My Lovely MUA

“L-lo ngapain ajak gue kesini ?”

Pandangan Briana mengedar kemana-mana. Ia menggerakkan kacamatanya supaya tidak salah lihat. Tempat yang ingin sekali dia kunjungi disaat dia sedih, terpuruk. Namun, ia urungkan niat itu. Karena, makin membuat Briana ingat kepada Nevan.

“Gue pengen kita cerita-cerita lagi disini.”

“Nggak perlu ada yang diceritain. Kita pulang aja.”

Nevan kemudian melepas seat belt-nya. Melangkah keluar, menikmati udara sejuk yang menyelimutinya sekarang. Briana masih bergeming di dalam kursi penumpang menyaksikan Nevan yang duduk di depan kap mobil.

Nevan sudah melepas jasnya, kemeja putihnya ia linting keatas supaya tidak terlalu formal.

Dia lalu berjalan ke depan. Menuju hamparan rumput hijau yang luas. Dahulu, tempat itu masih terjal, belum sebagus sekarang. Banyak jurang yang mengelilingi tempat itu. Sekarang, tempat itu berubah. Dijadikan untuk bersantai melepas penat para pengunjung. Meskipun begitu, harus tetap berhati-hati karena di sisi pinggirnya ada jurang yang dalam.

Setelah sampai di sebuah tempat duduk, Nevan memandangi sekitar. Ia duduk di bawah pohon yang rindang. Tempat itu dulunya sering ia kunjungi dengan Briana. Duduk di bawah pohon besar itu, dan mengukir impian-impian yang mereka ingin gapai kelak.

“Lo sering kesini ?” tanya Briana tiba-tiba. Ternyata dia mengekori Nevan, sebenarnya Nevanpun tahu. Tapi, diam.

Nevan tersenyum menoleh ke arah Briana. Gadis itu, berdiri tepat di belakangnya. Tangannya bersedekap memandang lurus pemandangan di depannya.

“Sering, kalo lagi kangen sama seseorang.”

Briana membuang mukanya kembali ke arah samping sambil mengerecutkan bibirnya.

“Duduk, atau gue gendong lagi kayak tadi.”

Mau tidak mau Briana duduk di samping Nevan. Tapi, sedikit ke pinggir.

Keduanya pun terdiam tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Sesaat kenangan itu berkobar kembali, membangunkan berjuta-juta perasaan yang masih terkubur dalam di relung hati mereka masing-masing. Briana dengan kekerasan hatinya, lalu Nevan dengan rasa penyesalan yang sudah menumpuk sejak 6 tahun lalu.

“Lo inget kan kita pernah berciuman disini ?”

Briana kemudian tersadar, mendengar perkataan random Nevan. “Ma-maksud lo apa ?!”

“Siapa tahu kita bisa mengulang lagi,” jawab Nevan datar, sedangkan matanya masih menatap lurus ke depan.

“Dan lo tahu kan di depan kita ini ada jurang ?”

Nevan mengangguk. “Tahu.”.

“Lo ngerasa nggak dulu lo lama-lama sengaja dorong gue ke pinggir jurang ? Dorong disini artinya lo sengaja bikin hati gue tersiksa dalam, dan menempatkan gue di tepi jurang.”

“Lo juga nyiksa gue perlahan-lahan, dengan dalih menghukum gue. Padahal, gue udah lakuin apapun demi lo. Tapi, lo nggak pernah lihat itu semua,” tutur Briana. Dia tersenyum getir. Dulu dia seperti orang bodoh menuruti apapun kemauan Nevan. Tapi, Nevan tak pernah peduli ataupun iba kepadanya.

“Maaf,” ucap Nevan lirih.

“Gue bodoh banget dulu, harusnya gue putusin lo cepet-cepet. Tapi, gue terlalu bego. Lo ngendaliin gue, segala yang gue lakuin selalu salah. Setelah gue terbiasa tanpa lo, lo dateng lagi dan mau married tiba-tiba. Hati gue sakit banget, belum sembuh lo udah nabur garam lagi.”

Nevan terasa membeku. Lidahnya juga terasa kelu.

“Sekarang lo minta buat kita kayak dulu lagi ? Ada syaratnya. Dan itu nggak mudah.”

Nevan berkomat-kamit berusaha menerka-nerka syarat apa yang harus dia penuhi. “Gue bakal lakuin apapun asalkan kita bisa kayak dulu lagi, Bri.”

Briana tersenyum miring. “Yakin ?”

“Seratus persen gue yakin, Briana.”

Briana kemudian menatap jurang yang tidak jauh dari tempatnya duduk bersama Nevan. Dia ingat betul dulu, dia berciuman dan berpelukan di sini. Sebelahnya ada jurang yang masih terbuka lebar tanpa penghalang di sekelilingnya. Namun, kini tempat itu sudah berubah. Lengkap dengan penghalang di sekelilingnya.

“Lo mau nggak masuk jurang itu demi gue ?” tanya Briana tenang.

Nevan meneguk salivanya kasar. Briana benar-benar keterlaluan. “Lo gila ?!”

Briana tersenyum miring kembali. “Katanya lo bilang bakal lakuin apapun demi gue ?” wajah Briana sedang dalam mode iblis. Sayang sekali, Nevan pikir Briana adalah gadisnya dulu yang akan mudah menuruti apapun keinginan Nevan. Namun, lihatlah kini. Briana sudah berani menggertak Nevan.

“Bu-bukan gini maksudnya, Bri.”

Briana tersenyum kecil sambil menunduk. “Yaudah, gue nggak mau maafin lo.”

Nevan sudah gugup setengah mati. Masuk ke jurang sedalam itu ? Dia pasti tak akan selamat. Aduh, kemana sifat berani, dingin, tak mudah diperintah dulu pergi ?

Briana lalu beranjak, dan ingin melangkah pergi. “Gue pergi.”

Sudah tiga langkah Briana berjalan pergi, namun Nevan sudah berteriak. “O-oke! Gue bakal masuk ke jurang supaya lo bahagia, Briana!” jawab Nevan lantang.

Briana tersenyum miring kembali. Langkah kaki Nevan sudah menjauh dari tempat duduk tadi. Beberapa orang melihat Nevan makin dekat ke tepi jurang. Matanya mengedip cepat. Dia berdoa dalam hati supaya ada malaikat baik yang menolongnya. Bukan malah mendorongnya ke dalam jurang. Matanya terpejam sedikit.

“Mbak, mbak itu temannya mau bunuh diri mbak! Tolongin.”

Suara orang sudah mulai gaduh. Namun, Briana tetap berjalan melangkah maju tanpa menoleh sedikitpun.

“Tolongin, yuk kasian.”

Beberapa orang pun berlarian dan membujuk Nevan agar tak gegabah dalam bertindak.

“Mas, mas jangan ceroboh mas. Nyebut mas, nyebut.”

Ada yang sibuk memotret, ada juga yang sibuk mencegah hal gila yang akan dilakukan Nevan. “Briana gue loncat beneran kalo lo nggak mau maafin gue!”

Briana benar-benar menulikan telinganya. Biarlah Nevan merasakan apa yang dia pernah alami dulu. Dulu dia hampir mati gara-gara tak digubris oleh Nevan. Sekarang, giliran Nevan yang harus merasakannya.

Beberapa saat kemudian, Briana sudah sampai di tepi jalan raya. Dia sudah tak peduli dicap sebagai wanita pembunuh, atau apapun itu.

Sudah setengah jam berlalu, hatinya mendadak nyeri. Langsung ia tepis perasan tak enak itu, dia sudah berniat untuk pulang. Beberapa menit kemudian, taksi online yang dipesannya sudah tiba. Dia lalu beranjak pergi meninggalkan Nevan di tepi jurang.