NovelToon NovelToon
University Prestige School

University Prestige School

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Playboy / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Farhan Akbar

Ketika Akbar tiba-tiba terbangun dalam tubuh Niko, ia dihadapkan pada tantangan besar untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang sama sekali berbeda. Meskipun bingung, Akbar melihat kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik sambil berusaha mempertahankan identitasnya sendiri. Dalam prosesnya, ia berjuang meniru perilaku Niko dan memenuhi harapan keluarganya yang mendalam akan sosok Niko yang hilang.

Di sisi lain, keluarga Trioka Adiguna tidak ada yang tau kalau tubuh Niko sekarang bertukar dengan Akbar. Akbar, dalam upayanya untuk mengenal Niko lebih dalam, menemukan momen-momen nostalgia yang mengajarinya tentang kehidupan Niko, mengungkapkan sisi-sisi yang belum pernah ia ketahui.

Seiring berjalannya waktu, Akbar terjebak dalam konflik emosional. Ia merasakan kesedihan dan penyesalan karena mengambil tempat Niko, sambil berjuang dengan tanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Dengan tekad untuk menghormati jiwa Niko yang hilang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Farhan Akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Setiap Pertemuan adalah Cerita Baru

Saat mereka sampai di ATM, Akbar melangkah ke arah mesin dengan rasa deg-degan. “Gila, ini beneran duit kan?” pikirnya sambil menggenggam kartu black card yang ada di tangannya yang ada di dompetnya Niko. Kartu ini memiliki limit yang tidak ada batasan, bahkan bisa menarik hingga ratusan juta dalam satu hari.

Dia memasukkan kartu ke dalam mesin dan mengikuti langkah-langkah yang ada di layar. Dengan jantung berdebar, Akbar menekan tombol untuk menarik uang. “Cuma tujuh juta, ini udah cukup,” gumamnya dalam hati. Dia merasa sedikit aneh, tetapi keputusan itu membuatnya merasa lebih aman.

Setelah transaksi selesai, uang tunai keluar dari mesin, dan Akbar mengambilnya dengan tangan yang sedikit bergetar. “Oke, ini sudah cukup untuk kebutuhan sementara,” pikirnya sambil menyimpan uang itu sebagian ke dalam dompet dan sebagain lagi ke dalam tas.

Dia keluar dari ATM dan kembali ke mobil, merasa lega meskipun rasa gugup masih menyelimuti. “Mas Rudi, sudah siap jalan lagi?” tanyanya dengan senyum, berusaha menyembunyikan ketegangan yang masih ada.

Flash Back

Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Setelah istirahat, pelajaran hanya satu jam saja, dan itu pun pelajaran yang sangat ringan. Akbar berpikir, “Mungkin ada alasan tersendiri untuk jam-jam seperti ini. Kadang, orang-orang sudah mengantuk dan nggak bisa fokus untuk belajar dengan baik.”

Dia melihat teman-teman sekelasnya, yang sebagian besar tampak lesu dan menguap. “Mungkin guru juga sadar, kalau di jam segini, sulit untuk mendapatkan perhatian kita,” pikirnya.

Ketika pelajaran dimulai, guru menjelaskan materi dengan santai. Akbar berusaha untuk tetap fokus, tetapi pikirannya sering melayang. “Bagaimana rasanya jadi Niko setelah sekolah ini? Banyak teman, banyak kegiatan,” gumamnya dalam hati.

Saat jam pelajaran berakhir, dia merasa lega. “Sekarang bisa pulang dan kembali ke kehidupan nyata,” pikirnya. Momen-momen seperti ini membuatnya semakin menghargai perannya, meskipun terkadang terasa berat.

Back To Scenes

Akbar berpikir, “Yah, dari Stasiun Manggarai sepertinya akan cepat untuk ke Bogor, karena bukan jam pulang kantor.” Dia merasa sedikit optimis, terutama setelah melihat lalu lintas yang relatif lancar.

“Semoga aja perjalanan ini nggak terlalu lama,” gumamnya dalam hati. “Setelah semua ini, pengen banget bisa istirahat dan kembali ke rutinitas biasa.”

Dia membayangkan suasana di Bogor yang lebih tenang dibandingkan dengan hiruk-pikuk Jakarta. “Pasti enak bisa menghirup udara segar di sana,” pikirnya, membayangkan suasana hijau dan sejuk yang menjadi ciri khas kota itu.

Dengan semangat, dia menanti perjalanan berikutnya, berharap segalanya berjalan lancar dan dia bisa kembali dengan cerita menarik tentang pengalamannya sebagai Niko.

Akhirnya mereka sampai di Stasiun Manggarai. Rudi menoleh ke Akbar dan berkata, “Mas Niko, maaf ya kalau saya banyak bicara tadi. Abisnya bete banget kalau cuma diem-dieman, hahaha.”

Akbar tersenyum, merasa senang dengan keakraban itu. “Nggak apa-apa, Mas! Justru seru bisa ngobrol sambil perjalanan. Mendingan daripada cuma diam, kan?”

Rudi tertawa. “Iya, bener! Ngobrol bisa bikin perjalanan terasa lebih cepat.”

Mereka turun dari mobil dan beranjak ke stasiun. Akbar merasakan sedikit ketegangan, tetapi suasana santai Rudi membuatnya merasa lebih nyaman. “Terima kasih banyak ya, Mas, untuk perjalanan ini. Sangat membantu!”

“Senang bisa membantu, Mas Niko. Semoga perjalanan selanjutnya lancar!” balas Rudi sambil tersenyum.

Akbar melangkah menuju pintu stasiun, merasa bersemangat untuk melanjutkan petualangannya, meskipun dia tahu dia harus segera kembali ke perannya yang sebenarnya

Akbar mencari masker di dalam tasnya, merasa sedikit canggung. “Wajah ini pasti sangat memikat para wanita,” pikirnya sambil tersenyum geli sendiri. Dia tahu bahwa sebagai Niko, penampilannya mungkin menarik perhatian, dan dia tidak ingin terlalu mencolok.

Setelah menemukan masker, dia memakainya dengan cepat. “Kalau begini, setidaknya bisa sedikit mengurangi perhatian,” gumamnya. Meskipun dia merasa percaya diri dengan penampilannya, ada sesuatu yang membuatnya lebih nyaman dengan penutup wajah itu.

“Semoga perjalanan ini berjalan lancar dan nggak terlalu banyak yang mengenali,” pikirnya lagi. Dia melangkah masuk ke dalam stasiun, berusaha fokus pada rencana selanjutnya sambil tetap menjaga privasinya.

Akbar kadang mendengar samar-samar teriakan histeris dari kumpulan wanita kantoran yang melihatnya. “Gila, ini beneran?” pikirnya, merasa kaget dan sedikit panik. Suasana di peron yang ramai ini membuatnya merasa lebih tertekan.

Dia mencoba untuk tetap tenang, berusaha tidak terlalu memperhatikan suara-suara tersebut. “Mungkin mereka hanya terkesima sama seragam atau gaya Niko,” gumamnya dalam hati. Namun, rasa ingin tahunya membuat dia melirik ke arah kerumunan itu.

Sambil berbisik-bisik, salah satu wanita berkata, “Eh, itu siapa ya? Kok tampan banget?”

“Entahlah, tapi seragamnya keren! Kayaknya dari sekolah elite,” balas temannya.

“Aku penasaran deh, dia siapa. Pasti banyak yang suka sama dia,” komentar yang lain.

“Coba kita tanya, yuk! Atau selfie sama dia!” kata salah satu wanita, tampak bersemangat.

“Tapi kita nggak kenal, gimana?” tanya yang lain, ragu-ragu.

“Ah, masa sih kita cuma mau diem aja? Pasti dia juga senang diperhatikan,” jawab temannya, berusaha meyakinkan.

Mendengar semua itu, Akbar merasa canggung. “So Crazy, ini bikin makin stres,” pikirnya sambil berusaha fokus pada kereta yang akan datang.

Salah satu wanita kemudian berkata, “Gila, lu! Dia masih bocah, masa mau lu embat juga?”

Cewek yang semula bersemangat menjawab, “Iya, sih. Tapi kan dia terlihat matang untuk usianya.”

“Serius deh, jangan terlalu over. Kita juga nggak tahu dia orangnya kayak gimana,” kata teman lainnya.

“Cuma bisa lihat dari jauh, ya? Tapi tetep, tampang dia bikin penasaran,” balas yang lain, masih tak bisa mengalihkan pandangan.

“Kalau mau kenalan, mungkin bisa lewat social media aja. Lebih aman,” saran salah satu dari mereka.

Akbar mendengar semua percakapan itu, merasa lega karena mereka tidak mengenal Niko. “Semoga mereka cuma penasaran dan nggak berani ngapa-ngapain,” pikirnya sambil berharap kereta segera tiba.

Salah satu wanita kantoran itu nekat menghampiri Akbar. Dengan senyum penuh percaya diri, dia berkata, “Dek, lagi mau kemana?”

Akbar terkejut, matanya melirik ke arah teman-teman wanita itu yang hanya melihat dari kejauhan dengan ekspresi campur aduk antara penasaran dan cemas.

“Eh, saya... mau ke Bogor,” jawab Akbar, berusaha terdengar santai meskipun jantungnya berdegup kencang.

“Oh, Bogor! Asyik, ya. Ngapain di sana?” tanyanya, tampak semakin akrab.

“Rencananya mau jalan-jalan,” Akbar menjawab, berusaha menjaga jarak tanpa terlihat terlalu defensif.

Teman-teman wanita itu saling berbisik, terlihat terkejut dan agak khawatir. “Berani banget dia!” bisik salah satu dari mereka.

Akbar merasa sedikit canggung di bawah tatapan mereka, tetapi dia berusaha tetap tenang. “Ya, semoga keretanya cepat datang,” pikirnya, berharap percakapan itu segera berakhir.

Wanita itu dengan percaya diri berkata, “Dek, Kakak boleh minta nomor Adek nggak?”

Akbar terkejut, tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar. “Eh, saya...”

Sebelum dia sempat menjawab, teman-teman wanita itu hanya bisa menatap dari kejauhan, beberapa di antaranya terlihat terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Biar bisa ngobrol-ngobrol nanti,” lanjut wanita itu, tersenyum lebar.

Akbar menelan ludah, berusaha tampak santai meskipun jantungnya berdegup kencang. “Hmm, ya, boleh sih,” jawabnya, berusaha menampilkan gaya cool.

Wanita itu mengulurkan tangan, “Ayo, kasih tahu nomornya.”

Dengan sedikit ragu, Akbar mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan nomornya, lalu memberikannya padanya. “Ini, Niko.”

“Jeni,” katanya, masih dengan senyum yang tidak pudar. “Senang bisa kenalan!”

“Semoga kita bisa ngobrol lagi,” jawab Akbar, merasakan semangat baru.

“Pasti! Aku tunggu kabar dari kamu, ya!” Jeni melambai saat Akbar mulai melangkah mundur menuju kereta yang baru saja tiba.

“See you, Jeni!” Akbar menjawab, merasa lega dan excited sekaligus.

Setelah itu, dia melangkah kembali ke teman-temannya, yang terlihat terkejut dan penasaran. Akbar merasa campur aduk—di satu sisi, dia senang bisa berinteraksi, tetapi di sisi lain, dia tetap waspada dengan situasi yang bisa saja berubah.

Setelah Jeni dan teman-temannya menaiki gerbong khusus wanita, Akbar merasa sedikit lega. Dia melangkah masuk ke gerbong umum, merasakan ketegangan yang perlahan memudar.

“Syukurlah, setidaknya aku tidak perlu menghadapi tatapan penasaran mereka lagi,” pikirnya, sambil mencari tempat duduk.

Di dalam kereta, suasana lebih tenang, dan dia bisa menarik napas dalam-dalam. Masih terbayang senyum Jeni yang percaya diri. “Dia berani sekali,” gumamnya dalam hati, merasa sedikit bangga telah memberikan nomor teleponnya.

Ketika kereta mulai melaju, Akbar menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang. Dia membayangkan bagaimana percakapan mereka selanjutnya akan berlangsung, sambil berharap Jeni benar-benar menghubunginya.

Di sisi lain, Jeni dan teman-temannya duduk di gerbong wanita, masih membicarakan keberanian Jeni. “Kamu keren banget, Jen! Berani minta nomor dia!” puji salah satu temannya.

Jeni hanya tertawa, “Ya, siapa tahu kan? Mungkin ini awal yang baik.”

Akbar merasakan senyum di wajahnya saat kereta melaju lebih cepat. Dia tidak sabar menunggu kabar dari Jeni, berharap mereka bisa berbincang lebih banyak di lain waktu.

Akbar masih terbayang senyum Jeni. Tanpa sengaja, dia mengingat matanya tertuju pada name tag yang mengalungi lehernya. Dia bisa melihat logo yang familier—Kepala Elang, logo salah satu stasiun televisi terbesar di negara itu.

“Reporter, ya?” gumamnya dalam hati, rasa penasaran semakin bertambah. Dia membayangkan Jeni meliput berita, berinteraksi dengan orang-orang, dan mungkin bahkan berada di tengah-tengah peristiwa besar.

Akbar merasa terkesan. “Ternyata dia bukan sembarang orang,” pikirnya. Rasa ingin tahunya tumbuh, dan dia mulai bertanya-tanya tentang bagaimana kehidupan Jeni di luar pertemuan singkat mereka.

Kereta terus melaju, dan Akbar merasa ada ketertarikan baru yang muncul. Jika Jeni seorang reporter, mungkin dia memiliki banyak cerita menarik untuk dibagikan. Dia bertekad untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan saat mereka berbincang nanti, jika kesempatan itu muncul.

“Semoga dia segera menghubungiku,” harapnya sambil tersenyum, membayangkan bagaimana obrolan mereka bisa berkembang.

Akbar tersenyum sendiri saat merenungkan kembali pertemuan singkat mereka. “Pantas saja dia begitu percaya diri,” pikirnya. “Dengan pekerjaan seperti itu, pasti banyak pengalaman menarik yang dia alami.”

Bayangannya melayang ke berbagai kemungkinan—Jeni yang berbicara di depan kamera, mewawancarai narasumber, atau mungkin meliput berita di tempat-tempat menarik. Semua itu pasti membutuhkan keberanian dan keterampilan komunikasi yang baik.

“Tidak heran dia berani minta nomor,” gumamnya. “Dia pasti terbiasa berinteraksi dengan banyak orang.”

Rasa penasaran dan ketertarikan pada Jeni semakin membara. Akbar berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Jika Jeni benar-benar menghubunginya, dia ingin siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa menggali lebih dalam tentang kehidupannya sebagai reporter.

Dengan pikiran-pikiran itu, Akbar merasa semangatnya kembali. “Siapa tahu, ini bisa jadi awal yang menarik,” ujarnya dalam hati, menanti kabar dari Jeni dengan penuh harap.

1
Delita bae
salam kenal 👋jika berkenan mampir juga😇🙏
Delita bae: sip mangat ya😁🙏
neerxlight: salam kenal juga kak
total 2 replies
arfan
semangat up terus bos
neerxlight: makasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!