NovelToon NovelToon
Tarian-tarian Wanita

Tarian-tarian Wanita

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / Slice of Life
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Pada akhirnya dia terlihat menari dalam hidup ini. dia juga seperti kupu-kupu yang terbang mengepakkan sayapnya yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 : aku keras kepala

Ayu akhirnya datang menjengukku. Ketika dia melihat tangan kurus keringku, dia menyarankan aku harus makan lebih banyak dan terus tersenyum. Baginya, senyuman adalah obat untuk kesehatan. Aku mengangguk tanda menerimanya.

Ruangan kamarku kecil, hanya ada satu kemari, meja dan tempat tidur. Rasanya aku tidak enak duduk di atas sementara dia di bawah, jadi suamiku datang membawakannya kursi sama seperti sebelumnya. Ayu datang membawa bunga-bunga putih, meminta gelas yang di isi air kemudian memasukkan beberapa tangkai bunga lalu meletakkannya di meja.

“Ini bunga sedap malam,” katanya. “Karena aku menyukainya, aku membelinya beberapa tangkai.”

“Lebih baik kau membawanya pulang saja.”

“Tidak usah. Bunga-bunga itu akan memberatkanku.”

Ayu memang sedikit aneh. Jika itu adalah aku, maka aku tidak akan meninggalkannya. Aku melihat-lihat bunga itu. Tidak terlalu indah, menurutku lebih indah bunga aster di pekarangan rumah. Aku teringat dan menawarkannya kepada Ayu.

“Nanti aku akan memetiknya. Aku juga melihatnya tadi, sepertinya bunga-bunga itu di rawat dengan cukup baik.”

“Aku yang merawatnya.”

“Sudah aku duga.”

Tiba-tiba dia bertanya, “Mbok, bagaimana rasanya? Apa lebih baik?”

“Sedikit.”

“Mbok tidak boleh banyak pikiran. Mbok harus fokus pada kesehatan Mbok.”

Aku menjawab Ya singkat kemudian Ayu bertanya di mana putriku satu-satunya.

“Dia tinggal di rumah neneknya.”

“Sejak kapan?”

Karena kami adalah teman baik, aku menceritakan semuanya dan menjawab setiap pertanyaan dari Ayu. Kemudian aku bertanya, “Ayu, apa aku salah mendidiknya?”

“Hanya soal penari?” Dia berpikir sebentar. “Menurutku semua orang memiliki cara pandang masing-masing. Mbok harus terbuka kepadanya dan mengatakan alasan mengapa Mbok tidak memperbolehkannya.”

Barangkali mungkin apa yang dikatakannya benar adanya. Aku tiba-tiba teringat dengan acara televisi tentang seorang penjelajah yang menggenggam pasir. Apa aku terlalu menekan sari? Atau gadis itu yang benar-benar keras kepala? Aku memikirkannya sebentar kemudian batuk-batuk. Lalu bertanya pelan, “Ayu, bagaimana menjadi orang tua yang baik?”

“Menjadi orang tua yang baik? Aku sebelumnya belum pernah menjadi orang tua, tapi aku pernah membaca jika ingin anak terdidik dengan baik, maka harus di ajarkan dari kecil dengan kebohongan atau kelembutan. Anak-anak akan suka dengan hadiah, jadi jika melarang sesuatu kepadanya, maka harus ada sesuatu yang diberikan. Anak-anak akan menyukainya. Tapi cara itu anak-anak akan terdidik dengan meminta sesuatu jika ingin mengikuti perintah. Menjadi orang tua yang baik sangat sulit, tergantung juga bagaimana kepribadian anak itu. Ngomong-ngomong, siapa nama anak Mbok?”

“Diah Permatasari.”

“Tunggu dulu, kenapa namanya mirip dengan teman kecilku itu?”

“Itu wajar.”

“Bukan! Namanya sangat mirip. Apa nama depannya Ni putu?”

“Sebagai anak pertama, tentu saja.”

Ayu kemudian menanyakan umurnya dan kenapa Sari pergi, lalu menanyakan ciri-cirinya.

Setelah aku mengatakan semuanya, Ayu terkejut dan berseru, “Dia benar-benar muridku!”

********

Ayu akhirnya pulang, melambaikan tangannya lalu pergi. Wanita muda itu selalu ceria dan mendoakan kesembuhanku. Aku merasa terhibur dengannya dan mulai memikirkan kata-katanya. Dia mengatakan keikhlasan adalah senjata terpenting dalam dunia ini. Tanpa itu, katanya tidak akan bahagia. Aku benar-benar tidak mengetahui mengapa wanita itu membicarakan hal seperti itu kepadaku setelah menceritakan bagaimana kronologi Aku dan Sari bertengkar dan hingga sekarang Sari belum pulang.

Aku pernah bertengkar dengan ayah mertua, karena dia yang memaksaku seperti itu, sementara Sari, tidak lebih dari itu. Apa aku yang kurang baik, sehingga kedua konflik itu belum terselesaikan?

Aku bahkan belum pernah mepunjung untuk ayah mertuaku. Kata-katanya selalu terngiang-ngiang dalam ingatanku. Ketika itu, aku membencinya dan mengutuknya, berharap dia membusuk di neraka. Apa aku salah?

Tidak boleh bermusuhan, Putri Artila pernah mengatakannya. Aku rasa aku tidak akan pernah melakukannya. Putri Artila bilang tidak boleh, tapi dia menghantuiku bertahun-tahun karena aku tidak mengunjungi pemakamannya. Dia seperti menjilati kata-katanya sendiri.

Putri Artila yang malang. Aku menjadi teringat waktu itu, waktu yang mengerikan, momen ketika sang pencabut nyawa seperti muncul mencabut nyawa Putri, sosok temanku, gadis paling dekat denganku. Dia muncul tiba-tiba dan mengambil nyawa Putri yang sangat di sayangi orang-orang terdekatnya.

Aku berlari di lorong rumah sakit. Orang-orang dan para suster memandangku, juga berusaha menghindar. Mereka sangat membenciku melakukannya, tapi aku tidak memedulikannya dan terus melangkah.

Suara langkah kaki bergema sepanjang lorong dan percakapan orang-orang seperti menyahut suara langkah kakiku.

Masuk ke dalam ruangan.

Seorang di sana berkata, “Dia sudah pergi.”

Ada tujuh orang di dalam sana. Ayah, ibu, kakak, kedua adiknya dan kakek neneknya. Mereka semua sangat murung dan terlihat menyedihkan.

Ibu putri menutup wajahnya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu, sebelum akhirnya tubuhnya lemas dan pingsan. Orang-orang memandang kami dengan kepiluan yang luar biasa. Adik-adiknya menangis dan mengusap beberapa kali air matanya yang jatuh. Sementara kakek dan neneknya terdiam. Mereka menunjuk ekspresi berbeda, tapi memiliki satu perasaan, yaitu kehilangan, semua merasakan kehilangan seorang penari yang sedang naik daun, yang sedang berupaya menjadi seorang bintang dan penari hebat.

Aku terdiam. Air mataku tidak mengalir, tapi gelombang kesedihan menamparku tiba-tiba, menenggelamkanku dalam lautan tanpa perasaan dan ujung. Aku memandang sosok di atas ranjang, tidak bergerak dan tertutup tirai hijau. Tidak ada lukisan yang paling menyedihkan yang dapat mengekspresikan perasaanku dan keluarganya, Tidak ada kata-kata yang paling menyedihkan untuk menuliskannya, kecuali jika orang-orang mengetahuinya. Kami kehilangan, kami kehilangan seseorang yang sangat dekat dan berpengaruh dalam hidup kami. Seseorang merenggutnya dari kami, memaksa kami berpisah darinya.

Aku memaksakan diri membuka tirai dan meliat wajahnya. Aku tidak kuat, memejamkan mata. Darah mengalir deras di atas ranjang. Kebaya putih bersih penuhi bunga-bunga itu di penuhi darah-darah merah bagaikan bunga mawar. Aku hanya dapat sekilas melihat jepit rambut bunga Jepun yang di penuhi darah di sana. Itu jepit rambut putri. Aku mengambilnya dan segera pergi dari sana. Air mataku juga belum menetes. Aku mencuri dari orang mati jepit rambut itu.

Beberapa hari setelahnya, Putri dimakamkan, aku tidak datang, tidak kuat melihatnya pergi dan tidak juga mempercayai apa yang aku lihat. Semua itu bagiku hanya mimpi, tidak lebih. Mimpi yang buruk.

Selanjutnya aku bersikap seperti biasa, seolah kejadian itu tidak terjadi. Aku mengingat orang-orang yang merekamnya dan membenci mereka.

********

Langit yang kuning. Aku duduk menatapnya. Awan-awan keabu-abuan terlihat berbaris di ujung barat, terselimut cahaya matahari tenggelam dalam kelembutan. Kemudian awan-awan yang gelap itu menyelimuti punggung bukit seperti sedang menidurkannya.

Terkadang di jam tujuh malam, awan-awan putih masih terlihat di langit, terbalut dalam cahaya kekuningan matahari yang tenggelam. Itu adalah cahaya terakhir matahari sebelum sepenuhnya di selimuti kegelapan malam. Terkadang aku melihat awan yang membentang di atas bukit dan ujung-ujungnya terpancar seperti tanaman pakis. Aku tiba-tiba teringat dengan batik yang di pakainya. Polanya tidak jauh berbeda dari awan-awan itu.

Wajah cantik Putri muncul tiba-tiba. Aku menghela nafas. Aku masih bersalah tidak datang ke pemakamannya. Putri adalah temanku, dia pasti kecewa aku tidak datang. Aku ingin sekali mengulang waktu, ingin melihat wajah terakhir putri, walaupun hancur, melihat wajah adikku dan meminta maaf kepada ayah mertua. Aku tidak tahu mengapa semuanya muncul tiba-tiba, menusukku begitu dalam.

Suamiku kemudian datang memerintahkanku untuk ke dalam.

“Aku keras kepala?”

“Menurutku tidak, kau tidak keras kepala, Kumala, hanya saja menurutku terlalu jahil.”

Aku mengingatnya. Cinta lama bersamanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!