Seri kedua Kau Curi Suamiku, Kucuri Suamimu. (Hans-Niken)
(Cerita Dewa & Fitri)
Masih ada secuil tentang Hans-Niken, ya? Juga Ratu anak kedua Hans.
Pernikahan yang tak diharapkan itu terjadi, karena sebuah kecelakaan kecil yang membuat warga di kampung Fitri salah mengartikan. Hingga membuat Fitri dan Dewa dipaksa menikah karena dituduh melakukan tindak asusila di sebuah pekarangan dekat rumah Fitri.
Fitri berusaha mati-matian supaya Dewa, suaminya bisa mencintainya. Namun sayangnya cinta Dewa sudah habis untuk Niken, yang tak lain istri dari Papanya. Dewa mengalah untuk kebahagiaan Papanya dan adik-adiknya, tapi bukan berarti dia berhenti mencintai Niken. Bagi Dewa, cinta tak harus memiliki, dan dia siap mencintai Niken sampai mati.
Sayangnya Fitri terus berusaha membuat Dewa jatuh cintai padanya, meski Dewa acuh, Fitri tidak peduli.
"Aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku, Tuan!"
"Silakan saja! Cinta tidak bisa dipaksakan, Nona! Camkan itu!"
Apakah Fitri bisa menaklukkan hati Dewa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21 - Perkara Warna Lipstik
Indra penciuman Fitri disambut dengan aroma harum masakan pagi ini. Baru saja keluar dari kamarnya pagi ini, Fitri sudah mencium bau harum dari masakan.
“Siapa yang masak sepagi ini?” batin Fitri.
Lalu dengan pelan dia berjalan ke arah dapur dan melihat di ruang makan Dewa sedang menata sarapan pagi. Fitri mengucek matanya lagi, takut dia salah lihat. Dewa atau bukan.
“Iya benar itu Dewa. Pagi-pagi gini dia sudah masak? Aku gak salah lihat?” batin Fitri.
Fitri mencoba mendekati Dewa yang sedang menata sarapan di meja makan. Tapi, mata Fitri lebih fokus ke dua kotak bekal yang ada di atas meja makan, yang sudah terisi oleh makanan.
“Sarapan dulu, Fit. Aku juga sudah siapkan bekal buat kamu bawa,” ucap Dewa tanpa menoleh Fitri, tapi Dewa sudah tahu kalau ada Fitri, karena dia melirik sedikit ke arah Fitri.
“Ah i—iya, Mas,” jawab Fitri gugup.
“Ya sudah aku mandi dulu,” ucap Dewa lalu berlalu pergi.
Fitri duduk di meja makan dengan melongo menatap menu sarapan pagi ini. Tidak percaya Dewa menyiapkan makanan sepagi ini. Biasanya hanya nasi goreng saja. Kali ini Dewa memasak tumis tauge tahu, dan ayam goreng. Memang di kulkas selalu ada bahan masakan, jadi tinggal masak saja. Dan yang tidak Fitri sangka Dewa bisa masak seperti itu.
“Rasanya juga enak, kok dia bisa masak sih?” batin Fitri.
Fitri terus membatin, dia bingung, dari mana suaminya belajar memasak, kok bisa masak seenak ini.
Sudah cukup lama Fitri menunggu Dewa kembali ke ruang makan, akhirnya Dewa muncul dengan penampilan yang sudah rapi dan siap untuk ke kantor.
“Fit, aku berangkat langsung, ya? Ini bekal kamu, aku sarapan di kantor saja,” pamit Dewa sambil memasukan kotak bekal ke dalam tas kotak bekalnya.
“Loh kok gak sarapan di rumah saja, Mas? Kenapa?” tanya Fitri.
“Aku ada meeting pagi ini. Gak apa-apa kan kalau kamu sarapan sendiri?” jawab Dewa.
“Yah kok gitu?”
“Lha maunya gimana, Fit?”
“Aku kira mau sarapan bareng, makanya aku tungguin dan aku ambilkan nasi juga?” jawab Fitri.
“Ya sudah aku sarapan di rumah. Aku temani kamu makan. Gak apa-apa meeting aku undur satu jam. Yuk makan.”
“Oke.”
Sebetulnya hari ini Dewa free sampai siang, tidak ada urusan yang penting, dan tidak ada meeting. Dewa berkata seperti itu karena dia tidak mau merusak mood Fitri pagi-pagi, yang Dewa kira tidak mau sarapan bareng dengannya. Jadi Dewa memilih pamit ke kantor langsung saja, dan membawa sarapannya ke kantor. Ternyata malah Fitri menyuruh dirinya untuk sarapan bareng.
“Kamu berangkat sama Tama?” tanya Dewa.
“Pakai ojol, katanya Tama hari ini ada urusan, jadi tidak bisa menjemput,” jawab Fitri.
“Ya sudah kalau kamu mau, sama aku saja berangkatnya, kan searah?” ucap Dewa.
“Kamu katanya ada meeting? Aku berangkat agak siangan dikit lho? Belum mandi dan siap-siap pula?” ucap Fitri.
“Ya tidak apa-apa. Aku tungguin, daripada kamu naik ojol? Sudah panas, lihat saja jam segini saja matahari sudah cetar begitu? Aku tungguin, kan aku mundur satu jam meetingnya. Gak apa-apa, toh meeting sama karyawan kantor, bukan klien yang sangat penting, yang tidak bisa diganggu gugat waktunya,” jelas Dewa.
“Ya sudah kalau begitu, habis sarapan aku siap-siap.”
“Hmm ... aku tunggu.”
Fitri dan Dewa melanjutkan sarapannya. Fitri sebetulnya berbunga-bunga sekali hatinya, karena diperlakukan Dewa begini. Sepagi ini pula? Tidak disangka Dewa bisa selembut itu sikapnya pagi ini. Dan yang lebih mengherankan semalam Dewa tidak marah sama sekali, Tama sampai jam sepuluh lebih di rumah. Biasanya Dewa marah-marah, dan dibahas sampai pagi.
^^^
Fitri memoles wajahnya dengan make up tipis-tipis seperti biasanya. Dia sudah siap dengan baju seragamnya. Fitri keluar dari kamarnya setelah dirasa dandanannya sudah pas.
“Maaf ya mas lama nunggunya?” ucap Fitri.
“Gak apa-apa. Kamu sudah siap?”
“Sudah, yuk?” jawabnya sambil membetulkan sepatu kets nya.
“Sebentar, Fit.” Ucap Dewa sambil memegangi kedua bahu Fitri dan menatap wajah Fitri yang hari ini tampak cerah, dan menurut Dewa lipstik yang Fitri gunakan terlalu mencolok sekali.
“Kenapa, Mas? Kok natapnya begitu?” tanya Fitri bingung yang ditatap oleh Dewa begitu.
“Ini kamu mau kerja, kerjamu di restoran, dan kamu bukan pramusaji. Tapi kamu kok menor gini dandannya?” ucap Dewa yang terus mengamati wajah Ayu Fitri, yang baru ia sadari kalau Fitri sangat manis dan cantik.
“Menor bagaimana, Mas?” tanya Fitri.
“Perona bibirmu terlalu mencolok, Sayang?” Ucap Dewa yang dengan reflek memajukan wajahnya dan melumat bibir manis Fitri.
Fitri membulatkan matanya dan mencoba mendorong tubuh Dewa, tapi dia tidak bisa kala merasakan lumatan Dewa yang lembut di bibirnya. Hingga Fitri perlahan memejamkan matanya karena menikmati lembutnya kecupan Dewa saat ini.
Dewa tidak ingin Fitri terlihat merona sekali bibirnya. Padahal Fitri tidak mengenakan lip cream yang merah mencolok. Dia menggunakan yang warnanya sedikit pink kecoklatan, dan tidak terlalu mencolok sekali.
“Mas ....” lenguh Fitri dengan melepaskan pagutan Dewa, karena dia sudah kehabisan stok oksigen.
“Maaf, bibirmu menggoda, dan aku ingin menghilangkan warna pemerah bibirmu, tapi kenapa masih ada?” ucap Dewa terengah, dan merasa heran, karena pewarna bibir Fitri masih belum luntur, padahal cukup lama dia melumat bibir Fitri, sampai sekujur tubuhnya merinding menginginkan hal lebih dari sekedar ciuman.
“Kan memang pewarna bibirku ini waterproof, Mas? Kalau Cuma terkena air gak ilang, kecuali makan yang sedikit berminyak,” jelas Fitri.
“Terus gimana? Aku gak mau kamu kelihatan mencolok sekali warna bibirmu,” ucap Dewa. “Bisa hapus saja?” pinta Dewa dengan menatap mata Fitri.
Seperti tersihir oleh tatapan Dewa. Fitri langsung menganggukkan kepalanya saat Dewa meminta Fitri mengganti pewarna bibirnya supaya tidak terlihat terlalu mencolok.
Dengan cepat Fitri menarik tangan Dewa supaya ikut ke kamarnya, memilih pewarna bibir yang menurut Dewa cocok dan tidak terlalu mencolok untuk Fitri.
“Mana, pilihkan salah satu yang cocok!” Ucap Fitri dengan memberikan kotak khusus untuk menaruh pewarna bibirnya.
“I—ini kamu punya pewarna bibir sebanyak ini, Fit? Untuk apa?” tanya Dewa bingung, yang melihat satu box pewarna bibir Fitri dengan berbagai macam warna, tapi menurut Dewa dilihat dari tampilan warnanya itu, satu warna yang hampir sama.
“Iya, ini ya untuk pewarna bibir biar gak pucat, macam orang yang gak pernah diajak piknik!” jawab Fitri.
“Tapi ini warnanya sama semua, Fit?” Ucap Dewa sambil melihat-lihat koleksi warna bibir Fitri.
“Sama bagaimana? Ini beda semua warnanya, lihat nomornya saja beda-beda, Mas. Merk juga beda-beda. Dari yang biasa sampai ada yang harganya luar biasa!” ucap Fitri.
“Mana ada ini beda? Ini sama semua, Fitri?”
“Beda, Mas! Mas buta warna, ya? Sini nih aku perlihatkan. Nih yang shade 205 beda sama shade 213 merk ini, meski warna hampir sama! Lihat sini, tuh kan beda? Ini agak pink, kelihatan pink nya. Tapi yang ini kelihatan sedikit merah! Beda, kan?” jelas Fitri.
“I—iya sih beda. Ambil yang warnanya agak kecokelatan dikit, yang sesuai dengan bibir saja. Warna apa itulah, warna bibir pokoknya!” ucap Dewa.
“Yang ini? Atau ini? Ini peach, jadi ada oren-orennya gitu, kalau ini nude, ya warna bibir biasa, tapi kelihatan pucat pakai ini, harusnya diombre dengan ini,” jelas Fitri lagi. “Tuh begitu hasilnya?” Lanjutnya sambil mengoleskan sedikit di pergelangan tangannya.
“Sama itu Fit warnanya?” ucap Dewa yang ngeyel kalau semua lipstik Fitri warnanya sama. Padahal jelas beda sekali.
“Beda, Mas Dewa .... ih mas ih gak percaya. Nih ya aku hapus nih yang dibibir aku, terus aku pakai ini saja deh, biar kalem.” Fitri mengambil micellar water untuk menghapus lipstik di bibirnya.
“Sudah nih, bagaimana, Mas Dewa?” ucap Fitri sambil memonyongkan bibirnya sanking kesalnya pada Dewa.
Perkara lipstik saja sampai harus begitu. Apalagi Dewa sampai cium-cium segala, yang bikin bulu roma Fitri berdiri, dan ingin yang lebih. Meski ia gengsi dengan Dewa.
“Nah ini baru cocok, Fit? Kalau yang tadi itu cocoknya buat dinas malam sama suami,” ucap Dewa dengan berbisik di telinga Fitri.
“Apaan sih, Mas! Gak lucu! Ayo berangkat, kamu kesiangan tuh? Jangan mentang-mentang kamu bos jadi seenaknya mengulur waktu untuk meeting!” ucap Fitri.
“Ya sudah ayok!”
Dewa mengemudikan mobilnya menuju Restoran Fitri lebih dulu. Mereka saling diam menyelami pikirannya masing-masing. Memikirkan kejadian tadi saat tadi mereka berciuman.
Gak sabar lihat respon papa dewa dan mama niken 😂
1 nya berusaha mencintai 1 nya lagi mlh berusaha meminta restu 🤣🤣🤣
kann tau to rasane coba aja klo bener2 di diemin ma fitri apa g kebakaran jengot