Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa lalu
Sesampainya di kafe, Rani melihat Fajar sudah menunggunya. Pria itu masih mengenakan setelan jas, kali ini berwarna navy. Ia tampak gugup, jemarinya terus memainkan cangkir kopi di hadapannya.
"Hai," sapa Rani pelan, duduk di hadapan Fajar.
Fajar mengangkat wajahnya, senyum lega terkembang di bibirnya. "Hai, Adinda. Terima kasih sudah mau datang."
Mereka terdiam sejenak, keduanya tampak tidak yakin harus memulai dari mana.
"Jadi," Rani akhirnya memecah keheningan, "apa yang ingin kau bicarakan?"
Fajar menarik napas dalam-dalam. "Adinda, aku... aku ingin minta maaf. Atas semua yang terjadi lima tahun lalu."
Rani merasakan jantungnya berdegup kencang. "Lima tahun lalu?"
Fajar mengangguk, matanya menyiratkan penyesalan yang mendalam. "Ya, saat kita... saat kita merencanakan untuk kabur bersama."
Rani merasa seolah ada yang memukulnya. Kabur bersama? Adinda dan Fajar merencanakan untuk kabur bersama?
"Aku tahu aku pengecut karena membatalkannya di menit-menit terakhir," lanjut Fajar. "Aku... aku takut. Takut menghadapi konsekuensinya. Tapi setelah kau menghilang, aku sadar betapa bodohnya aku."
Rani berusaha keras menjaga ekspresinya tetap netral. "Menghilang?"
Fajar menatapnya bingung. "Ya, kau... kau menghilang setelah itu. Keluargamu bilang kau pergi ke luar negeri untuk kuliah. Tapi aku tahu itu bohong. Aku sudah mencarimu selama bertahun-tahun, Adinda."
Rani merasa dunianya berputar. Jadi inikah alasan mengapa Adinda menghilang? Karena rencana kaburnya dengan Fajar gagal?
"Kenapa?" tanya Rani lirih. "Kenapa kita... kenapa kita ingin kabur?"
Fajar menatapnya dengan campuran kebingungan dan kekhawatiran. "Adinda, apa kau benar-benar tidak ingat? Kita ingin kabur karena keluargamu... karena ibumu..."
Rani merasakan napasnya tercekat. "Ibuku?"
"Ya, karena perlakuan ibumu padamu. Semua tekanan dan ekspektasi tidak masuk akal itu. Kau bilang kau tidak tahan lagi, bahwa kau ingin bebas," jelas Fajar.
Tiba-tiba, semuanya mulai masuk akal bagi Rani. Diary Adinda yang penuh dengan keluhan tentang ibunya, ketakutannya akan ekspektasi yang terlalu tinggi, keinginannya untuk bebas.
"Adinda," Fajar meraih tangan Rani, menggenggamnya erat. "Aku tahu mungkin sudah terlambat. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku masih mencintaimu. Aku ingin memperbaiki kesalahanku."
Rani merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin menarik tangannya, ingin berlari dari situ, tapi ia tahu ia tidak bisa. Ia harus menyelesaikan ini.
"Fajar," ujarnya pelan, "banyak yang telah berubah dalam lima tahun terakhir. Aku... aku sudah menikah."
Fajar tampak terkejut, tangannya perlahan melepaskan genggamannya. "Oh, aku... aku tidak tahu. Maafkan aku."
Rani menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Kau tidak tahu."
Mereka terdiam lagi, atmosphere di sekitar mereka terasa berat.
"Boleh aku tahu," Fajar akhirnya bersuara, "apa yang terjadi setelah... setelah rencana kita gagal?"
Rani menelan ludah. Ini adalah pertanyaan yang ia takutkan. "Aku... aku pergi. Aku memutuskan untuk memulai hidup baru. Tanpa tekanan dari ibuku, tanpa ekspektasi yang mencekik."
Fajar mengangguk pelan. "Aku mengerti. Aku senang kau akhirnya bisa bebas, Adinda."
Rani merasa dadanya sesak mendengar nama itu. Nama yang bukan miliknya.
"Fajar," ujarnya lirih, "ada yang harus kukatakan padamu. Aku..."
Namun sebelum Rani bisa menyelesaikan kalimatnya, ponselnya berdering. Nama Dimas muncul di layar.
"Maaf, aku harus menjawab ini," ujar Rani, setengah lega setengah panik.
"Adinda?" suara Dimas terdengar tegang di ujung telepon. "Kau di mana? Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Ini... ini tentang ibumu."
Rani merasakan darahnya seolah membeku. "A-apa? Ada apa dengan ibuku?"
"Dia... dia di sini. Di rumah kita. Dia ingin bertemu denganmu."
Rani merasa dunianya runtuh seketika. Ibu Adinda - wanita yang selama ini ia hindari, wanita yang menjadi alasan Adinda ingin kabur - kini ada di rumahnya.
"Aku... aku akan segera pulang," ujar Rani terbata-bata sebelum menutup telepon.
Ia menatap Fajar, yang kini memandangnya dengan khawatir. "Ada apa, Adinda?"
Rani bangkit, tangannya gemetar. "Maaf, Fajar. Aku harus pergi sekarang. Ada... ada urusan penting di rumah."
Sebelum Fajar bisa berkata apa-apa, Rani sudah berlari keluar dari kafe. Pikirannya kacau, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, saat ini juga, semua kebohongannya akan terbongkar. Saat ia sampai di rumah, ia akan berhadapan tidak hanya dengan Dimas, tapi juga dengan ibu Adinda - wanita yang bahkan tidak pernah ia temui sebelumnya.
Taksi yang ia tumpangi melaju cepat di jalanan Jakarta. Rani memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, begitu ia membuka pintu rumahnya nanti, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.