Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda dan Arik kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ²³
Langit sudah gelap, Pak Bagyo menghentikan mobilnya di depan rumah kosong di sebuah desa terpilih nun jauh dari kota. Desa itu sepi, tak banyak warga yang tinggal di sana. Selain berhawa dingin, penduduk desa sudah di relokasi ke tempat yang jauh dari zona merah bencana alam.
“Ada yang diperlukan lagi, Non?”
Miranda memandangi Arik, bertanya-tanya dalam hati apakah dia akan sadar sebentar lagi?
Pak Bagyo mengenal kecemasan yang terpampang di wajah Miranda.
“Dia hanya pingsan sementara, Non. Nanti perutnya di kasih minyak, hidungnya juga! Manjur itu.”
Miranda tercengang mendengar hal tak masuk akal itu, tapi juga tidak bisa dipungkiri ide Pak Bagyo bisa di coba. Toh sejak awal perekrutan karyawan magang, dia sudah tahu ada yang tidak biasa dari Arik walau tak punya niatan mengenalnya lebih jauh. Sekarang di rumah pengap dan berdebu, kesempatan itu ada. Mengenal Arik lebih baik.
“Ini sudah Bapak ikat, kenceng.” Pak Bagyo mengikat Arik di kursi seperti tahanan.
“Jangan lupa pesanku, Non. Kamu belum punya bekingan. Jadi jangan gegabah. Tunggu pesananku datang!”
Miranda mengangguk lemah. Dari selusin pesanannya, dia ragu ada yang mau membantunya. “Makasih Pak udah dukung pilihanku.”
Pak Bagyo mengamati sekeliling seraya menghela napas. “Ini rumah peninggalan Bapakku, jadi jangan takut sama penghuninya yoh. Lokalan!”
Miranda tersenyum pelit sambil teringat teman-teman gaibnya yang menunggui Gio. Saking akrabnya dengan hantu lokal—kuntilanak, pocong, tuyul dan arwah gentayangan dari manusia-manusia yang mati konyol—mereka bisa dipindahkan ke mana saja, bisa juga di kunjungi kapan-kapan. Dia sudah bersiap untuk melepas teman-temannya itu dan tak mungkin takut.
“Aku lebih takut Arik kenapa-kenapa.” ucap Miranda setelah mengingat bagaimana Pak Bagyo memukulnya tadi, pemuda desa itu pasti bakal mengalami lebam keunguan di bagian tengkuknya, dan mengalami trauma.
“Aku takut dia marah-marah.”
Pak Bagyo berdecak. “Di marahi anak magang gitu saja takut, Non. Sudah Bapak keluar bentar, cari angin!”
Miranda mengamati sekeliling dengan baik selepas Pak Bagyo pergi. Sosok berwajah pucat dengan mata lembap mengintipnya dari celah-celah ventilasi udara. Miranda tak acuh, perkenalan-perkenalan dengan dunia lain sudah terjadi sejak remaja, membuatnya mempunyai keberanian sekeras baja di balik penampilannya yang berkharisma dan cantik.
“Aku lebih takut pegang-pegang perut Arik, astaga dadaku.” Jantung Miranda berdebar-debar saat memegangi minyak kayu putih. “Apa aku perlu meminjam ruh hantu genit?”
Secepat mungkin Miranda menggelengkan kepala. Jangan menambah masalah baru dengan menyewa ruh hantu genit. Arik bisa kenapa-kenapa. Tapi sensasi yang menimbulkan getaran dalam dada itu membuatnya tersenyum-senyum sendiri.
Miranda malu, dan pipinya merona sewaktu dia mengangkat secuil kain katun yang menutupi perut Arik.
“Aku salah, Arik. Aku minta maaf.” Ketika tangannya menyentuh perut Arik dan mengusapkan minyak, kelopak mata pemuda desa itu terbuka seolah dia masih pura-pura pingsan.
“Tidak mungkin aku maafkan!” Arik mencengkeram rambut Miranda yang menutupi tangannya yang diikat di depan badan dengan tali pramuka. “Jangan jadi jahat! Lepas aku, Kak. Ini penculikan!”
Bisa-bisanya Miranda tersenyum meski pori-pori kepalanya tertarik dengan kuat. “Kamu juga jangan jahat, Arik. Ini namanya tidak sopan! Aku lebih tua dari kamu.”
“Kamu tua-tua bajingan, Kak. Untuk apa aku menghormatimu!”
“Untuk hidup dan matiku, untuk anakku tersayang, Alita.” Miranda bersusah payah mendongak menatap Arik hingga tulang tenggorokannya terlihat menonjol.
“Kita bisa bicara baik-baik, Arik. Aku nggak akan macam-macam kok, sumpah.”
“Dan aku harus percaya dengan wanita licik seperti Kak Mira?” Arik melotot, terlihat jengkel dan marah. Urat-urat nadinya menegang, perasaannya tidak enak seperti budak yang dikendalikan seorang dalang.
Beberapa menit kemudian, setelah keduanya hanya saling bertatapan tanpa beradu argumen, Arik melepas rambut Miranda. Pergelangan tangannya terasa pegal, dan kedua sorot mata Miranda tampak menggiurkan seperti buah semangka segar.
“Kita di mana?” tanya Arik setelah menarik napas dalam-dalam.
Miranda memutar matanya, anak muda banyak sekali dramanya. “Harusnya kamu sudah tahu kita di mana? Ini bukan rumahku, apalagi rumahmu! Kita di suatu tempat. Jauh dari kota.
“Aku lapar.” Arik mengaku tanpa malu. “Lepas tanganku!”
Miranda geleng-geleng kepala sambil mengangkat kedua tangannya. “Aku nganggur, jadi biar aku suapi!”
Arik memalingkan wajahnya, dia tidak akan pernah setuju untuk patuh terhadapnya karena di luar jam perusahaan, Miranda hanyalah wanita biasa. Tidak memiliki kuasa atas dirinya.
“Aku lebih baik mati kelaparan daripada harus menerima belas kasihmu yang licik itu, Kak.”
“Ayolah, Rik.” bujuk Miranda sambil melepas karet pembungkus kertas nasi. Ada nasi goreng mata sapi di dalamnya. “Masih anget, pakai kerupuk tambah enak.” rayunya seolah merayu Alita yang mogok makan.
“Ini spesial, kalau kamu nggak yakin, kamu bisa doa dulu.”
Dari ekor matanya, Arik melihat Miranda menuang kerupuk udang kecil-kecil ke atas nasi gorengnya. Itu kelihatan enak sekali, apalagi cuaca dingin di sana tambah membuatnya gemetar kelaparan.
“Aku bisa makan sendiri, Kak. Jangan aneh-aneh! Kakak punya suami kan?”
“Dan kamu mengira ini membuatku terkesan berselingkuh?” Miranda gemas, dan reflek dia mencubit pipi Arik. “Kamu nggak perlu mikir itu, Arik. Suamiku yang nggak peduli... Jadi buka mulutmu!”
Arik justru mengatupkan bibirnya kuat-kuat seperti anak kecil yang merajuk. Sementara Miranda tetap gigih menggenggam sendok plastik di depan mulutnya.
“Sebagai Ibu yang sibuk, aku jarang menyuapi Alita, dan itu membuatku menyesal nggak pernah ada di momen-momen pertama belajarnya. Hal-hal seperti itu yang membuatku semakin yakin untuk melepas yang aku miliki sekarang kecuali anakku. Dia satu-satunya penyemangatku setelah suamiku selingkuh, Rik.”
Arik melihat kekacauan di depannya, sebuah kabut putih menyelimuti kedua mata Miranda sebelum wanita itu menunduk, menyembunyikan tangisnya.
“Banyak orang setuju harta yang paling berharga adalah keluarga, bagiku tidak begitu. Harta keluargaku adalah momok yang gak harus turun ke Alita. Aku mau menutupnya dengan bantuanmu dan Mbah Redjo.”
Arik berteriak frustasi sebelum berkata. “Oke-oke, tapi nggak begini caranya, Kak. Aku bukan penjahat! Lepas aku.”
Miranda menggelengkan kepala. Tetap setia pada keputusannya.
“Tapi kamu bisa kabur, aku gak kuat lawan kamu sendirian.” Miranda tersenyum saat menatap Arik. “Kamu makan dulu, ini bersih, aku juga makan setelah kamu.”
Arik lagi-lagi hanya bisa berteriak frustasi untuk melepaskan emosinya yang menggila dalam sekali jadi. Masalah Miranda benar-benar gila, gak habis pikir dia mengapa bisa segila itu.
“Awas kalau Kak Mira naksir aku! Aku tidak mau.” celetuk Arik dengan uring-uringan. “Apalagi senyum-senyum tidak jelas, Kak Mira gak beres, pantes suaminya selingkuh!”
Miranda tercengang, tapi dialah yang sedang mengancam Arik. Bukan sebaliknya.
“Kalau kamu dukung suamiku selingkuh gara-gara aku nggak beres, aku bisa loh miliki kamu malam ini! Sumpah!"
Arik menggertakkan giginya. Tidak rela mengorbankan keperjakaannya untuk bertahan hidup dari Miranda sekarang.
-
👍 great...
menegangkan, seru
say Miranda
duh punya berondong manise disanding terus, alibi jadi sekretaris pribadi nih...
next
jgn2 miranda jd tumbl bpknya sndri. krn thu miranda sdg skit hati.