Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 20 : Bab Baru di Bawah Mentari
Mentari pagi menyapa Semarang dengan lembut, sinarnya menyelinap melalui celah-celah jendela kamar kecil di sebuah vila sederhana di daerah Ungaran, tempat Aira dan Raka menghabiskan malam pertama mereka sebagai suami istri.
Vila itu dikelilingi oleh pemandangan bukit hijau dan udara segar pegunungan, menjadi pilihan sempurna untuk bulan madu singkat mereka sebelum kembali ke rutinitas.
Aira terbangun lebih dulu, matanya perlahan terbuka saat sinar matahari menyentuh wajahnya. Dia tersenyum kecil, merasakan kehangatan tubuh Raka yang masih tidur di sampingnya, tangannya melingkari pinggangnya dengan lembut.Aira menoleh, memandang wajah Raka yang tampak damai dalam tidurnya.
Pria itu terlihat lelah setelah acara pernikahan kemarin, tapi ada senyum kecil yang tersisa di bibirnya, seolah dia sedang bermimpi indah. Aira mengelus pipi Raka dengan lembut, merasa ada kebahagiaan yang meluap di hatinya.
“Aku sayang kamu, suamiku,” bisiknya, lalu mencium kening Raka dengan penuh kasih.
Raka menggeliat, matanya perlahan terbuka saat merasakan sentuhan Aira. Dia tersenyum, tangannya menarik Aira lebih dekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.
“Pagi, istriku,” katanya, suaranya serak tapi penuh kelembutan.
“Aku… aku bahagia banget bangun sama kamu kayak gini.” Aira tersenyum, wajahnya memerah.
“Pagi, Raka. Aku juga bahagia banget. Aku… aku masih enggak percaya kita udah jadi suami istri,” katanya, suaranya lembut.
Mereka berpelukan dalam diam untuk beberapa saat, menikmati kehangatan satu sama lain dan suara burung yang berkicau di luar.
Setelah beberapa menit, mereka bangkit dari tempat tidur, bersiap untuk memulai hari pertama mereka sebagai pasangan suami istri.
Aira mengenakan kemeja oversized putih milik Raka dan celana pendek, rambutnya dibiarkan tergerai, sementara Raka mengenakan kaus sederhana dan celana jogger, tampak santai tapi tetap memukau di mata Aira.
Mereka duduk di teras vila, menikmati sarapan sederhana yang sudah disiapkan oleh pengelola, nasi goreng kampung dengan telur mata sapi, tempe goreng, dan secangkir teh hangat.
Pemandangan bukit hijau di depan mereka terasa menenangkan, dan udara segar pegunungan membuat suasana semakin sempurna.
Aira menyesap tehnya, lalu menatap Raka dengan mata penuh cinta.
“Raka… aku ngerasa hidupku lengkap banget sekarang. Aku… aku pengen kita nikmatin setiap momen bareng, kayak gini,” katanya, suaranya lembut.
Raka tersenyum, tangannya meraih tangan Aira.
“Aku juga, Aira. Aku… aku pengen kita bikin kenangan baru setiap hari, kenangan yang bakal kita ceritain ke anak-anak kita nanti,” katanya, nadanya penuh harapan.
Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar vila, menikmati pemandangan alam dan udara segar.
Mereka berjalan bergandengan tangan, sesekali berhenti untuk mengambil foto dengan kamera Raka.
Aira tertawa kecil saat Raka menggodanya dengan pose-pose lucu, dan Raka tidak bisa berhenti memuji kecantikan Aira di bawah sinar matahari pagi.
“Kamu cantik banget, Aira. Aku… aku enggak pernah bosen bilang ini,” katanya, tersenyum sambil mengambil foto Aira dengan latar bunga-bunga liar.
Aira memerah, memukul lengan Raka pelan.
“Udah, Raka, jangan motret aku mulu, dong. Motret pemandangannya juga,” protesnya sambil tertawa.
Raka tertawa, lalu menurunkan kameranya.
“Tapi kamu lebih cantik dari pemandangan, istriku. Aku… aku pengen abadikan setiap momen sama kamu,” katanya, nadanya penuh kasih.
Mereka melanjutkan perjalanan, berhenti di sebuah bukit kecil yang menghadap ke lembah hijau.
Aira duduk di atas rumput, menarik Raka untuk duduk di sampingnya. Mereka menatap pemandangan dengan damai, angin sejuk menerpa wajah mereka.
“Raka… aku pikir aku mau mulai nulis novel baru pas kita balik ke Semarang. Aku… aku pengen ceritain kisah kita, tentang hujan, dermaga, sama perjalanan kita sampe ke sini. Aku pengen orang tahu bahwa cinta itu bisa sekuat ini,” kata Aira, matanya berbinar penuh semangat.
Raka tersenyum, memeluk pundak Aira.
“Itu ide yang bagus banget, Aira. Aku yakin novel itu bakal nyentuh hati banyak orang, sama seperti kamu nyentuh hati aku. Aku… aku juga mau bantu bikin cover-nya, ya. Aku pengen kita bikin karya bareng lagi,” katanya, nadanya penuh antusias.
Aira mengangguk, tersenyum lebar.
“Mau banget, Raka. Aku… aku suka banget kerja bareng kamu. Aku ngerasa kita saling melengkapi, aku nulis ceritanya, kamu bikin visualnya. Kita… kita bener-bener tim yang sempurna,” katanya, suaranya penuh kebahagiaan.
Sore itu, mereka kembali ke vila untuk beristirahat sejenak sebelum makan malam. Raka memasak makan malam sederhana untuk mereka, ayam bakar dengan sambal terasi dan lalapan segar yang mereka beli dari pasar kecil di dekat vila.
Aira membantu memotong sayuran, sesekali tertawa saat Raka menggodanya karena teknik memotongnya yang masih kaku.
“Aira, kamu harus sering-sering masak bareng aku, biar aku ajarin. Aku pengen kita masak bareng tiap hari,” kata Raka, tersenyum sambil membalik ayam di atas panggangan kecil.
Aira tersenyum, wajahnya memerah.
“Aku mau, Raka. Aku… aku pengen kita punya kehidupan yang sederhana tapi penuh cinta, masak bareng, kerja bareng, dan… mungkin suatu hari nanti, punya anak yang bisa kita ajak main di taman,” katanya, suaranya lembut tapi penuh mimpi.
Raka menatap Aira, matanya penuh kasih.
“Aku juga pengen itu, Aira. Aku pengen kita punya keluarga kecil yang bahagia. Aku… aku bakal usaha buat jadi suami yang baik buat kamu, dan ayah yang baik buat anak-anak kita nanti,” katanya, nadanya penuh janji.
Mereka makan malam di teras vila, menikmati ayam bakar buatan Raka yang ternyata sangat lezat.
Aira tidak bisa berhenti memuji keahlian masak Raka, dan Raka tersenyum bangga, merasa bahagia bisa membuat istrinya tersenyum.
Setelah makan, mereka duduk di ayunan kecil di teras, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Aira bersandar di dada Raka, mendengarkan detak jantung pria itu yang terasa menenangkan.
“Raka… aku ngerasa hidupku berubah banget sejak ketemu kamu,” kata Aira, suaranya lembut.
“Dulu aku takut gagal, takut kehilangan pembacaku, takut enggak bisa jadi penulis yang baik. Tapi kamu… kamu bikin aku percaya sama diri aku sendiri. Kamu bikin aku berani ngejar mimpi aku.” Raka tersenyum, mencium puncak kepala Aira.
“Aira, kamu juga ubah hidup aku. Dulu aku cuma orang yang takut buka hati, takut gagal, takut enggak bisa jadi apa-apa. Tapi kamu… kamu bikin aku berani buka hati lagi, bikin aku percaya sama cinta, sama mimpi. Aku… aku bersyukur banget punya kamu,” katanya, suaranya penuh rasa syukur.
Mereka duduk dalam diam yang nyaman, menikmati kebersamaan mereka di bawah langit malam.
Aira memandang gelang di pergelangannya—gelang yang Raka berikan dulu, dan tersenyum kecil.
“Raka… semua dimulai dari hujan, dari dermaga, dan sekarang kita di sini. Aku… aku pengen kita terus bikin kenangan indah bareng,” katanya, suaranya lembut.
Raka mengangguk, memeluk Aira lebih erat.
“Aku janji, Aira. Kita bakal bikin kenangan indah setiap hari, kenangan yang bakal kita ceritain ke anak-anak kita, ke cucu kita nanti. Aku sayang kamu, selamanya,” katanya, nadanya penuh cinta.
Malam itu, mereka tidur dalam pelukan satu sama lain, merasa bahwa bab baru dalam hidup mereka baru saja dimulai.
Di bawah mentari yang akan menyapa mereka esok pagi, Aira dan Raka tahu bahwa mereka punya satu sama lain, dan itu lebih dari cukup untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉