Yaya_ gadis ceria dengan sejuta rahasia.
Ia selalu mengejar Gavin di sekolah,
tapi Gavin sangat dingin padanya.
Semua orang di sekolah mengenalnya sebagai gadis tidak tahu malu yang terus mengemis-ngemis cinta pada Gavin. Namun mereka tidak tahu kalau sebenarnya itu hanya topengnya untuk menutupi segala kepahitan dalam hidupnya.
Ketika dokter Laska memvonisnya kanker otak, semuanya memburuk.
Apakah Yaya akan terus bertahan hidup dengan semua masalah yang ia hadapi?
Bagaimana kalau Gavin ternyata
menyukainya juga tapi terlambat mengatakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Yaya mulai bergerak gelisah. Ia merasa bosan. Sejak tadi ia melihat dokter yang menyuruhnya datang itu hanya sibuk membolak-balikan kertas didepannya tanpa bicara sepatah kata pun. Kenapa sih sama dokter Laska? Kok dia jadi aneh begini? Apa jangan-jangan salah makan lagi jadinya kerasukan kayak sekarang ini.
"Dok, kalo nggak ada yang mau di omongin aku pulang aja yah." gumam Yaya halus. Ia siap-siap untuk berdiri dan pergi tapi dokter Laska cepat-cepat menahannya.
"Yaya."
Yaya berbalik. Dokter Laska menyodorkan lembaran kertas yang sejak tadi ia bolak-balik ke depan gadis itu.
"Hasil pemeriksaan kamu sudah keluar. Aku pikir kamu harus tahu." ucapnya serius. Yaya sadar ada yang berbeda dari nada bicaranya. Dokter Laska keliatan tidak bersemangat. Entah kenapa ia jadi punya firasat buruk. Apa berhubungan dengan dirinya? Ia mengambil lembaran kertas yang disodorkan sang dokter.
Tindakan Yaya sekarang sama seperti tindakan Laska tadi. Ia membolak-balik kertas hasil pemeriksaannya berulang kali, bahkan lebih lama dari Laska. Membaca dengan saksama, membolak balik berulang kali dan berpikir mungkin saja ia salah membaca. Pasti ada kesalahan.
Jantungnya berdebar keras. Ia seperti mendapat serangan jantung tiba-tiba. Tidak, tidak mungkin. Ia menatap dokter Laska lekat-lekat, berharap semuanya hanya mimpi.
"Ka.. kanker otak?" gumamnya dengan wajah tidak percaya.
Hati Laska sakit mendengarnya. Ia tahu benar bagaimana gadis itu sangat ingin hidup sekarang. Apakah ini hukuman? Hukuman karena gadis itu pernah ingin mati dulu?
Laska menaikkan wajahnya menatap Yaya. Walau hatinya berkata semua yang menimpa gadis itu seperti tidak adil, tapi ia mencoba untuk bersikap tenang. Saat ini gadis itu butuh seseorang untuk memberinya dorongan. Apalagi dia adalah seorang dokter, ia harus bersikap profesional.
"Kau tenang saja. Kita bisa cari jalan keluar. Aku akan berusaha keras agar operasimu berhasil. Kenalanku pernah bilang ada seorang dokter jenius yang berhasil menangani penyakit parah seperti kasusmu." ucap dokter Laska menghibur. Yaya hanya tersenyum kecut.
"Operasi? Bagaimana kalau aku tidak bisa bangun lagi?" ucap gadis itu penuh penekanan.
Laska menunduk tidak bisa memberi jawaban. Ia bukan Tuhan yang bisa menjawab dengan pasti tentang kehidupan seseorang.
"Yaya, aku tahu ini sulit buat kamu. Tapi aku janji akan berusaha." ujar dokter Laska lagi. "Kau masih muda." tambahnya.
Yaya mendengus pelan.
"Begini saja." ia melirik Laska.
"Berapa lama sisa waktuku?"
"Yaya."
"Dokter, aku tidak mau mati konyol." katanya tegas.
"Tapi kamu.."
"Kita bicarakan nanti saja." potong gadis itu lalu berdiri dari kursi.
"Jangan cerita apa pun pada keluargaku." katanya lagi sebelum pergi.
Laska mengusap wajahnya. Otaknya berpikir keras. Ia harus cari cara. Yaya harus sembuh. Dalam kasusnya, gadis itu memang masih bisa sembuh. Asal dia tidak patah semangat.
***
Rabu pagi Yaya masuk sekolah seperti biasa. Sikapnya, tingkahnya dan caranya menempel ke Gavin masih sama. Sekalipun sikap Gavin bertambah dingin padanya, ia sama sekali tidak peduli. Ia akan terus mengganggu pria itu. Karena hanya dengan begitu ia mampu melupakan hal yang lain. Masalah-masalah dalam hidupnya yang membuatnya merasa sesak.
"Gavin, mau lolipop nggak?" tanya Yaya sambil memegangi sebuah lolipop di tangannya dan disodorkan didepan wajah Gavin. Lagi. Gavin mengabaikannya. pria itu sibuk mencoret-coret kertas kosongnya.
Pandangan Yaya turun ke bawah, pada kertas kosong yang di coret-coret Gavin. Seulas senyum terpampang di wajah mulusnya.
"Kamu suka ngelukis juga? Sama dong!" serunya senang. Sama, masih sama. Gavin masih mengabaikannya. Gadis itu membuang nafas panjang dan mengerucutkan bibirnya. Sia-sia. Semua usahanya sia-sia. Ia menoleh ke Bintang yang terlihat mati-matian menahan tawanya. Pria itu sepertinya bahagia sekali melihat Gavin mengabaikannya. Yaya mendelik tajam ke Bintang. Untung sahabatnya Gavin. Ia balik menghadap depan dengan wajah sebal dan mencak-mencak tak jelas.
"Manda, Gavin, Bintang, Garrel, Yaya."
Kelima siswa siswi yang dipanggil namanya tersebut sama-sama menengok ke depan. Bu Dina, guru Kimia mereka sudah berdiri disebelah meja guru. Entah kapan ia sampai, semua tidak memperhatikan kedatangannya karena sekarang memang bukan jam pelajaran Kimia.
"Kalian di panggil ke ruang kepsek sekarang." kata bu Dina lagi kemudian beranjak pergi.
Yaya mengangkat wajah dari atas mejanya dan menghadap kebelakang menatap Gavin dan Bintang dengan ekspresi bingung. Bintang mengangkat bahu menatap gadis itu, tanda bahwa ia juga tidak tahu apa-apa, sedang Gavin? Lelaki itu terus saja mengabaikannya. Pandangan Yaya berpindah ke Garrel sih ketua kelas kemudian melirik Manda gadis berkacamata. Salah satu kutubuku dikelas mereka yang menjabat sebagai sekretaris kelas. Mereka berdua siap-siap mau keluar kelas. Gadis itu tambah bingung. Kok bisa dia dipanggil ke ruang kepsek dengan para murid-murid pintar itu.
"Lo ngapain masih bengong? Ayo."
itu suara Bintang. Gavin sudah berjalan duluan. Sedang Bintang berbalik memanggil Yaya yang masih kebingungan dibangkunya. Walau tidak mengerti, ia tetap ikut.