Arabella seorang anak perempuan yang menyimpan dendam terhadap sang Ayah, hal itu diawali sejak sang Ayah ketahuan selingkuh di tempat umum, Ara kecil berharap ayahnya akan memilih dirinya, namun ternyata sang ayah malah memilih wanita lain dan sempat memaki istrinya karena menjambak rambut selingkuhannya itu.
Kejadian pahit ini disaksikan langsung oleh anak berusia 8 tahun, sejak saat itu rasa sayang Ara terhadap ayahnya berubah menjadi dendam.
Mampukah Arabella membalaskan semua rasa sakit yang di derita oleh ibunya??
Nantikan kisah selanjutnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Setelah kepergian Tante Lidia pikiran Dirga terasa kalut dan merasa bersalah, susah sembilan bulan ini ia tidak pernah mencari anaknya sendiri, darah dagingnya. Terakhir dia ingat mengingkari janji untuk bertemu di sebuah restaurant.
"Ya Tuhan ... semoga saja anakku mengerti dengan keadaanku," ucapnya dalam hati.
Mengetahui suaminya yang sedang dilanda gelisah Ika pun langsung membuat ancer-ancer agar Dirga tidak menemui anaknya sama sekali.
"Mas, sudah deh jangan di pikirin terus ucapan Tante Lidia, dia itu memang gak suka lihat kami bertiga bahagia, lihat saja sifatnya terlalu kekanakan, seharusnya kalau melihat kita jangan bahas masa lalu," ujar Ika dengan nada yang seolah dibuat lembut.
Dirga hanya terdiam entah kenapa pikirannya merasa terganggu, namun disaat mendengar suara tangisan anak laki-lakinya itu fokusnya mulai teralihkan.
"Iya Sayang, cup ... cup ... ya Nak," ucapnya sambil menimang-nimang anak tersebut.
Sementara itu Ika pun mulai beraksi untuk membuat Dirga semakin yakin. "Tuh kan Mas, si dedek bayi saja tahu, dia gak ingin melihat kamu cemas yang berlebihan," ujar Ika.
Sekilas Dirga menarik nafas dalam, mencoba untuk mengabaikan masa lalu dan mulai fokus ke masa depan. "Iya Ik, yang kau katakan itu benar, aku harus fokus dulu sama anak kita, meskipun di masa lalu aku juga punya anak, dan aku tidak melupakan itu," sahutnya tanpa berpikir bagaimana perasaan sang anak di sana yang hidup tanpa uluran tangannya.
☘️☘️☘️☘️☘️
Malam mulai datang, cahaya mentari baru saja tenggelam meninggalkan jejak jingga yang perlahan mulai memudar, di waktu magrib, sedari tadi Sena dibuat sibuk mondar-mandir dengan Arkana yang tiba-tiba saja rewel, entah apa yang dirasa oleh bati tersebut.
"Oeeek ... oeeek ...," tangisnya pecah menggema.
"Cup ... cup ... Sayang, kamu mau susu ya," ucap Sena dengan nada cemas.
Melihat ibunya yang cemas gadis kecil itu juga ikut iba, bahkan ia mulai meninggalkan iqra nya. "Ma, kenapa Adik Arkan kok rewel?" tanya anak itu.
"Gak tahu nih Nak, dia juga gak mau susu," sahut Sena dengan perasaan gusar.
"Ma, coba saja di cek bajunya siapa tahu Adik di gigit semut," ujar anak itu.
Seketika Sena mulai teringat, kenapa dari tadi ia tidak mengeceknya sendiri, dengan rasa bersalahnya wanita itu langsung membaringkan tubuh sang anak di ranjang kecil.
"Maafkan Mama ya Nak, gak bisa peka untung ada kakakmu," ucap Sena sambil membuka satu persatu baju anaknya.
Namun ia tidak menemukan serangga kecil yang menempel di baju ataupun tubuh anaknya, Sena pun mencoba tenang, agar tidak panik, tapi kaki bayinya itu tidak mau diam, ia menendang-nendang seolah merasa tidak nyaman.
"Astaga kenapa dari tadi kakinya menendang terus," ucap Sena bingung, seketika pandangannya beralih ke diapres bayinya.
Dan ternyata setelah dibuka, popoknya sudah kembung, bukan hanya ful dengan pipis saja melainkan juga dengan kotorannya.
"Astaga Nak, maaf ya Mama belum terlalu bisa merawat kamu," ucapnya penuh dengan sesal.
Jika dulu ia melahirkan Ara semuanya ditangan baby sister, tapi untuk Arkana senja harus ia tangani sendiri, dan ini baru pertama kalinya ia terjun merawat bayi, meskipun begitu melelahkan namun ia tahu jika semuanya sudah berbeda tidak seperti dulu lagi.
Dan setelah sudah dibersihkan bayi mungil itu diam dengan sendirinya, hari Sena pun merasa lega. "Akhirnya kamu diam juga Nak," ungkapnya sambil mendekati makhluk kecil itu.
Sementara itu, Ara yang selesai mengaji langsung menghampiri ibunya dengan memperhatikan adiknya yang mulai terdiam kembali.
"Mama ... Adiknya sudah diam?" tanya anaknya itu.
Sena pun tersenyum dengan haru. "Iya Sayang, dan terima kasih banyak ya, susah ingetin Mama untuk cek, pakaian adik bayi, dan ternyata bukan di pakaiannya Nak, melainkan di Pampers adek yang harus diganti."
"Oh gitu ya Ma, kalau begitu besok-besok Mama harus teliti lagi ya, biar adik bayinya gak nangis," pesan Ara.
Sena mengangguk bangga melihat sang anak yang cepat tanggap dan peka dengan situasi. "Iya Nak makasih banyak ya sudah diingetin," ujar Sena.
Sena menatap kedua anaknya bergantian Ara yang kini tersenyum bangga, dan Arkana yang sudah tertidur pulas di pelukannya.
Udara magrib masih menyisakan bayangan jingga di dinding rumah. Sesekali angin malam berembus lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah yang menenangkan.
Ia mendekap tubuh kecil itu erat-erat, seolah takut kehilangan lagi. Ada rasa hangat di dadanya, tapi juga getir. Di balik senyum yang ia pertahankan untuk anak-anaknya, tersimpan luka yang perlahan mulai mengeras menjadi keteguhan.
“Maaf ya, Nak…” bisiknya lembut, menatap wajah Arkana yang tenang. “Mama belum sempurna. Mama masih belajar. Tapi Mama janji, kalian gak akan kekurangan cinta.”
Ara yang duduk di sampingnya ikut menyandarkan kepala di bahu Sena. “Mama capek, ya?”
Sena tersenyum kecil. “Enggak kok, Sayang. Mama cuma kangen…”
“Kangen siapa, Ma?” tanya Ara polos.
Sena memandangi langit di luar jendela. Bintang pertama malam itu sudah muncul, samar-samar.
“Mama kangen orang yang dulu pernah Mama percaya,” jawabnya pelan. “Tapi sekarang Mama sadar, yang seharusnya Mama jaga cuma kalian berdua.”
Ara diam, seolah mulai mengerti sesuatu yang tak perlu dijelaskan. Ia hanya menggenggam tangan ibunya erat-erat.
Waktu berjalan, malam makin larut.
Sena menidurkan anak-anaknya satu per satu, lalu duduk di ruang tamu yang temaram.
Pandangannya kosong menatap lampu bohlam yang bergoyang pelan diterpa angin.
Di atas meja kecil, masih ada botol susu, selembar popok kotor, dan kain yang belum sempat dilipat. Semua tampak berantakan. Tapi di mata Sena, itu adalah bukti bahwa ia masih bertahan.
“Besok harus lebih baik lagi,” gumamnya pada diri sendiri. “Gak boleh salah, gak boleh lengah.”
Tangannya menyentuh dada, tempat hatinya berdetak pelan. Ia tahu perjalanan masih panjang dan akan jauh lebih berat.
Tapi malam itu, di tengah sunyi yang menyelimuti, Sena menemukan satu hal yang selama ini hilang keteguhan untuk hidup, tanpa menunggu siapa pun kembali.
Bersambung ....
janji "aja tuh