Bagaimana jadinya jika siswi teladan dan sangat berprestasi di sekolah ternyata seorang pembunuh bayaran?
Dia rela menjadi seorang pembunuh bayaran demi mengungkap siapa pelaku dibalik kematian kedua orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siastra Adalyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Jagdkommando
Aku menelan ludah dengan rasa cemas yang menggelayuti. "Apa yang harus aku lakukan untuk mempersiapkan diri?" tanyaku.
"Tentu saja kita harus latihan lagi hahaha. Dan buang pisau jagdkommando konyol milik mu itu." Ucap om Issac sambil sedikit bercanda.
"Tapi aku suka pisau itu" Jawabku.
"Kau tidak bisa membunuh musuh dengan cepat jika menggunakan benda konyol itu."
"Berhenti mengatakan kalau itu benda konyol."
"Baiklah, baiklah," Om Issac mengangkat tangan, seolah menyerah pada protesku. "Tapi aku harus mengakui kalau kemampuanmu sekarang memanglah luar biasa, namun kau perlu lebih kuat dari ini"
Aku mendengarkan ucapannya dengan serius "Aku mengerti," kataku pelan, mencoba mencerna setiap kata.
"Pertama, kita akan fokus pada teknik dan strategi. Latihan fisik itu penting, karena kau sudah cukup mahir dalam hal itu, jadi sekarang kita perlu mengasah pikiranmu. Musuh yang kita hadapi ke depannya tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga cerdas," jawab Om Issac.
"Kau sudah memiliki fleksibilitas dalam bertarung. Jadi sekarang kita akan berlatih membaca gerakan lawan. Itu penting untuk memprediksi apa yang akan mereka lakukan selanjutnya," jelasnya.
"Kalau begitu...kita mulai latihannya besok saja" Ucapku dengan santainya.
"Apa?! Kenapa tidak sekarang?" Om Issac membelalakkan matanya karena terkejut.
"Aku harus membereskan barang-barangku untuk pindahan"
"Pindah?"
"Ya, mulai sekarang aku akan tinggal di mansion" Jawabku.
Om Issac mengerutkan kening. "Mansion? Kenapa bisa tiba-tiba?"
"Aku yang memintanya. Selain itu, kalau aku tinggal di mansion kan jadi lebih bebas untuk melakukan apapun."
"Ohoho...sepertinya Agacia sudah besar ya. Jadi kau mau mengajak pacarmu kesana agar bisa berduaan saja ya" Ujar tante Betty menggoda.
"B-bukan begitu maksudku, Tante!" aku langsung memerah, mencoba menyangkal tuduhan yang tidak berdasar itu. "Aku hanya ingin lebih fokus dengan latihan dan... yah, hal-hal seperti ini. Kalau aku tinggal di mansion kan kak Devan dan kak Arsen tidak akan tahu aku pergi kemana."
Tante Betty tersenyum lembut, lalu menepuk pundakku. "Baiklah, tapi jangan terlalu keras pada diri sendiri juga. Kau masih muda, Agacia. Ada baiknya kau, nikmati waktumu sesekali."
Aku tersenyum pahit dan mengalihkan pandangan, menyembunyikan perasaan sesak yang tiba-tiba muncul di dada. Mungkin dia benar, tapi bagaimana bisa aku menikmati waktuku di saat seperti ini.
"Aku tahu, Tante... tapi aku harus melakukan ini," jawabku lirih, tak ingin memperpanjang obrolan.
Tante Betty menatapku sejenak, mungkin mencoba memahami apa yang sebenarnya kurasakan. Dia pasti bisa melihat ketegangan di wajahku, tapi memilih tidak menekannya lebih jauh.
"Kalau begitu, semoga berhasil, Agacia. Tapi ingat, kita semua di sini untuk membantumu, jangan ragu kalau butuh bantuan."
Aku mengangguk perlahan. Setelah itu, aku pamit pada mereka dan kembali ke rumahku untuk mengambil barang yang akan dibawa ke mansion.
Setibanya di rumah, suasana terasa lebih sepi dari biasanya. "Kak Devan juga belum pulang" ucapku lirih.
Aku melangkah perlahan ke kamar, dan segera mencari koper yang berisi senjata-senjata milikku.
Ketika akhirnya aku selesai berkemas, aku duduk sejenak di tepi tempat tidur, memandangi kamar yang sebentar lagi akan kutinggalkan. Tempat ini dipenuhi dengan kenangan, tapi aku tahu bahwa untuk mencapai tujuan yang lebih besar, aku harus meninggalkan ini semua.
Aku berjalan keluar rumah sambil membawa koper yang berisi senjata. Lalu meletakkannya ke dalam mobil, tanpa berlama-lama, aku masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan mulai melaju ke arah mansion.
Perjalanan ke mansion terasa panjang, meskipun aku sudah familiar dengan rutenya. Setibanya di mansion, lampu-lampu besar berdiri kokoh di halaman depan yang luas. Gerbang terbuka otomatis begitu mobilku mendekat, seolah telah menanti kedatanganku. Aku melihat sosok Paman Herland dan bi Marry berdiri di depan pintu.
"Selamat datang kembali, nona Agacia. Sudah lama anda tidak kemari, semoga anda betah tinggal disini" Paman Herland menyambutku dengan senyum ceria terpancar di wajahnya.
"Terimakasih paman, aku senang bisa kembali kesini"
"Kami akan membantu membawa barang-barang yang anda bawa" Ucap bi Marry berinisiatif.
"Terimakasih, Bi Marry. Lagian hanya satu koper, kok. Aku bisa membawanya sendiri,” jawabku sambil tersenyum tipis.
Paman Herland tersenyum dengan hangat. "Kami senang anda kembali, Nona Agacia. Rumah ini terasa sepi tanpa kehadiranmu."
Aku melangkah masuk ke dalam mansion, diikuti Paman Herland dan Bi Marry yang berjalan di belakangku. Suasana di dalam masih sama seperti terakhir kali aku berada di sini, megah dan terasa nyaman. Meskipun sudah lama aku tidak datang, tak ada yang berubah.
"Bi Marry, bisa tolong siapkan teh untukku?” pintaku dengan nada santai.
"Tentu saja, Nona. Sebentar ya,” jawab Bi Marry sambil tersenyum. Dia pergi ke dapur, meninggalkan aku dan Paman Herland di ruang tamu.
"Paman, apakah ada yang berubah sejak kami pergi?” tanyaku, berharap bisa memancing percakapan yang lebih ringan.
Paman Herland menggeleng. "Tidak ada yang berubah sejak kalian pergi, kami menjaga semua yang ada disini dengan hati-hati".
Aku mengangguk, berusaha mendengarkan dengan seksama sambil memperhatikan sekeliling. Tak lama kemudian Bi Marry kembali dengan teh hangat, aku mengambil secangkir teh yang diletakkan diatas meja dan berterima kasih padanya.
"Setelah minum teh, aku akan ke kamar untuk beristirahat sejenak. Paman dan bibi bisa kembali” kataku kepada mereka.
"Baik, Nona. Kami akan siap membantu kapan saja Anda butuh,” jawab Bi Marry dan Paman Herland yang setelahnya berlalu pergi.
Aku meneguknya pelan, mencoba merasakan ketenangan yang ingin kuhadirkan, meski di dalam hatiku, kegelisahan tetap menggerogoti.
Aku memandangi cangkir teh di tangan, aroma hangatnya membawa rasa nostalgia. Aku tahu waktu tidak berpihak padaku. Rencana yang harus segera kulaksanakan terus terngiang di pikiranku. Setelah beberapa menit, aku meletakkan cangkir kembali di meja dan beranjak menuju kamarku sambil membawa koper yang berisi senjata.
Setibanya di kamar, aku mengunci pintu dari dalam dan meletakkan koper di atas ranjang untuk membukanya. Di dalam koper itu, berbagai macam senjata tertata rapi. Pisau lipat, senapan kecil, dan beberapa peluru tersimpan apik. Aku juga melihat pisau jagdkommando yang biasa aku pakai.
Om Issac bilang bahwa aku jangan menggunakan jagdkommando yang ini lagi. Padahal daya serangnya bagus. Daya serang pisau itu luar biasa. Dengan satu tusukan saja, Jagdkommando bisa menyebabkan kerusakan besar pada organ vital, membuat musuh tak punya kesempatan bertahan.
Tapi memang jagdkommando ini kurang serbaguna. Karena pisaunya sulit untuk dikendalikan dalam gerakan menusuk atau menebas secara presisi. Ini bisa membuat ku kesulitan dalam melakukan serangan yang cepat dan efisien. Untungnya lawan yang ku hadapi sebelumnya hanya orang-orang lemah.
Karena bentuk bilahnya yang menyebabkan luka yang besar dan robekan yang luas, Jagdkommando bisa sulit ditarik keluar dari tubuh target setelah ditusukkan. Ini membuatnya tidak ideal dalam pertempuran cepat di mana penyerang perlu melakukan serangan berulang dengan cepat.
Kalau begitu, aku harus mulai mempertimbangkan pilihan senjata lain yang lebih sesuai untuk gaya bertarungku. Mungkin sudah saatnya beralih ke senjata yang lebih serbaguna, yang memungkinkan serangan cepat dan lebih presisi.
.
.
.
.
.
Bersambung...
Panjangin lah thorr/Whimper/