NovelToon NovelToon
Raja Arlan

Raja Arlan

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Dunia Lain / Fantasi Isekai
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: BigMan

Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.

Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.

Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.

Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.

Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 6 - Calon Raja atau Pasien Abadi?

Pagi itu, sinar matahari belum sempat menghangatkan ubin-ubin marmer istana, dan aku sudah didudukkan di halaman belakang, tanpa sarapan, hanya ditemani tatapan serius dua wanita berbahaya... Lyra dan Seraphine.

“Kami sepakat,” kata Lyra, menyilangkan tangan di depan dada.

“Tubuhmu... lemah banget,” tambah Seraphine tanpa filter.

Aku mengerjap. “Itu komentar atau hasil diagnosa?”

Lyra menunjuk satu papan kayu besar berisi jadwal latihan: lari keliling istana, push-up, plank, lalu diakhiri dengan sihir pernapasan yang katanya bisa menyelaraskan tubuh dan mana.

“Ini... penyiksaan,” gumamku pelan.

“Tuan Muda ingin jadi kuat, kan?” Lyra mengangkat alis. “Kekuatan sihir butuh wadah. Kalau tubuh tuan nggak sanggup menampung mana besar, tuan akan pingsan lagi... atau meledak.”

“Pilihan yang sangat... menyemangati.”

“Kalau berhasil, kau bisa pakai sihir sambil terbang, sambil bertarung, sambil... mandi,” tambah Seraphine.

“…Kenapa konteks akhirnya selalu menjurus aneh?”

10 Menit Kemudian

Aku tergeletak di tanah seperti kain lap bekas dipakai ngepel ruang tahta.

“...Mati. Aku mati,” bisikku.

“Belum, Tuan Arlan,” kata Lyra sambil menyiramiku dengan air dingin.

Seraphine mencatat hasil uji coba di sebuah buku tebal. “Catatan: Daya tahan fisik... 10 menit. Daya tahan mental... 2 menit.”

Aku terbatuk. “Mental siapa yang kuat waktu tahu push-up-nya dikutuk pakai gravitasi tiga kali lipat!?”

Lyra menatapku datar. “Anda belum selesai. Istirahat dua menit. Kita ulangi.”

Ulangan Kedua

Setelah dua putaran lari, dan satu sesi plank di atas rumput berduri sihir (ya, benar—rumputnya berduri), aku kembali jatuh. Kali ini, tubuhku gemetar. Lalu... pingsan.

Tiga jam kemudian, aku bangun. Di tempat tidur. Lagi.

“Sudah dua kali pingsan hari ini,” kata Lyra dengan nada pelan, seolah berbicara pada pasien gawat darurat.

Seraphine duduk di tepi tempat tidur sambil mengipasi wajahku. “Latihan fisik memang penting... tapi ini terlalu cepat.”

Aku hanya bisa menggerakkan bibirku. “Orang bodoh mana yang tahu tubuhnya lemah tapi malah disuruh latihan fisik...”

“Eh, kita?” kata Seraphine polos.

“...Aku juga bodoh, ya,” bisikku.

Lyra menyentuh dahiku. “Demam ringan. Anda kelelahan.”

“Terima kasih atas update-nya... Dr. Penyiksa.”

Seraphine tersenyum. “Setidaknya, tubuhmu mulai beradaptasi. Besok, kita kurangi sedikit bebannya.”

Aku mendesah. “Kurangi jadi... 9 menit, gitu?”

“Enggak. Kita tambah meditasi sambil menahan batu sihir di kepala.”

“...Kalian nyata-nyata pengen aku mati, ya?”

...----------------...

Setelah sesi latihan yang hampir merenggut jiwaku (lagi), Lyra mengantarku kembali ke kamar. Kakiku menyeret langkah seperti zombie yang baru saja ikut lomba lari maraton.

“Besok... latihan fisik dibatalkan aja, ya,” gumamku.

“Kita lihat nanti,” jawab Lyra kalem tapi sadis. Nada suaranya kayak malaikat—tapi dari neraka.

Lorong menuju kamarku panjang dan sunyi, hanya diterangi cahaya lembut dari kristal sihir di dinding. Tapi saat kami melewati satu ruangan besar dengan pintu sedikit terbuka, langkah Lyra melambat.

“Ada apa?” tanyaku, napas masih ngos-ngosan.

“Ruangan dewan tinggi. Biasanya digunakan untuk rapat penting.”

Dari balik pintu, suara Ayahku terdengar—keras, tegas, dan membawa tekanan.

“...Kerajaan kecil di wilayah timur kembali mengirim laporan yang mencurigakan. Mereka menumpuk pasukan, menyusun aliansi. Sudah ada sinyal bahwa mereka... akan mencoba memberontak.”

Aku spontan berhenti.

“Pemberontakan?” gumamku pelan.

Suara lain menyahut—laki-laki tua, kemungkinan penasihat kerajaan. “Kami menduga mereka ingin menguji kekuatan istana baru... dan penguasa mudanya.”

Telingaku panas.

“...Mereka bicara soal aku?”

Ayahku kembali bicara, nadanya berat. “Arlan belum siap. Dan mereka tahu itu. Itu sebabnya mereka bergerak sekarang, sebelum dia benar-benar mengambil alih.”

Aku menatap lantai. Seolah lantainya menyimpan jawabannya. Tapi yang aku rasakan cuma rasa pegal dari push-up tadi.

“...Mereka anggap aku lemah.”

Lyra berdiri diam di sampingku. Matanya menatap lurus ke depan. Tenang, tapi tajam.

“Aku tidak suka cara mereka bicara tentang Tuan Arlan,” katanya datar.

Aku menghela napas. “...Tapi mereka ada benarnya, kan? Aku bahkan nggak kuat lari sepuluh menit.”

“Kau belum kuat. Tapi kau tidak lemah,” jawabnya cepat.

Aku menoleh, kaget dengan ketegasannya. Tapi sebelum sempat aku menimpali, suara dari dalam ruangan kembali menarik perhatian.

“Jika mereka bergerak, kita harus mengirim sinyal. Perlu satu aksi yang menunjukkan kekuatan. Sebuah unjuk gigi—bukan sekadar peringatan.”

“Unjuk gigi?” ulangku. “Maksudnya... perang kecil-kecilan?”

Lyra memalingkan pandangannya ke arahku. “Tuan Arlan. Dunia ini kejam. Dan kekuatan... terkadang bukan soal sihir atau otot, tapi keputusan.”

Aku diam.

Lalu berpikir.

Kalau dunia ini mulai bergerak... aku nggak bisa terus jadi pasien abadi dengan status ‘calon MC’. Aku harus cepat belajar. Bukan cuma sihir dan fisik—tapi juga... bagaimana jadi seorang raja.

Tapi sebelum aku bisa tenggelam dalam perenungan yang filosofis dan dalam...

Perutku bunyi.

Keras.

Lyra langsung memalingkan wajah sambil tertawa kecil. “Ah. Mungkin kita mulai dari makan malam dulu, ya?”

Aku tertunduk lemas.

“Sebelum melawan kerajaan pemberontak... aku harus melawan lambung kosongku dulu.”

Malam Hari

Aku terdiam di ranjangku, menatap langit-langit yang diam saja seperti tidak peduli.

Tapi pikiranku berisik. Terlalu berisik.

Suara-suara di Ruang Dewan Tinggi tadi—pembicaraan Ayah, isu pemberontakan, kerajaan-kerajaan kecil yang mulai menggeliat—semuanya berputar-putar di kepala. Aku... cuma bocah kurus yang tak bisa tahan latihan fisik sepuluh menit tanpa pingsan. Apa gunanya aku di dunia ini?

Lalu, sebuah pikiran melintas.

Tubuhku lemah karena mana yang besar... Itu sudah kutahu. Tapi, kenapa sihir tidak bisa memperbaikinya?

Aku bangkit perlahan, meski sendi terasa seperti karamel tua—lentur tapi sakit. Dalam keheningan, aku menatap tanganku sendiri.

Tubuh ini adalah wadah. Mana adalah isi.

Tapi wadah bisa diperkuat, kan?

Kalau aku bisa memahami cara tubuh bekerja... jaringan, otot, sirkulasi... dan menggabungkan pemahaman itu dengan sihir... mungkinkah aku bisa memperkuat tubuhku dari dalam?

Rekonstruksi jaringan otot? Optimalisasi aliran darah? Atau bahkan penguatan sel melalui stimulasi mana?

Mata dan pikiranku terbuka lebih lebar. Ini bukan sekadar latihan sihir. Ini eksperimen personal.

Aku harus tahu lebih banyak... Tentang tubuh manusia.

Dan hanya ada satu tempat yang bisa memberiku informasi itu.

Perpustakaan Kerajaan

Aku mendorong selimut dan berdiri. Kaki gemetar. Jalan pun goyah. Tapi aku tetap keluar dari kamar.

Lorong istana malam hari sunyi... hanya cahaya lilin di dinding yang menyambutku. Jarak ke perpustakaan tak jauh, Lyra pernah menunjukkannya... saat aku tanya lokasi toilet cadangan (long story).

Meski nyaris merangkak, aku sampai.

Pintu perpustakaan besar terbuat dari kayu tua, dan untungnya... tak dikunci.

KREEEAAAK...

Bunyi pintu seperti efek suara horor murahan, tapi kupaksa tetap masuk.

Rak demi rak berjejer rapi, penuh debu dan aroma tua yang anehnya menenangkan. Aku menyalakan bola cahaya kecil dengan sisa mana yang kupunya—pencapaian yang bikin aku bangga, walau bola itu cuma sebesar kelereng dan berkedip-kedip kayak lampu bohlam uzur.

Kutarik satu buku dari rak: Dasar Anatomi dan Sirkulasi Tubuh Manusia.

Halaman demi halaman kubuka, menyerap informasi seperti spons haus. Organ, sistem saraf, otot, tulang... semua memiliki struktur. Semua punya fungsi. Dan... semua itu bisa jadi target manipulasi sihir... kalau aku tahu caranya.

Tubuh adalah sistem. Sihir adalah kehendak. Jika aku bisa menyelaraskan keduanya...

Aku bisa membuat tubuh ini... bekerja sama dengan manaku.

Bukan lagi wadah rapuh, tapi mesin sihir yang efisien.

1
budiman_tulungagung
satu bab satu mawar 🌹
Big Man: Wahh.. thanks kak..
total 1 replies
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
budiman_tulungagung
ayo up lagi lebih semangat
Big Man: Siap.. Mksh kak..
total 1 replies
R AN L
di tunggu kelanjutannya
Big Man: Siap kak.. lagi ditulis ya...
total 1 replies
y@y@
👍🌟👍🏻🌟👍
Big Man: thanks kak..
total 1 replies
y@y@
👍🏿⭐👍🏻⭐👍🏿
y@y@
🌟👍👍🏻👍🌟
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
👍🌟👍🏻🌟👍
y@y@
👍🏿⭐👍🏻⭐👍🏿
y@y@
🌟👍👍🏻👍🌟
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
⭐👍🏻👍👍🏻⭐
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
y@y@
👍🏻⭐👍⭐👍🏻
y@y@
🌟👍🏿👍👍🏿🌟
y@y@
⭐👍🏻👍👍🏻⭐
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
y@y@
👍🏻⭐👍⭐👍🏻
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!