Aura, gadis berusia 26 tahun yang selama hidupnya tidak pernah memahami arti cinta.
Karena permintaan keluarga, Aura menyetujui perjodohan dengan Jeno.
Akan tetapi, malam itu akad tak berlanjut, karena Aura yang tiba-tiba menghilang di malam pengantinnya.
Entah apa yang terjadi, hingga keesokan harinya Aura justru terbangun di sebuah kamar bersama Rayyan yang adalah anak dari ART di kediamannya.
"Aku akan bertanggung jawab," kata Rayyan lugas.
Aura berdecih. "Aku tidak butuh pertanggungjawaban darimu, anggap ini tidak pernah terjadi," pungkasnya.
"Lalu, bagaimana jika kamu hamil?"
Aura membeku, pemikirannya belum sampai kesana.
"Tidak akan hamil jika hanya melakukannya satu kali." Aura membuang muka, tak berani menatap netra Rayyan.
"Aku rasa nilai pelajaran biologimu pasti buruk," cibir Rayyan dengan senyum yang tertahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Menepis masa lalu
Dan akhirnya, hari ini Mama Yara dan Papa Sky benar-benar akan kembali pulang ke tanah air sesuai dengan jadwal keberangkatan yang telah mereka sepakati.
Aura melepas kepergian kedua orangtuanya dengan wajah ditekuk. Apalagi akibat kondisinya yang belum sepenuhnya pulih--menyebabkannya tidak bisa untuk ikut mengantar ke Bandar Udara.
Rayyan yang dengan sigap membantu proses kepulangan kedua mertuanya. Bahkan mungkin Rayyan yang tampak paling sibuk sendiri sebab dia tidak membiarkan orangtua Aura untuk mengangkat koper maupun menggunakan taksi.
Entahlah darimana mobil yang kini dikendarai Rayyan untuk mengantar Mama Yara dan Papa Sky ke Bandara. Yang jelas, kedua orangtua itu terlihat di sopiri oleh pria tersebut.
"Kenapa sih, dia gak ikutan pulang juga ke Indonesia?" Aura menggerutu setelah melihat kepergian mereka semua.
Lihat saja, Aura tidak akan tinggal diam jika nanti Rayyan kembali ke kediamannya. Dia harus membuat kesepakatan dengan pria itu. Meski sebelum pulang tadi Mama dan Papanya sudah mewanti-wanti agar Aura mematuhi perkataan Rayyan dan mulai menerima keberadaannya di Apartmen ini juga tapi tetap saja itu sangat sulit untuk Aura terima.
Bayangkan saja, statusnya yang sendiri tiba-tiba harus berubah menjadi seorang istri hanya dalam hitungan waktu selang sehari dari kecelakaan yang menimpanya. Belum lagi karena yang menjadi suaminya itu adalah Rayyan. Ah, kenapa harus pria itu?
Sebenarnya, jauh didalam lubuk hati Aura tidak membenci Rayyan, hanya saja dia tidak bisa menerima apa yang sudah terlanjur terjadi diantara mereka. Apalagi Aura sudah bertekad untuk tetap melajang setelah semua kejadian ini menimpanya. Dan sekarang Rayyan benar-benar sudah menjadi suaminya. Kenapa pula pria itu tidak menolak saja ketika orangtuanya meminta Rayyan menikahinya? Seharusnya Rayyan tidak menyetujui hal itu, apalagi Rayyan jelas tau jika dulu Aura sudah membuat sebuah keputusan bulat dengan tidak menerima pertanggungjawaban darinya.
Kondisi Aura sekarang memang sudah bisa berjalan dengan perlahan. Kepalanya sudah tidak pusing lagi saat dia mulai berdiri, hanya saja dia memang harus mengakui jika dia masih membutuhkan bantuan orang lain. Sekarang kedua orangtuanya telah pulang, haruskah dia menerima Rayyan di tempatnya untuk membantu segala keperluannya?
Jawabannya, tentu saja tidak. Meski Aura bisa memanfaatkan pria itu, tapi dia tidak mau mengambil resiko jika terlalu dekat dengan Rayyan. Kemarin-kemarin saja dia sudah mulai khilaf memuji sang pria apalagi nanti jika Rayyan terus berada disisinya.
Bukan tidak mungkin jika lama-kelamaan pria itu bisa merebut hatinya. Dan Aura tidak mau itu sampai terjadi. Dia tidak mau sakit akibat sebuah rasa yang berkaitan dengan hati. Aura memang selalu menutup diri. Baginya semua pria hanya mau dengan tubuhnya saja, tidak ada yang benar-benar tulus.
Aura yang masih larut dalam pemikirannya tidak sadar jika Rayyan telah kembali ke Apartmen, pria itu menyapa sang istri namun tindakan itu justru membuat Aura tersentak kaget.
"Astaga ..." Aura mengusap dadanya ketika mendengar sapaan Rayyan.
"Apa aku mengejutkanmu? Maaf, aku gak bermaksud. Apa kamu sedang melamun?"
Aura tidak menjawab satupun perkataan Rayyan. Alih-alih merespon, wanita itu langsung melengos pergi.
Rayyan menghela nafas panjang. "Sabar, Rayyan, kamu pasti punya stok kesabaran yang tidak terbatas untuk Aura. Menunggunya kembali hingga bertahun-tahun saja kamu bisa, apalagi hanya meluluhkan hatinya. Cukup ingat jika sebenarnya dia sudah menjadi istrimu, kamu hanya perlu mendekatinya secara perlahan sampai hatinya yang beku benar-benar mencair," batin hati Rayyan mencoba menguatkan dirinya sendiri.
...***...
Sore harinya, Aura memandang pemandangan luar dari balkon yang ada didekat ruang tamu apartmennya.
Disana, Aura kembali membayangkan tindak-tanduk dirinya sendiri. Dulu, dulu sekali saat Aura merasa frustasi karena bayang-bayang pelecehan terus menghantui kepalanya berulang kali, Aura pernah hampir melakukan tindakan yang sangat fatal. Dia nyaris bunuh diri dengan lompat dari gedung tinggi.
Dan sekarang, saat dia kembali berdiri di balkon seperti ini, Aura merasa dejavu. Mengingat jika dia harus terjebak pernikahan dengan Rayyan membuatnya cukup merasa berat. Tapi bukan berarti dia mau melakukan tindakan yang sama seperti dulu, Aura tidak akan pernah mau mengulanginya. Dia sudah menjalani berbagai macam pengobatan psikis hingga akhirnya mulai pulih kembali, jadi Aura tak mau membuat semua usahanya untuk sehat--menjadi sia-sia.
Aura seakan sudah pasrah sekarang. Sudah terlalu banyak yang diambil darinya sehingga dia tidak memiliki semangat untuk bertahan hidup. Namun, itu semua bukan berarti dia juga akan pasrah dengan keberadaan Rayyan yang terus berada didekatnya. Aura harus memiliki pagar diri, setidaknya dia tak mau kecewa lagi. Jadi, dia akan berusaha keras mengatur dan menjaga jarak dari pria tersebut.
"Jangan pernah memasuki kamarku lagi," ucap Aura dingin saat dia menyadari seseorang membuka pintu pembatas balkon yang kini dia naungi, Aura tau itu adalah Rayyan yang kini terdiam dibelakang tubuhnya yang memunggungi posisi pria itu.
"... Mama dan Papa sudah pulang, kan? Itu artinya ada satu kamar lagi yang kosong. Menetaplah disana, itupun jika kamu masih mau tinggal di Apartmen ini. Jika tidak, silahkan pergi, kamu punya kebebasan untuk hal itu," sambung Aura kemudian.
Rayyan kasih terdiam, dia tidak perlu mencerna perkataan Aura sebab intuisinya bekerja dengan cepat hingga dapat memahami maksud dari perkataan wanita itu dengan cukup tanggap.
"Apa kamu mendengarkan?" Kali ini Aura sedikit menoleh, dia merasa Rayyan tak menanggapi.
"Aku mendengarnya, pun mengerti apa yang kamu maksud." Rayyan ikut berujar datar, meski ada yang ditahannya dalam hati. Rasa sesak, nyeri akibat Aura yang lagi-lagi menolaknya dengan cukup keras kendati status mereka kini adalah sepasang suami-istri.
"Baguslah, aku tidak perlu mengulangi untuk menjelaskan sampai dua kali."
Aura berjalan, melewati tubuh Rayyan begitu saja, sementara pria itu mematung dalam posisinya.
"Ra ..."
Panggilan Rayyan berhasil menghentikan langkah Aura sejenak, dia menunggu apa yang akan pria itu ucapkan.
"Jika kamu mengatakan padaku untuk tidak terlalu berusaha dengan hubungan kita, maka aku juga meminta pada kamu untuk melihat aku sekali saja." Suara Rayyan penuh penekanan, meski ucapannya itu mengandung arti sebuah permohonan, tapi Aura menangkap nada suara Rayyan seolah tengah memberi titah, tegas, bukan memohon dengan lembek agar Aura bisa membuka hati untuk pria tersebut.
"Apa yang kamu harapkan?" Aura lantas menoleh pada Rayyan dengan senyuman sinis. "Sudah ku bilang untuk jangan terlalu berusaha, dan tentu saja jangan banyak berharap juga," tukasnya.
Rayyan menunduk sedetik, tapi kemudian kembali mengangkat kepala dan melemparkan senyum sendu ke arah Aura.
"Kamu ... selalu saja berusaha melupakan sesuatu. Kamu ... juga tidak pernah mencoba mengingat apapun yang berkaitan dengan problem dalam hidup kamu. Kamu lupa, jika masalah dalam hidup itu hadir untuk menempa diri kita, yang sejatinya adalah ujian untuk kita lalui sampai akhirnya kita bisa mengetahui apakah kita layak lulus atau justru tidak sama sekali."
Rayyan ingin Aura tau, bahwa ujian itu untuk dihadapi bukan ditinggalkan pergi, sebab masalah selalu ada dimana-mana dan justru sikap Wanita itu bisa menimbulkan masalah yang baru.
Ucapan Rayyan cukup membuat Aura terhenyak. Dia tau jika pria itu tengah menyinggungnya yang selalu lari dari masalah. Bukan, lebih tepatnya Aura memang selalu berusaha agar tidak mengingat apapun mengenai kejadian pahit yang sudah berlalu. Termasuk malam yang telah dia dan Rayyan lalui tanpa disadari saat itu.
Aura tidak pernah berusaha untuk mengingatnya, padahal jika dia mau-- mungkin itu akan membuatnya menemukan sebuah titik terang. Tapi berbanding terbalik dengan perkataan Rayyan yang memintanya menghadapi ujian hidup, Aura justru selalu menepis bayangan-bayangan yang mampir dan sempat terlintas mengenai hal itu, dia langsung menyibukkan diri bahkan memilih pergi jauh daripada menghadapi segala ujiannya.
Apa sekarang Aura bisa dikatakan lulus? Tidak. Dia nyaris tidak pernah lulus dalam ujian hidup yang menerpanya. Mungkin itu sebabnya dia terus diuji, karena Tuhan mau tau cobaan mana yang akhirnya membuat Aura bertahan. Tapi endingnya, Aura selalu tidak bisa menerima problemnya dan itu membuatnya kehilangan banyak hal yang mungkin penting baginya.
"Kamu gak tau apa-apa tentang hidupku. Jadi, jangan mengomentari aku sebab kamu tidak pernah tau rasa sakit yang pernah aku alami," ujar Aura dengan nada tegas. Sejatinya dia hanya mengelak dari perkataan Rayyan yang benar adanya.
Rayyan mendengkus pelan. Dia tau wanita yang kini dia hadapi adalah salah satu wanita super keras yang hidup di bumi. Tapi, kenyataan itu tetap membuatnya selalu jatuh berkali-kali pada wanita yang sama tanpa mau menggantinya. Ingin rasanya Rayyan mengatakan jika Aura salah menilainya, karena pada kenyataannya, Rayyan sangat tau kesakitan yang diderita oleh Aura.
"Coba sekarang aku tanya. Apa kamu pernah sekali saja mengingat aku, Ra?"
"Ngapain juga aku harus mengingat kamu!" ketus Aura tanpa tedeng aling-aling.
Rayyan pun menggeleng samar. Bagaimana Aura mau mengingatnya, gadis itu selalu menepis bayang-bayang masa lalunya secara sengaja.
"Bukan mengingat aku yang sekarang ada dihadapan kamu, Ra. Tapi aku yang dulu pernah---" Tiba-tiba Rayyan merasa perlu membasahi kerongkongannya yang terasa kering, toh percuma saja dia mengingatkan Aura, wanita itu tak akan pernah mengingatnya lagi.
"Ah, sudahlah."
Rayyan akhirnya lebih memilih pergi dari pada terus bertahan di hadapan Aura yang selalu menepis masa lalu itu. Semua akan sia-sia saja meski mulut Rayyan sudah memberitahu untuk mengingatnya. Aura takkan pernah memedulikannya, karena kekerasan hati yang dibangun oleh wanita itu untuk membentengi diri.
Mau bagaimanapun, yang Aura tau sekarang adalah Rayyan yang telah menodainya, bukan Rayyan yang pernah menyelamatkan Aura dari pelecehan seorang Sandy.
"Bisa-bisanya dia memintaku untuk mengingatnya. Hah, yang benar saja!" Aura pun ikut beranjak dari sana, lebih baik dia masuk ke kamarnya, daripada mendengarkan perkataan Rayyan yang terkesan tidak masuk akal.
...Bersambung ......
Jangan lupa tap love dan berikan dukungan dengan vote and gift🙏🙏🙏❤️❤️❤️❤️