"Aku emang cinta sama kamu. Tapi, maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."
Tanganku gemetar memegang alat tes kehamilan yang bergaris dua. Tak bisa kupercaya! Setelah tiga bulan hubunganku dengannya berakhir menyakitkan dengan goresan luka yang ia tinggalkan, aku malah mengandung darah dagingnya.
Saat itu juga, aku merasakan duniaku berotasi tidak normal. Aku terisak di sudut ruangan yang temaram. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Namun, satu yang aku yakini, hidup itu ... bukan pelarian, melainkan harus dihadapi.
Adaptasi dari cerpen Aku Sudah Memaafkan, ©2022, Yu Aotian
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Bahagia Bersamanya
Butuh waktu lebih lama dalam mengenyam pendidikan profesi kedokteran. Setelah berhasil menyelesaikan kuliah selama empat tahun, calon dokter akan berhadapan dengan periode yang lebih berat yaitu koas¹. Ya, sebelum menjalani praktik dokter yang sesungguhnya, calon dokter diwajibkan mengikuti tahapan kedua ini di rumah sakit selama satu setengah tahun. Itulah yang sedang dijalani kak Evan sekarang pasca meraih gelar sarjana kedokteran.
Di samping itu, aku pun hari-hari disibukkan dengan mempersiapkan kuliah materi, tugas diskusi, tutorial dan praktikum yang menjadi makanan mahasiswa kedokteran. Aku mulai kelelahan dengan tumpukan tugas dan ujian blok. Jam tidurku berkurang. Tidak mandi saat ke kampus itu sudah menjadi hal biasa untuk menghemat waktu.
Karena aktivitas padat kami masing-masing ini, aku dan dia menjadi jarang bertemu. Tak seperti dulu lagi yang bisa melewatkan malam Minggu berdua, kini kami sibuk dengan urusan masing-masing. Meski begitu, komunikasi kami tetap berjalan lancar. Di sela kesibukannya, dia masih menyempatkan diri meneleponku setiap hari. Aku dan dia seolah sedang menjalani hubungan jarak jauh yang membuat kami jarang bertemu.
Menjelang senja, aku dan Arai bersantai di balkon yang menjadi tempat andalan kami. Aku memandang pohon mahoni di bawah sana. Kosong. Sudah tak ada lagi pria yang menjadi pemandangan favoritku kala itu. Ini membuatku cukup hampa berlama-lama di kampus.
"Arai, aku kangen kak Evan." Aku mendengkus seraya memutar-mutar cincin yang ada di jari manisku.
"Terus aku harus gimana? Dokter ndak bisa ngobatin orang yang dilanda rindu," celetuknya sambil mengunyah kuaci.
"Aku juga tahu!"
"Coba kau bilang sama bang Evan suruh bapaknya buatkan obat rindu. Mungkin aja bisa. Mereka, kan, punya pabrik pembuatan obat," ucapnya sambil terkekeh.
Karena Arai menyinggung tentang keluarga kak Evan, aku mendadak teringat sesuatu. "Oh, iya, waktu itu ... aku dan kak Evan kayaknya ketemu sama kakaknya deh."
"Maksud kau Abangnya bang Evan?"
Aku mengangguk seraya mengingat pertemuan kami di mall tempo hari. "Kayaknya kak Evan dan kakaknya kurang akur, ya?"
"Bukan ndak akur lagi. Mereka itu kayak Amerika vs Rusia. Perang dingin! Kakaknya didukung penuh oleh ibunya dan orang-orang di sekitar mereka, sementara bang Evan didukung oleh ayahnya dan juga paman-bibiku."
"Trus kamu dukung siapa?"
"Tadinya aku ingin membentuk gerakan non blok, tapi melihat keadaan ... aku memilih di kubu bang Evan!" ungkap Arai sambil menaikkan kedua alisnya.
Aku tersenyum lebar. "Ada-ada aja keluarga orang kaya, ya?"
"Ya, kehidupan orang-orang konglomerat berbeda jauh dengan kita. Apalah kita ini dibanding mereka. Mereka udah simpan jet pribadi di bandara, kita masih taruh motor di ruang tamu biar ndak kemalingan."
Saat Arai membuat perumpamaan seperti itu, aku mulai merasa kehidupan aku dan kak Evan sangat berbeda jauh. Namun, tetap saja dia menjadi yang paling kusemogakan di antara banyaknya ketidakmungkinan yang mengancam masa depan hubungan kami.
***
Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku mengecek stok kopi instan di kotak penyimpanan. Sudah habis ternyata. Bagaimana aku bisa kuat mengerjakan tugas kalau jam begini saja sudah mengantuk.
Aku balik ke meja belajar sambil mengucek mata dan memukul-mukul pipiku. Bersamaan dengan itu, kak Evan mendadak meneleponku. Sontak, aku pun langsung menerima panggilan telepon yang sudah kutunggu-tunggu.
"Sudah tidur?"
"Belum, aku masih ngerjain tugas. Kak Evan sendiri lagi ngapain?"
"Aku lagi di depan pintu kos."
Mataku melotot seketika. Aku segera beranjak untuk membuka pintu. Benar, di hadapanku saat ini, kak Evan berdiri dengan ponsel yang masih merekat di telinganya. Kakiku mundur beberapa langkah saat dia melangkah masuk dan menubruk tubuhku dengan pelukannya. Sebelah kakinya mendorong daun pintu agar tertutup.
Aku tersandar ke dinding bertepatan dengan kedua tangannya menangkup wajahku. Bibirnya yang setengah terbuka langsung menerjang bibirku, menyelipkan rasa rindu yang tertahan di setiap pagutannya. Mataku terkulai tak berdaya ketika ciuman itu terus berlangsung. Namun, seketika kepalaku terantuk ke kiri ketika dia menjauhkan bibirnya dari bibirku.
"Ketiduran?"
Aku membuka mata yang terasa berat. "Maaf aku ngantuk banget."
Kak Evan lantas tertawa kecil. "Kalo gitu tidur aja."
Aku terkesiap ketika dia mendadak menggendong tubuhku layaknya anak kecil. Aku sampai refleks mengalungkan tangan di lehernya sedang kakiku langsung melingkar di pinggulnya. Dia lalu membawaku menuju tempat tidur dan membaringkan dengan hati-hati.
"Bobo aja. Aku juga mau pulang," ucapnya setelah merebahkan tubuhku.
Dalam kondisi yang kantuk berat, aku menahan pergelangan tangannya. "Kak Evan jangan pulang dulu."
Kak Evan tersenyum, lalu duduk di pinggir tempat tidur dan mengelus-elus rambutku. Entah berapa lama dia berada di sisiku, yang jelas aku terbangun ketika alarm ponselku telah berbunyi. Saat menoleh ke samping, dia sudah tak ada. Sisa tugasku yang tak sempat kukerjakan, telah diselesaikan olehnya. Di pinggir buku catatanku, ada secarik kertas yang ditulis olehnya.
"Aku pindah ke stase besar² bagian bedah besok. Bakalan sering lembur seharian di rumah sakit dan mungkin sering lambat balas sms-mu."
Aku tersenyum simpul membaca pesannya. Meski dia datang menemuiku hanya seperti sekilas mimpi, tapi sudah cukup membuatku senang. Kukirim sms penyemangat untuk memulai langkahnya di hari ini.
Selama berbulan-bulan, hubungan kami terus terjalin dengan menabung rindu yang mengendap-endap. Kami bertemu sesingkatnya hanya untuk kembali menjalani rutinitas panjang yang padat. Hal ini dapat kumengerti, mengingat ada banyak mahasiswa yang memutuskan untuk tidak berpacaran selama masa koas.
Saat bertemu pun, kami hanya membicarakan tentang dunia kedokteran. Dia membantuku mengerjakan tugas, atau aku membantunya belajar anamnenis pasien³. Contohnya, saat dia sedang berada di stase obgyn, dia memintaku berperan sebagai ibu hamil dan Arai sebagai suami yang mendampingiku.
"Ada keluhan apa, Bu?" tanyanya memulai praktik latihan wawancara pasien.
"Mana berani dia ngeluh sama dokter, ngeluhnya paling ke saya," sambar Arai sengaja menyindirku.
"Arai!" Aku menepuk lengan Arai dengan kesal.
Sementara kak Evan memandangku sambil tersenyum simpul seolah paham dengan maksud ucapan Arai. Dia lalu berdiri menghampiri Arai dan langsung mengangkat tubuh pria itu setinggi sepuluh sentimeter.
"Kalo gitu, istri Bapak saya periksa dulu, ya. Untuk sementara Bapak nunggu di luar, ya, biar gak berisik. Mau pulang juga gak papa." Kak Evan terus mengangkat Arai sambil membawanya keluar dari kamar kos.
Sementara Arai meronta-ronta hendak turun sambil berpegangan di daun pintu. "dokter mau ngapain sama istri saya?"
Terjadi aksi dorong mendorong antara mereka berdua ketika kak Evan hendak menutup pintu kamar kosku. Arai sengaja menyelipkan kakinya saat kak Evan hendak menutup pintu. Kak Evan lantas menginjak kaki lelaki itu hingga membuatnya memekik.
Pintu berhasil tertutup dan terkunci, hanya menyisakan aku dan kak Evan yang saling berpandangan. Di luar sana, Arai masih menggedor-gedor pintu.
"Mau diperiksa?" tanyanya menahan senyum sambil mengedikkan dagu ke arah tempat tidurku.
Aku menggeleng seraya berusaha menghindarinya ketika dia hendak menghampiriku. Dia berhasil menangkapku dan kami sama-sama terjatuh di atas tempat tidur.
Sambil membelai wajahku, dia berkata, "Apa yang kamu keluhkan ke Arai?"
Aku menggeleng.
"Jawab jujur!"
"Aku ... cuma ... kangen."
"Kamu bisa langsung ngomong ke aku." Dia memencet hidungku dengan gemas. "Mau aku obati kangennya?" tanyanya sambil hendak membuka kancing atasanku.
Namun, jari-jarinya tertahan begitu mendengar gedoran pintu yang beruntun diikuti teriakan Arai dari luar. Aku lantas terkikik melihat wajah kesal kak Evan.
"Cepat bukain pintu! Dia bakal ngerusuh terus, tuh!" pintaku pada kak Evan.
Waktu terus berlalu dan berganti, hingga tak terasa hubunganku dan kak Evan telah genap dua tahun. Selama dua tahun menjalin hubungan dengannya, aku masih bahagia. Kami hampir tak pernah bertengkar atau putus-nyambung seperti pasangan muda pada umumnya. Aku berusaha memahami dia lambat membalas pesanku atau tak menghubungiku sama sekali. Aku berusaha menelan rasa cemburu dan over protektif hanya agar dia merasa nyaman di sisiku. Dia tetap bersamaku hingga kini, sudah cukup bagiku.
Kuulangi sekali lagi, hingga saat ini aku masih bahagia bersamanya. Dan, ketika menginjak tahun ketiga ....
.
.
.
Catatan kaki:
Koas atau yang biasa disebut dokter muda : dari kata co-assisten yaitu magang di rumah sakit yang harus dilakukan untuk pelatihan menjadi dokter yang sesungguhnya dan tidak digaji bahkan harus membayar uang pelatihan.
Stase besar: ilmu penyakit dalam, ilmu bedah, obgyn, spesialis anak, dan ilmu kesehatan masyarakat yang nantinya akan ditempatkan di puskesmas. Di tahapan ini, para koas punya bayangan untuk mengambil profesi spesialis nantinya dan tentunya sangat sibuk.
Anamnesis pasien: proses pengumpulan informasi medis secara terperinci mengenai riwayat kesehatan dan keluhan pasien.
Like dan komeng
pasti jleeeeb banget ke hati
pas ktemu pasti pak lim terkejut.🤭🤭🤭