Demi kehidupan keluarganya yang layak, Vania menerima permintaan sang Ayah untuk bersedia menikah dengan putra dari bosnya.
David, pria matang berusia 32 tahun terpaksa menyetujui permintaan sang Ibunda untuk menikah kedua kalinya dengan wanita pilihan Ibunda-Larissa.
Tak ada sedikit cinta dari David untuk Vania. Hingga suatu saat Vania mengetahui fakta mengejutkan dan mengancam rumah tangga mereka berdua. Dan disaat bersamaan, David juga mengetahui kebenaran yang membuatnya sakit hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutrieRose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 BUKAN BULAN MADU
TENG!
Tepat pukul jam 12 malam. Seorang wanita dengan selimut digenggamannya nampak sedikit berpikir. Suasana rumah sudah sangat sepi. Hanya ada satpam yang berjaga di dekat gerbang.
KLEK!
Pintu terbuka dengan aman tanpa ada suara yang berisik. Tak ada siapapun di lantai tiga, dimana kamarnya berada. Ia perlahan menuruni tangga dan menuju ruang kamar suaminya. Dirinya penasaran dan juga ingin mencari bukti-bukti yang lain. Tentang rasa kecurigaannya selama ini terhadap David.
"Sial!" Pintu kamar David ternyata dikunci, membuatnya tak bisa masuk. Ingin mencari kunci cadangan tapi ia tidak tahu tempatnya.
Vania belum berputus asa, ia terus berpikir bagaimana caranya agar ia bisa masuk ke kamar suaminya. Tapi sudah hampir setengah jam ia berpikir, akhirnya menyerah juga.
Ia pun kembali naik ke atas, tapi belum sampai di depan kamarnya, Vania mendengar suara mobil berhenti di halaman rumah. Dirinya menuruni tangga lagi dan bersembunyi di belakang tembok. Menunggu siapa yang datang.
"David?" Ternyata suaminya pulang. Pria itu pulang hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong seadanya. Bahkan rambutnya terlihat acak-acakan.
Sudah beberapa hari ini David tidak pulang ke rumah. Dengan alasan ada pekerjaan di luar kota, informasi itulah yang ia dapat.
"Kamu baru pulang? Tengah malam begini?"
David terkesiap saat melihat Vania tiba-tiba datang. Entah darimana wanita itu tiba-tiba ada di dalam kamarnya.
"Mau dibikinin teh hangat?" tawarnya kemudian. David masih terdiam dengan pandangan terus menuju kepadanya. Entah sengaja atau bagaimana, Vania saat ini hanya memakai dress satin motif bunga-bunga tanpa lengan. Hanya ada seutas tali yang menempel di bahunya. Membuat kedua dadanya menyembul keluar.
"Kenapa belum tidur?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Vania.
"Aku menunggumu pulang. Kenapa sering ada pekerjaan di luar kota? Belum ada sebulan pasti ke luar kota lagi, ke luar kota lagi," keluhnya.
"Terus kamu maunya aku di rumah terus? Nganggur?"
Vania menggelengkan kepala. "Hm gak. Maksud aku—" Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tidak lah, tidak jadi. Terserah kamu. Oh ya, kemarin mama Rissa—"
"Merencanakan bulan madu ke dua?" potongnya cepat. Ia berjalan menghampiri Vania yang kini sedang duduk di tepi ranjang. Semakin dekat ia berjalan sampai Vania jatuh terjengkang dan berbaring di atas ranjang. Kedua netranya saling menatap. "Untuk apa menunggu mama merencanakan bulan madu ke dua. Sekarang aja juga boleh," ujar David dengan tatapan mematikan.
"Ja-jangan ...." Vania memohon.
"Jangan kelamaan?" godanya.
"Jangan sekarang! Pintunya belum ditutup," tunjuknya pada pintu yang masih terbuka. David tak menghiraukan dan langsung menindihi tubuh istrinya.
BRAKK!!!
Pintu pun ditutup oleh seseorang, entah siapa yang ada di luar. Hembusan nafas David menerpa halus di permukaan wajahnya saat ciuman itu dihentikan. Mereka saling menatap dalam dan memulai ciuman panas itu lagi.
Vania tak bisa berkutik, ia seakan pasrah saat satu persatu pakaiannya dilucuti oleh suaminya. Ia memeluk mesra tubuhnya yang kekar saat keduanya bersatu. Sentuhan-sentuhan yang tak pernah Vania rasakan membuatnya seakan terbang.
Desahan-desahan lembut terdengar halus di malam yang sunyi. Malam yang nikmat, yang tak pernah David sangka akan terjadi.
Mereka saling menatap keindahan tubuh masing-masing. Vania tak kuasa melihatnya dengan mata telanjang, ia berusaha memalingkan wajah tapi semakin ia berpaling semakin David meraih wajahnya untuk diciumi.
Pakaian berceceran di lantai. Rasa lelah dan peluh keringat mengucur deras di seluruh badannya.
"Ayo ...." David tiba-tiba menggendongnya dan berjalan menuju kamar mandi. Ia dudukan di bath up dan berendam bersama di sana. Lagi-lagi David menciumi dengan panas.
Wanita itu hanya bisa meremas lengan dan rambut kepala suaminya bergantian saat kenikmatan yang dirasakan tak bisa diungkapkan.
Saat mereka selesai mandi berdua, David membisikkan sesuatu. "Bilang pada mama, kalau tidak usah merencanakan bulan madu ke dua. Kita sudah cukup sering menghabiskan waktu berdua. Jika perlu, kita bisa pergi seharian berdua saja untuk kasih bukti ke mama."
Suara yang lembut menyapa telinganya sehingga ia merinding dibuatnya. Vania masih dengan handuk kecilnya yang hanya membalut setengah dadanya dan juga setengah pahanya. Ia terlihat kedinginan.
"Pakai ini sebelum kamu kembali ke kamarmu." David memberikan kaos miliknya, kaos yang jika dipakai akan seperti baju terusan sampai di atas lutut.
Tak terasa hari pun telah menjelang pagi. Sudah jam 4 pagi, itu artinya beberapa pelayan sudah bangun.
"Kembali lah ke kamarmu. Aku mau ke kantor," kata David membuat Vania berjalan keluar dari kamar. Wanita itu tak mengeluarkan suaranya atau pun menjawab. Ia terkesan diam dan hanya diam.
"Apa yang telah kamu lakukan Vania? Arrgghhh. Aku malu sekali." Ia berjalan sembari menahan malu. Bayang-bayang yang terjadi malam tadi tak bisa ia hilangkan. Semuanya yang terjadi terus berputar-putar di dalam otaknya.
"Tolong berhenti. Tolong berhentiiii!!!!!!!!!!!!" teriaknya.
"Iya, Nyonya. Kami sudah berhenti." Suara Andin dan Rara membuatnya terkejut. Ia langsung menoleh ke belakang dan dua pelayannya masih berada di anak tangga.
"Apa?" tanya Vania.
"Tadi Anda menyuruh berhenti. Jadi kami—"
"STOP!!!" Vania menutup wajahnya yang mungkin sudah memerah. "Aww ...." Rasa nyeri masih terasa, ia lupa bahwa di daerah sensitifnya masih terasa sakit. Dia harus pelan-pelan dalam melangkah.
"Nyonya kenapa?" tanya mereka berdua merasa khawatir.
"Lapar. Mana sarapan untukku?" Setelah pertempuran semalam, ia pun merasa sangat lapar. Ia menginginkan banyak makanan dan dengan cepat makanan yang diminta sudah berada di depan matanya semua.
"Wah. Enak sekali." Matanya berbinar-binar melihat makanan lezat yang ada dihadapannya. Ia pun mengajak Rara dan Andin makan bersama. Walaupun terlihat pelayan tersebut gak enak hati, tapi Vania tetap memaksa.
"Nyonya pakai kaosnya tuan David ya?" Andin sedari tadi penasaran dan akhirnya memberanikan diri bertanya.
"Iya. Tadi habis mandi bareng dan—" Vania terkejut dengan ucapannya sendiri yang terdengar sangat polos.
"Bodoh!" teriaknya dalam hati.
"Ah tidak. Maksudku tadi aku mandi di kamar suamiku. Dan aku gak bawa baju ganti, jadi aku pakai punya dia," ujarnya dengan wajah menahan malu.
Andin dan Rara saling senggol sambil menahan senyum. "Oh begitu, Nyonya," jawab mereka berbarengan.
"Hey! Jangan berpikiran yang macam-macam!" tegurnya dan memukul bergantian dua pelayan tersebut. Vania memolotinya mereka.
"Hehe. Iya maaf, Nyonya."
***
"Tuan. Tuan." Reno mengibaskan tangan tepat ke arah wajahnya.
"Ah, iya iya." David baru merespon dan menyingkirkan tangan asistennya dengan cepat. "Apa?"
"Meeting sudah selesai, Tuan. Kita sebaiknya kembali ke ruangan."
David baru tersadar dan melihat ruangan meeting sudah sepi. Hanya ada mereka berdua.
"Ah sial!!! Gara-gara wanita itu!!!" decaknya sebal sembari memukul meja.
"Nyonya Vania yang Anda maksud?" tanya Reno dengan senyum mengejek.