaran dengan cerita nya yuk langsung aja kita baca....
Yuk ramaikan ....
Update setiap hari...
Selamat membaca....
Semoga suka dengan cerita nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Tanpa Anda ceritakan, saya sudah tahu siapa Anda." Widi melipatkan kedua tangan di depan dadanya, ia memberikan aba-aba pada anak buahnya untuk menunjukkan perbuatannya.
Henti melihat gerak-gerik salah satu anak buah yang di tugaskan oleh Widi. Lalu Widi menunjukkan hp yang berisi video atas perbuatan Henti. Alangkah terkejutnya Henti melihat isi video karena sudah sampai ke Widi. Tak berselang lama, Henti pun tertawa membuat Widi dan yang lainnya pun heran, dengan tingkahnya yang aneh.
"Bos, apa dia masih waras? Atau sudah ." bisik anak buahnya seraya menempelkan jari telunjuk di dahi sedikit miring.
"Sstt ."
"Apa maksud anda melakukan hal seperti ini? Jangan membalikkan fakta!" tegas Widi.
Namun, Henti tidak menggubris ucapan Widi. Ia tetap ketawa entah apa yang lucu baginya.
"Terus, kalo aku yang melakukannya kamu mau apa?" tanya Henti menghentikan ketawanya, memasang wajah seperti meledek.
"Gampang kalo urusan itu, asal anda pilih saja. Jika sayang nyawa tolong jangan ganggu keluarga saya lagi, jika anda tidak sayang nyawa ...." Widi merekayasa seperti sembelih sapi kurban, Henti terbelalak dengan mata lebarnya.
Tak lama dari itu, ia pun ketawa lagi. Seolah-olah Widi hanya memancing dirinya saja agar tunduk.
"Kamu jangan mencoba menakuti aku ya !" tantang Henti menunjuk ke wajah Widi.
" Orang tua kamu memang pantas di hina, mereka tidak layak jadi orang kaya!" pekik Henti membuat urat lehernya keluar.
"Dibayar berapa sih kalian, jadi bodyguard nya perempuan rendahan ini!" sambungnya lagi.
"Diam kamu! Jangan coba-coba bilang Bos Widi seperti itu!" tegur bodyguard Widi.
Widi mendengus muak dengan ocehan Henti. Ia sudah kehabisan rasa sabarnya, selama ini ia sudah menelan omongan yang begitu membuat keluarganya sakit hati.
Widi mengayunkan kakinya berdiri tepat di samping Henti. Dan ia menempelkan pipinya dengan pipi Henti yang mana posisi mulutnya dekat dengan telinga Henti.
Entah apa yang di katakan oleh Widi sehingga mampu membuat Henti tak berkutik lagi, bahkan jarang sekali orang jahat meminta maaf pada korbannya. Ya, Henti langsung meminta maaf pada Widi saat itu juga, Henti langsung pucat tak berani lagi membantah ucapan Widi.
Henti masih berdiam diri di sofa, bagaikan habis melihat hantu secara nyata. Ketakutan yang tak bisa di katakan lagi, ia benar-benar di buat linglung oleh Widi.
Tak berselang lama, Dela pun sudah pulang bekerja. Seperti biasa ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa, kali ini ia merasa amat kesal di kantornya. Berharap di rumah akan diperhatikan oleh Mamah nya karena pulang tidak semangat, ternyata di luar dugaan dia mendapati Mamahnya yang sedang ketakutan.
"Mah, Mamah kenapa?" tanya Dela sedikit menggoyangkan bahu Mamahnya.
Henti bergeming dia masih memikirkan masalah tadi, Dela semakin bingung dengan tingkah Mamahnya yang mendadak seperti orang sakit jiwa.
"Ada apa sih dengan Mamah?" ucapnya dengan lirih seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sejak kapan kamu datang?" tanya Henti tiba-tiba, Dela terperanjat kaget mendengar penuturan Mamahnya yang tiba-tiba membaik.
"Mamah sudah sadar?" tanyanya dengan gugup.
"Mamah kenapa tadi?" sambungnya lagi.
"Oh iya, tadi di kantor sempat ramai soal video viral. Atau jangan-jangan ini ulah Mamah?" tebak Dela dengan menunjukkan jarinya ke wajah Henti.
"Secepat itu viral? Hahaha mereka memang pantas di hina!" gerutu Henti ketawa terbahak-bahak yang tiada henti.
"Maksud Mamah apa? Apa jangan-jangan ini perbuatan Mamah?" Dela semakin bingung dengan ucapan Henti.
"Apa Mamah gak takut, kalau tiba-tiba Widi melabrak Mamah karena perbuatan Mamah yang tidak wajar itu?"
"Hei, sejak kapan kamu perduli sama mereka!" Henti mendorong sedikit kasar kepala Dela.
"Ya, memang baru beberapa jam yang lalu dia pulang dari sini."
"Ha? Ngapain dia ke sini Mah?" kaget Dela.
Henti menunduk lama ia diam, membuat Dela semakin penasaran apa yang disembunyikan oleh Mamahnya.
"Ma?"
"Eh, gak ada apa-apa kok."
"Ma, aku anak Mamah aku tahu apa yang Mamah rasakan. Coba ceritakan Mah," titah Dela.
Ia heran kenapa bisa Mamahnya setakut ini.
"Maafin Mamah, itu ulah Mamah. Widi datang ke sini mengancam Mamah," balas Henti menunduk sembari meremas ujung bajunya.
"Apa, mengancam? Mengancam seperti apa Mah?" Dela semakin menggebu-gebu, ia tidak rela jika Mamahnya di khianati orang lain.
"Cukup! Mamah minta kamu hati-hati sama Widi." titah Henti tidak ingin terjadi apa-apa pada anak kesayangannya.
"Kenapa harus takut Mah? Itu hanya gertakan dia saja, supaya Mamah tidak menghina orang tuanya lagi," balas Dela bingung dengan Mamahnya yang tiba-tiba menciut.
"Apa kamu lupa, setiap ucapannya tidak pernah dilewatinya!" seketika Henti mengingatkan kejadian yang pernah dikatakan Widi saat itu.
Sehingga Dela menatap Mamahnya dengan mata lebar, Ia baru teringat setiap ucapan Widi tidak pernah main-main di situ ia merasa ketakutan.
"Berhenti mengganggu keluargaku atau anda dan anak kesayangan anda akan aku cincang habis dan kuberikan pada harimau bangkai kalian!" ucapan menohok yang keluar dari mulut Widi. Terus terngiang-ngiang di telinga Henti. Sehingga ia kesulitan untuk tidur.
.
.
.
Di rumah Widi. Kedua orang tuanya sangat antusias menunggu kepulangan Widi. Widi memeluk kedua orang tuanya yang setia menunggu, ia menatap lekat wajah ibu dan bapak tak bisa membayangi betapa sedihnya Widi perjuangan mereka yang begitu kuat.
Tidak terasa air matanya mengalir membasahi kedua pipi.