"Kak Zavin kenapa menciumku?"
"Kamu lupa, kalau kamu bukan adik kandungku, Viola."
Zavin dan Viola dipertemukan dalam kasus penculikan saat Zavin berusia 9 tahun dan Viola berusia 5 tahun. Hingga akhirnya Viola menjadi adik angkat Zavin.
Setelah 15 tahun berlalu, tak disangka Zavin jatuh cinta pada Viola. Dia sangat posesif dan berusaha menjauhkan Viola dari pacar toxic-nya. Namun, hubungan keduanya semakin renggang setelah Viola menemukan ayah kandungnya.
Apakah akhirnya Zavin bisa mendapatkan cinta Viola dan mengubah status mereka dari kakak-adik menjadi suami-istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
“Jadi, perusahaan ini dapat masalah karena Pak Victor?” Viola kini berjalan mendekati papanya dan Zavin.
"Viola." Seketika Arvin memeluk Viola. Ia mengusap punggungnya dan merasa lega melihat Viola baik-baik saja. "Papa sangat khawatir sama kamu."
"Aku tidak apa-apa. Tapi ..." Viola melepas pelukan papanya dan menatapnya. "Maaf, aku sudah membuat masalah seperti ini. Ancaman orang itu tidak main-main."
Arvin memegang kedua lengan Viola dan meyakinkannya. "Jangan dengarkan apa yang dikatakan Victor. Kamu tetap anak Papa. Jangan khawatirkan perusahaan ini. Papa dan Zavin pasti bisa menyelesaikannya."
Viola menggelengkan kepalanya. "Tapi, aku tidak akan biarkan orang itu melukai Papa, Kak Zavin, apalagi Mama. Andai saja tahu akan seperti ini, aku tidak akan mencari orang tuaku dan aku pasti akan pura-pura lupa dengan masa kecilku selamanya. Selama 15 tahun Papa dan Mama merawatku dengan baik tapi justru ini yang Papa terima."
Arvin menghapus air mata yang mengalir di pipi Viola. "Jangan menangis. Papa yang akan menemui Victor untuk mengetahui yang sebenarnya. Kamu pulang sama Zavin ya. Biar sepeda motor kamu diantar sama Riko."
Viola menggelengkan kepalanya sambil menahan tangan papanya. "Jangan. Aku tidak mau Papa kenapa-napa."
Arvin tersenyum dan melepas tangan Viola lalu menggenggamnya. "Papa bisa jaga diri."
"Kalau begitu, biar aku yang ikut," kata Zavin.
"Tidak! Kamu jaga Viola. Ini urusan orang tua." Arvin segera mengambil kunci mobilnya lalu keluar dari ruangan itu.
Seketika Viola duduk di sofa dan menyandarkan kepalanya. "Terus ini gimana?" tanya Viola. "Apa aku ikut saja sama orang itu."
Zavin duduk di samping Viola dan menatapnya. "Kamu mau tinggal sama Victor? Tidak! Kamu belum terbukti anak kandung dia." Kemudian Zavin menatap wajah dan seluruh tubuh Viola. "Kamu tidak apa-apa kan?"
Viola menggelengkan kepalanya. "Aku tidak apa-apa. Tadi aku juga diantar sampai rumah. Kak Zavin sendiri gak papa kan?"
Zavin menggelengkan kepalanya.
"Aku tadi lihat punggung Kak Zavin dipukul cukup keras. Coba lihat!" Viola memaksa Zavin untuk memutar tubuhnya lalu menyingkap kemejanya hingga ke atas.
"Viola, udah gak papa!"
Viola tetap kekeh hingga kemeja itu tersingkap dan terlihat bekas pukulan yang memar membiru di punggung Zavin. "Kak, ini pasti sakit. Kita ke dokter saja."
"Tidak apa-apa."
"Kak Zavin diam dulu. Aku ambilkan salep." Viola berdiri dan mengambil salep di kotak P3K yang berada di dekat ruangan itu. Ia menutup pintu ruangan itu sebelum kembali duduk di belakang Zavin.
"Kak Zavin pegang kemejanya, biar aku kasih salep."
Bukannya menahan kemejanya tapi Zavin justru melepas kemejanya yang membuat kedua mata Viola membulat.
Viola menelan salivanya melihat tubuh menggoda Zavin. Tiba-tiba saja dadanya berdegup tak karuan.
"Di bahu juga sakit, mungkin juga memar," kata Zavin yang menyadarkan lamunan Viola.
"Iya." Viola membuka salep itu lalu mengambilnya sedikit demi sedikit dan mengolesnya di luka memar itu secara perlahan. "Kalau sangat sakit, lebih baik Kak Zavin periksa saja. Siapa tahu ada luka dalam."
Zavin tak menyahuti perkataan Viola. Ia justru mengatakan hal lain. "Viola, tadi aku sangat takut kehilangan kamu. Bagaimana kalau kamu benar-benar diambil ayah kandung kamu dan kita tidak bisa bertemu lagi."
Viola semakin memelankan usapannya setelah mendengar hal itu. "Kita masih bisa bertemu meskipun mungkin kita tidak tinggal satu rumah lagi."
Mendengar hal itu, seketika Zavin menatap Viola. Ia meraih salep yang berada di tangan Viola dan meletakkannya di meja. "Tidak tinggal satu rumah lagi? Maksud kamu, kamu akan pergi dari rumah."
"Kalau aku terbukti anak kandung Pak Viktor. Mungkin aku akan pergi dari rumah karena aku tidak mau Pak Viktor mengganggu Papa."
"Viola, tapi aku tidak mau hal itu terjadi. Kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan Mama jika kamu pergi dari rumah?"
Viola terdiam beberapa saat. "Mama pasti sedih, tapi bagaimana lagi. Aku tidak mau semua ini hancur gara-gara aku."
Zavin memegang kedua lengan Viola hingga punggung Viola bersandar di sofa. "Ini semua bukan salah kamu. Viola, aku memang ingin bertemu orang tua kandung kamu, tapi tidak seperti ini keadaannya. Aku tidak rela kamu tinggal bersama orang yang berbahaya. Aku dan Papa pasti bisa menyelesaikan ini. "
Viola menatap wajah Zavin yang sangat dekat dengannya. Entah mengapa dadanya menjadi berdebar tak karuan. Setiap kali melihat bibir Zavin dari jarak yang cukup dekat, momen ciuman itu terlintas lagi di otaknya. Buru-buru Viola mengalihkan pandangannya.
"Kenapa?" Zavin menahan dagu Viola agar tetap menatapnya.
Saat Zavin akan mendekat, Viola menahan wajah Zavin. "Ini di kantor Papa."
Zavin tersenyum dan menjauhkan dirinya. Ia segera memakai kemejanya karena ia ingat dengan CCTV yang berada di ruangan itu meski tidak menyorot ke tempat duduknya sekarang.
"Viola," panggil Zavin sambil mendekatkan wajahnya di telinga Viola. "Kamu percaya kalau ciuman itu bisa menghilangkan stress?"
Viola hanya mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan itu.
"Ayo, kita lakukan kalau kamu mau. Kita pulang saja."
...***...
Arvin tiba di perusahaan milik Victor dengan langkah tegas. Setelah melewati lorong, Arvin mendorong pintu ruang direktur utama dan masuk ke dalam. Ruangan itu begitu luas dan mewah, mencerminkan kuasa dan pengaruh besar yang dimiliki Victor.
Victor duduk di kursi kebesarannya dengan tenang, seolah-olah sudah menanti kedatangan Arvin. Tatapan tajam Arvin bertemu dengan mata Victor, namun Victor hanya tersenyum tipis, seakan segalanya sudah berada dalam kendalinya.
"Aku sudah menduga kamu akan datang," ujar Victor dengan penuh percaya diri. "Terima kasih karena telah menyayangi Viola selama ini, tapi waktunya sudah tiba. Viola harus kembali bersamaku. Kalau kamu tidak percaya dia anakku, aku sudah punya bukti tes DNA."
Tangan Arvin terkepal erat. Amarah dan rasa tidak terima bergumul di dadanya. "Setelah bertahun-tahun kamu menelantarkan Viola, sekarang kamu datang begitu saja dan ingin mengambilnya? Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!".
Victor hanya tersenyum lebar, seakan tantangan Arvin tidak berarti apa-apa baginya. "Aku tidak perlu mengambilnya secara paksa. Viola akan pulang ke rumahku dengan kemauannya sendiri. Selama ini, aku juga menyayangi Viola. Bahkan selama 20 tahun, aku tidak pernah menyentuhnya, apalagi memeluknya. Aku tahu dia bersamamu selama 12 tahun, dan aku menahan diri untuk tidak mengambilnya karena Viola tidak mengingat masa lalunya. Tapi sekarang dia sudah ingat bahkan dia sendiri yang mencari orang tua kandungnya."
Arvin menatap Victor dengan penuh kemarahan. "Kamu bilang Viola akan pulang sendiri? Lalu kenapa kamu membuat saham perusahaanku anjlok dan klien-klienku kabur? Itu bukan membiarkannya memilih tapi itu sama saja dengan memaksanya!"
Victor mengangkat bahunya sesaat. Ia berjalan santai mendekati Arvin. "Itu hanya bagian kecil dari apa yang bisa kulakukan. Selama 12 tahun ini, akulah yang membuat para investor menanamkan saham di perusahaanmu. Aku juga yang memperkenalkan klien besar kepadamu secara diam-diam. Semua itu lebih dari cukup untuk mengganti biaya hidup Viola selama 15 tahun dia tinggal denganmu."
Arvin semakin emosi. Bagaimana bisa Victor menganggap semua yang telah ia lakukan untuk Viola sebagai pertukaran semata? Seolah-olah kasih sayang yang tulus hanyalah soal uang dan keuntungan.
Victor berhenti sejenak, matanya menatap langsung ke arah Arvin, lalu menyampaikan pesan terakhir yang menancap dalam. "Dan ada satu hal lagi yang perlu kamu tahu. Zavin, sangat mencintai Viola. Bayangkan apa yang akan terjadi jika mereka terus tinggal bersama di rumahmu?"
Arvin terdiam. Ia terkejut dengan kata-kata itu.
Thanks Mbak Puput
Ditunggu karya selanjutnya ❤️
perjuangan cinta mereka berbuah manis...
Semoga cepat menghasilkan ya, Zavin
semoga cepat diberi momongan ya ..
udah hak Zavin...
😆😆😆
Siapa ya yang berniat jahat ke Viola?