Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Golok Sakti Ki Dayat Bagian Kedua
"Sosok itu sudah tahu kita akan pergi ke kuburan, dia tidak ingin jimatnya diambil," kata Ki Dayat.
"Sekarang dia ada dimana Ki?" tanya Wijaya Kusuma yang panik dan ketakutan.
"Dia ada di depan kita, berdiri menghalangi jalan. Wijaya, Aki akan menghalau dia. Kamu pergilah sendirian ke makan Pak Arifin dan cari benda itu. Jimatnya pasti ada di dalam makam dia," ujar Ki Dayat
"Aduh Ki, saya tidak tahu seperti apa jimat itu. Kalau dia menyusul ke makam, bagaimana?"
"Dia tidak akan menyusulmu, dia ingin berduel dengan Aki, di sini!" tegas Ki Dayat, memasang kuda-kuda dengan tangan kanan memegang erat golok saktinya.
Wijaya Kusuma akhirnya setuju, dia berlari meninggalkan Ki Dayat yang siap bertarung dengan sosok gaib itu. Wijaya Kusuma terlihat sangat panik, selain takut tidak bisa menemukan benda itu,dia juga khawatir dengan Ki Dayat yang bersiap duel dengan sosok yang tidak terlihat olehnya, Wijaya Kusuma tidak tahu jika golok yang dipegang oleh Ki Dayat bukanlah golok sembarangan melainkan golok sakti peninggalan leluhur.
Wijaya Kusuma berlari dengan tergesa-gesa dan kini sudah sampai di depan makam Ki Dayat. Dia dengan cepat menggali makam Pak Arifin menggunakan pacul. Ada sedikit perasaan ngeri yang muncul dalam dirinya. Semakin tanah makam digali, rasa takut malah semakin menjadi-jadi. Wijaya takut melihat jasad Pak Arifin yang sudah terbungkus kain putih. setelah menggali hingga dasar kuburan, dia melihat papan makam.
Wijaya Kusuma gemetaran dengan keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh. Tangannya kini mencoba meraih papan itu dan melepasnya, jasad Pak Arifin mulai terlihat. terbaring dengan kondisi setengah membusuk. Bau pun mulai menyerebak menusuk hidung Wijaya. Dia mencoba menahan nafas dan membuang muka sambil menghirup udara malam yang dingin.
Ternyata benar, jimat itu menempel di jasad Pak Arifin. Sebuah benda seperti kalung yang terbuat dari potongan tulang di ikat di bagian leher. Wijaya Kusuma mencoba melepas kalung itu. Dia lalu berdiri dan segera menutup kembali liang lahat. "Pak Arifin, sekarang anda bisa tidur lagi dengan tenang. Aku akan membawa jimat ini ke bawah."
Wijaya melanjutkan pekerjaannya, menutup liang lahat hingga kembali terlihat rapih lagi. Namun, saat dia sedang melakukan itu, angin kencang tiba-tiba datang berhembus di sekitar Wijaya Kusuma, membuat dedaunan kering berterbangan dan tanaman di sekitarnya bergoyang dengan kencang. Wijaya menatap sekeliling dan berfikir sosok itu sudah datang.
"Ki Dayat, bagaimana ini?" gumamnya, kini perasaan takut mulai menyelimuti dirinya. Wijaya cemas dan berfikir: apakah Ki Dayat telah kalah? Tak lama setelahnya, tubuh Wijaya diseret oleh sesuatu yang tak terlihat. Seperti ada yang menarik kakinya namun sosok tersebut tak terlihat sama sekali.
Di tengah kepanikan itu, Wijaya mencoba segala cara untuk melepaskan diri, namun semuanya gagal. Di depan sana adalah jurang sepertinya sosok gaib itu ingin melempar Wijaya Kusuma ke jurang. Jika dia jatuh dari ketinggian itu maka nyawanya tidak akan selamat. Wijaya tiba-tiba refleks menyebut nama leluhurnya. Dan seketika kaki yang terangkat ke atas terjatuh, kakinya terlepas dari cengkraman tadi. Dia merasa bersyukur dan segera pergi menjauhi lereng perbukitan.
Saat Wijaya berusaha berlari, dia mendengar sebuah perintah dari suara yang terdengar tipis di antara kencangnya hembusan angin malam, sosok itu menyuruh Wijaya Kusuma untuk menghancurkan kalung yang dia pegang. Wijaya Kusuma berhenti berlari, menatap sekeliling namun sumber suara itu entah datang dari arah mana. Wijaya dengan tenaganya yang kuat lalu menarik kalung itu hingga putus.
"Jang, kuburkeun kalungna dina taneuh," sosok itu meminta Wijaya untuk menguburkan kalungnya di dalam tanah. Wijaya lalu menggali tanah menggunakan sebuah ranting. Dia memasukan jimat itu ke dalam lubang yang telah dia gali, setelah di kubur tiba-tiba suasananya menjadi tenang. Hembusan angin yang kencang mendadak hilang dan berganti menjadi malam yang tenang dengan irama serangga dan burung malam saling bersahutan.
Wijaya teringat kondisi Ki Dayat dia pun berlari dengan cepat turun ke bawah, samar-samar dari kejauhan terlihat Ki Dayat tengah duduk bersandar di sebuah batang pohon. "Aki, kamu baik-baik saja!'' teriak Wijaya. setelah dekat, Ki Dayat yang tengah dalam kondisi lelah mengangguk, namun dari raut wajahnya sepertinya dia tengah menahan rasa sakit. ternyata, ada luka cakaran di sekujur tubuhnya. luka yang mengeluarkan darah segar.
Wijaya dengan sigap menggendong Ki Dayat kembali ke desa. Dia meminta Ki Dayat untuk menahan rasa sakit itu. Wijaya membawa Ki Dayat ke rumahnya, lalu ibu Wijaya membantu membuatkan ramuan dan mengobati luka-luka tersebut.