Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Bidadari tak bersayap
Hari pertama bekerja ternyata sangat menyenangkan bagi Nara. Dia harus merevisi satu novel sesuai deadline, yaitu tiga hari. Bagi Nara, itu sangatlah mudah. Namun asistennya Bagas berkata jika itu hanyalah permulaan. Jika Nara bisa menyelesaikan tujuh novel dalam satu minggu, peluang naik gaji akan sangat besar.
"Oh, jadi ini ceritanya begini. Kenapa sedih sekali sih," ucap Nara ketika telah merevisi hampir tujuh puluh persen dari buku.
"Semoga saja happy ending ya. Biar dada ku tidak sesak begini," gerutu Nara lagi.
Ruang yang Nara gunakan untuk bekerja adalah kamarnya sendiri. Beruntung, telah tersedia meja dan kursi sehingga Nara tak perlu lagi membeli. Jemari Nara menari di atas tuts laptop dengan lincah. Merevisi beberapa tanda baca dan kapitalisme yang salah.
Sekitar satu jam berlalu, azan dzuhur terdengar dari pengeras suara masjid. Nara memundurkan kursi lalu meregangkan otot-ototnya yang kaku. "Sholat dulu kalau begitu," ucap Nara tetapi memilih menyambar ponselnya lebih dulu untuk menghubungi Arjuna.
Suaminya itu berangkat bekerja dalam keadaan merajuk karena Nara tidak menepati janji untuk ikut ke kantor bersama Arjuna.
"Assalamu'alaikum, Mas," sapa Nara ketika panggilan telepon terhubung.
"Waalaikumsalam."
"Masih marah?" tanya Nara ketika mendengar Arjuna yang masih irit bicara. Tidak ada sahutan lagi yang membuat Nara yakin jika suaminya itu masih marah.
"Habis dzuhur aku kesitu, Mas. Aku sholat dulu baru datang. Mau dibawakan makan siang apa? Biar aku sekalian beli?" tanya Nara lagi, membujuk suaminya yang sedang dalam mode merajuk.
Helaan napas kasar pun terdengar. "Apa saja. Mas akan makan kok."
Jawaban itu cukup membuat Nara merasa lega. Setidaknya, nanti tidak akan ada merajuk part dua karena makanan yang dibawa Nara kurang disukai Arjuna. "Oke. Sebentar lagi akan terbang menggunakan sayap buntungku," jawab Nara yang membuat Arjuna meledakkan tawa di seberang sana.
Semalam memang Arjuna mengatakan jika Nara itu bagai bidadari tak bersayap. Mendengar hal tersebut, bukannya tersanjung Nara justru tertawa meledek. Merasa biasa saja ketika mendapat pujian.
Panggilan pun terputus. Nara segera menjalankan kewajiban sebagai seorang hamba kepada Tuhannya. Setelah selesai, dia bergegas keluar, takut suaminya sudah menunggu dengan perut lapar.
Setibanya di luar kamar, Nara melihat Nadya yang sedang berdiri termangu di depan pintu. Tatapannya tertuju pada dirinya yang sedang mengunci pintu. "Kenapa?" tanya Nara dengan alis berkerut.
Nadya justru menunduk hingga membuat Nara juga tertuju pada sebuah benda yang sedang di pegang Nadya. Sebuah jilbab segi empat berwarna biru langit serta jilbab pashmina berwarna hitam.
"Mbak? Apa aku bisa meminta tolong untuk diajari mengenakan hijab?" tanya Nadya yang membuat Nara mengerjapkan matanya beberapa kali. Apakah Nara tidak salah dengar? Nadya memintanya untuk mengajari menggunakan hijab?
Nara bergumam cukup lama karena tidak memiliki banyak waktu. "Begini saja, aku memiliki jilbab instan yang tidak perlu ribet pakai peniti dan pentul. Akan aku pinjamkan terlebih dahulu jika memang kamu ingin mulai mengenakan hari ini. Nanti sore aku akan coba ajari ya? Hari ini aku ada janji soalnya," jawab Nara panjang lebar, berusaha menjelaskan agar Nadya tidak salah paham.
Melihat Nadya yang mengangguk dengan senyum yang menghiasi bibir, Nara pun tersenyum lega dan segera mengambil hijab instan miliknya. "Pakai ini dulu. Semoga nanti sore ada waktu untuk mengajari kamu ya," ucap Nara setelah kembali keluar dan mengulurkan hijab berwarna hitam.
"Terimakasih, Mbak. Kalau Mbak Nara sibuk, kita bisa belajar besok tidak apa-apa kok," jawab Nadya dengan senyum dan binar cerah di matanya.
Nara tersenyum lembut lalu mengangguk. "Aku pergi dulu ya. Jaga diri baik-baik," pamit Nara lalu segera turun menuju teras depan, dimana sopir suruhan Arjuna menunggu.
Suaminya itu tidak mengizinkan Nara menggunakan taksi online, sehingga Nara harus dijemput oleh sopir kantor. Dia hanya bisa menurut. Apa yang dilakukan Arjuna tidak lain adalah untuk kebaikan Nara.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...jangan lupa dukungannya yang buanyaaaaak😘...