Salahkah apabila seorang ayah—walaupun tidak sedarah—mencintai anak yang diasuhnya, dan cinta itu adalah cinta penuh hasrat untuk seorang pria pada kekasihnya.
"Akhiri hubungan kita! setelah itu Daddy bebas bersama Tante Nanda dan Hana juga akan bersama dengan pria lai ..."
Plakkkkkkkkk...! suara tamparan terdengar. Wajah Hana terhempas kesamping dengan rambut yang menutupi pipinya, karena tamparan yang diberikan Adam begitu kuat.
Hana merasa sangat sakit terlebih pipinya yang
sudah ditampar oleh Adam. Serasa panas di pipi itu,
apalagi dihatinya.
"Jangan pernah katakan hal itu lagi, sampai kapanpun kamu tetap milik Daddy, siapa pun tidak berhak memiliki kamu Hana." teriak Adam dengan amarah yang memuncak menatap tajam wanitanya. Ia menarik Hana dalam pelukannya.
"Daddy egois, hiks hiks." Hana menangis sembari memukul dada bidang Adam.
Apakah mereka akan tetap bersatu disaat mereka tak direstui? Bagaimana Adam mempertahankan hubungan mereka?
Nantikan kisah mereka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaylakay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mulainya permasalahan
Pagi hari seperti biasa Adam dan Hana akan sarapan bersama, lebih tepatnya Adam menemani Hana untuk sarapan di balkon kamar Hana. Adam memang sudah selesai sarapan beberapa menit yang lalu.
Hari ini hari Minggu, dan Hana tetap dikurung di dalam rumah besarnya seperti hari-hari sebelumnya, sejak kejadian di mana Hana tidak meminta izin padanya saat mengerjakan tugas diluar sana.
Tiap pulang kuliah dia tidak diperbolehkan kemana-mana. Karena semenjak hari itu, Adam benar-benar menunjukkan sikap posesif nya pada gadis itu.
Hana menghabiskan potongan roti bakar itu lebih dulu, lalu meminum susunya hingga tersisa setengah. Dia melirik Daddy-nya yang duduk tepat di depannya, terlihat fokus dengan layar laptopnya. Hana bergeming, ragu antara ingin bertanya atau tidak.
Namun, karena kuasa ada pada pria itu. Akhirnya Hana menghela nafas dan mencoba untuk berani.
"Dad." Panggilnya.
"Hmm .... ada apa?" Adam masih dengan pandangannya kearah laptop di-atas meja itu Walaupun hari libur, ia masih berkutat di depan laptop itu untuk sekedar mengecek email yang masuk.
Adam mengangkat satu alisnya ke atas. "Ada apa?" tanyanya sambil menghentikan gerakan tangannya di atas layar besar itu. Ia lalu beralih menyesap kopi hitam tepat disampingnya, yang masih mengepul asapnya.
Hana menelan ludahnya terlebih dahulu. Lidahnya seolah kelu untuk diajak bicara. "Daddy, Hana mau nanya sesuatu sama Daddy." Ucapnya sedikit terbata. Bahkan setelah mengatakan itu, dia reflek menggigit bibir bawahnya. Dan Adam melihat itu, dia telisik seluruh bahasa tubuh Hana.
"Mau nanya apa baby? Adam semakin menautkan kedua alisnya, merasa bahwa Hana akan menanyakan sesuatu hal menyangkut dirinya.
"Hana mau nanya, itu bukannya besok Tante Nindi bakalan datang kan?" Dari semalam pikirannya terus saja mengganjal akan hal itu. Walaupun Adam sudah mengatakan bahwa ia tidak akan menikah dengan siapapun selain dirinya, tapi tetap saja nama Nanda itu selalu menghantui pikirannya.
Adam menghembuskan nafasnya berat, menatap Hana. "Bukankah Daddy sudah bilang, kalau kita sedang berdua seperti ini, kamu tidak boleh menyebut atau membahas soal wanita itu." Adam dengan wajah yang sudah terlihat kesal.
Hal itu membuat Hana langsung terdiam dan tidak ingin lebih lanjut lagi menanyakan soal Nanda pada daddy-nya.
"Kemarin Daddy udah bilang kan sama kamu! Kalau kamu akan tetap bersama Daddy apapun yang terjadi.
"Tapi .... Hana hanya takut Dad." sahut Hana dengan wajah yang sudah terlihat sendu.
"Apa yang kamu takutkan, Hmm?" Adam yang melihat wajah Hana yang sudah terlihat sendu itu, ia lalu menarik Hana ke atas pangkuannya. Hingga membuat kedua keduanya saling menatap lebih dekat.
"Aku cuman khawatir aja kalau nantinya, Daddy akan berubah pikiran setelah ketemu sama Tante Nindi." sahut Hana menatap wajah tampan daddy-nya.
"Astaga, untuk apa Daddy berubah pikiran jika didepan Daddy sudah ada yang lebih dari segalanya untuk Daddy." sahut Adam jujur.
Ya memang benar jika Hana adalah segalanya bagi hidupnya, menurutnya Hana mempunyai keunikan tersendiri dan membuat banyak pria begitu tertarik dengannya dan salah satunya dirinya sendiri.
Mempunyai wajah yang cantik dan tidak bosan dilihat, itu juga salah satu poin yang membuat Adam tidak bisa berpaling dari Hana.
"Tapi kan bisa saja kan?" Hana meruncingkan bibirnya ke-depan.
"Cih ..... kamu terlalu berpikir yang tidak tidak tentang Daddy." Adam mengelus pipi Hana dengan senyum.
"Apa Daddy benar benar mencintai Hana?" Tanya Hana tiba tiba, menatap daddy-nya penuh harap.
"Kamu masih meragukan cinta Daddy terhadap kamu?" Adam menatap Hana.
"Aku bukan meragukan Dad, tapi Hana hanya ingin memastikan lagi." ucap Hana.
"Daddy benar benar mencintai kamu, sayang." sahut Adam dengan tulus.
"Kalau seandainya, Daddy dihadapkan dengan dua pilihan memilih Hana atau orang tua Daddy! Siapa yang akan Daddy pilih?" tanya Hana masih dengan posisinya yang dipangku Adam.
Spontan Adam mengehentikan pergerakan tangannya dikedua pipi Hana, ia menatap Hana dengan begitu intens, dan tatapan yang sudah mulai dingin.
Jika menyuruh ia memilih papi atau Hana? sudah pasti ia akan memilih Hana tanpa pikir panjang, tetapi Hana menyebutkan orang tua dan itu otomatis maminya juga menjadi pilihan didalam hal itu.
Hana sebenarnya tidak berani menanyakan hal itu, tetapi entah mengapa mulutnya ingin sekali menanyakan hal itu. Ia tahu Adam begitu sangat menyayangi kedua orangtuanya, terutama mami Ana. Dan Hana sudah egois menanyakan hal itu pada Adam.
"Tidak akan ada pilihan seperti itu yang terjadi. Daddy tidak akan memilih salah satu dari kalian, karena kalian semua berarti dalam hidup Daddy." ucapnya tegas,
Ia tidak suka mendengar Hana yang menanyakan hal seperti itu, karena bagaimanapun orangtuanya sudah sangat berarti bagi nya sedari ia kecil hingga besar dan menjadi Adam yang seperti sekarang ini. Dan Hana juga berarti dalam hidupnya.
Adam lalu menurunkan Hana dari pangkuannya, ia lalu meraih laptopnya di-atas meja itu, kemudian melangkah pergi dari balkon itu meninggalkan Hana. Tanpa mengucapkan lagi sepatah kata pun. Ia bukan berhenti di kamar Hana, melainkan keluar dari kamar gadis itu.
Hana menatap kepergian daddy-nya dengan tatapan sendu di atas sofa balkon itu. "Apa hana egois menanyakan hal itu?" tanya Hana pada dirinya.
"Hana tahu, kalau Hana bukan siapa siapa dalam keluarga Mateo. Hana hanya seorang anak angkatnya Daddy, tapi Hana hanya pengen tahu aja seberapa pentingnya Hana di dalam hidup Daddy." ucapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Ya, mungkin Hana salah dan egois menanyakan hal seperti itu sama Daddy." ucap Hana sambil tersenyum lirih, ia menghembuskan nafasnya perlahan dengan menahan segumpal air mata yang berada di kedua bola matanya itu. Agar tidak terjatuh membasahi pipinya.
Ia lalu membereskan nampan di-atas meja itu, dan melangkah Keluar menuju dapur.
Sementara Adam sudah berada di dalam ruangan kerjanya untuk menenangkan pikirannya yang kalut, karena pertanyaan Hana tadi membuat mood pria matang itu menjadi kacau.
"Kenapa harus menanyakan hal itu? Sudah pasti Daddy tidak akan mau memilih salah satu diantara kalian. Kalian semua sama pentingnya dalam hidup Daddy." ucapnya dengan nada berat sambil meremas rambutnya dengan kasar.
"Kemarin kita udah sepakat untuk tidak membahas hal itu lagi, dan hari ini kamu malah memberikan pertanyaan gila yang tidak akan pernah Daddy jawab." Gumamnya gusar dengan wajah kacaunya.
Brak
"Ha .... Hana! kamu emang benar benar buat Daddy jadi frustasi kayak gini." Adam mengebrak kuat meja kerjanya sambil mengembuskan napasnya kasar.
Adam tidak ingin melampiaskan emosinya pada gadis itu, itu sebabnya ia memilih meninggalkan Hana di kamar tadi tanpa mengatakan apapun. Ia tidak ingin karena emosinya, membuat ia menyakiti wanita yang dicintainya itu.
Saat Adam terhanyut dalam pikirannya, tiba tiba bunyi telepon di-atas meja menyadarkan pria itu dari lamunannya. Adam menatap cukup lama benda itu tapi tak kunjung juga tangannya meraih benda pipi tersebut.
Hingga panggilan ke tiga kalinya, membuat ia dengan gerakan malas meraih hpnya. Terpampang nama kontak bernama papi dilayar persegi itu. "Halo pi, ada apa?" ucapnya dengan nada tidak semangat.
"Ada apa dengan suara kamu? kenapa kayak orang lagi banyak masalah?" ucap kakek Barack dengan curiga,.karena mendengar suara Adam yang tidak biasanya.
"Nggak apa-apa Pi, Adam cuman banyak pekerjaan aja di kantor. Makanya Adam sedikit lelah." ucapnya berbohong.
"Jangan terlalu banyak pikiran karena pekerjaan, sekali kali kamu harus refreshing untuk menenangkan pikiran kamu." usul kakek Barack tanpa tahu masalah anaknya.
"Iyah pi." sahut Adam sambil menekan pelipisnya.
"Oh iyah, mami pengen kamu datang ke rumah papi pagi ini." kakek Barack memberitahukan maksud dari beliau menelpon anaknya itu.
"Baiklah, Adam akan ke sana sebentar lagi." ucapnya. Mungkin lebih baik dirinya menenangkan sebentar pikirannya dengan bertemu maminya, pikirnya.