Sebuah permintaan mengejutkan dari Maria, mama Paramitha yang sedang sakit untuk menikahi Elang, kakak kandungnya yang tinggal di London membuat keduanya menjerit histeris. Bagaimana bisa seorang ibu menyuruh sesama saudara untuk menikah? padahal ini bukan jaman nabi Adam dan Hawa yang terpaksa menikahkan anak-anak kandung mereka karena tidak ada jodoh yang lain. Apa yang bisa kakak beradik itu dilakukan jika Abimanyu, sang papa juga mendukung penuh kemauan istrinya? Siapa juga yang harus dipercaya oleh Mitha tentang statusnya? kedua orang tuanya ataukah Elang yang selalu mengatakan jika dirinya adalah anak haram.
Mampukah Elang dan Mitha bertahan dalam pernikahan untuk mewujudkan bayangan dan angan-angan kedua orang tuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sushanty areta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilema
"iya. Besok mama ada check up kan? Kita bisa mampir kesana." jawab Maria dengan mata berbinar. Bukan hanya Zahra yang terkesiap karena perkataan Maria, tapi juga Abi dan Mitha yang kembali menatap bingung sang mama.
"Mith, bawakan sesuatu untuk Zahra. Ambil saja di dapur. Minta sama bik Sri ya." perintah sang mama.
"Nggak usah tan, saya permisi pulang saja." sahut Zahra sopan. Tapi Maria tetap memaksa Mitha ke dapur dan mengambil sesuatu sesuai perintahnya. Alhasil, Zahra kembali duduk dan menunggu sahabatnya itu keluar. Tak enak rasanya pulang tanpa seijin yang empunya rumah. Selain itu, Maria terus mengajaknya ngobrol dan menanyakan tentang keseharian gadis itu.
"Ra, ini untukmu." Mitha menyerahkan bungkusan lumayan besar pada Zahra yang masih melongo tak percaya. Perasaan tidak enak menyergapnya. Ekor matanya melirik Maria dan Abi bergantian.
"Tapi Mith..."
"Sudah terima saja. Itu dari tante. Anggap saja rasa terimakasih tante karena sudah mengantar Mitha pulang." Kali ini Zahra mengangguk lemah. Dia menerima bungkusan itu dan berpamitan pada orang tua Mitha, tak lupa mencium punggung tangan mereka.
"Terimakasih tan, om. Saya permisi. Asalamualaikum."
"Walaikumsalam, hati-hati dijalan ya." pesan Maria, wanita itu begitu bersemangat kala itu. Berbeda dengan Abi yang hanya bersikap datar dan lebih banyak menyimak layar ponselnya.
"Mith, nggak enak banget sama ortu kamu." protes Zahra sambil meletakkan bungkusan dari Mitha pada pijakan motor maticnya. Tau begini dia pasti mampir dulu untuk beli oleh-oleh untuk mamanya. Penyesalan memang munculnya belakangan.
"Biasa aja kali Ra. Mama emang gitu orangnya."
"Sungkan sama papa kamu hiks."
"Kalau papa memang begitu. Cuek bebek mirip kak Elang. Ampun dehh mereka." balas Maria gantian curhat pada sahabatnya itu.
"Ya udah, balik dulu ya." pamit Zahra, lalu meninggalkan rumah besar keluarga Abimana.
Mitha bergegas masuk ke dalam rumahnya, pertemuannya dengan Zahra sedikit banyak sudah mencerahkan hatinya dan membuat perasaannya membaik.
"Zahra itu baik dan mandiri ya pa." langkah Mitha terhenti kala mamanya membicarakan Zahra. Keanehan lagi. Sepertinya mamanya memang tertarik pada Zahra.
"hmmmm." Abi hanya berdehem, menatap ponselnya serius seakan tak mendengarkan perkataan istrinya.
"Mama ingin dia yang merawat mama."
"Apa??" kali ini Abi mendongakkan kepalanya, menatap Maria lekat. Kenapa istrinya berubah pikiran. Dari awal sakit hingga sekarang, Maria tidak ingin dirawat siapapun selain suami dan anak-anaknya. Kenapa sekarang ingin dirawat orang lain?
"Kan ada Mitha, papa dan Elang ma. Lagian bik Sri juga sudah balik kan?" Abi menghampiri istrinya dan membelai punggungnya lembut. Mata teduhnya penuh kasih.
"Mitha dan Elang kan sudah menikah, pa. Ada saatnya dia harus mandiri dengan Elang."
"Mama ngusir Mitha?" tanya Mitha tiba-tiba dari balik tembok. Maria tersenyum dan merentangkan tangannya, memeluk putri kesayangannya.
"Bukan ngusir Mith. Mama hanya bilang soal kenyataan. Nantinya kamu dan Elang harus berada di rumah kalian sendirikan? Kalian harus berlatih mandiri." jelasnya penuh penekanan. Sejak menikahkan Elang dan Mitha, Abi dan Maria memang sepakat memberikan rumah yang barusan mereka renovasi pada putra-putri mereka sebagai hadiah pernikahan.
Rumah itu berdiri kokoh disamping kediaman Abimana. Hanya tembok setinggi manusia dewasa yang memisahkan kedua rumah itu. Walaupun rumah mereka bersebelahan, Abi dan Maria begitu memperhatikan privacy pasangan pengantin baru itu. Mereka membuat pintu penghubung, itupun di sisi halaman depan hingga mereka tetap akan melewati pintu depan jika ingin berkunjung. Saat masih dibawah umur, mereka memang anak-anak mereka. Tapi saat sudah dewasa dan menikah, mereka adalah pasangan mandiri. Menentukan nasib sendiri tanpa campur tangan kedua orang tua yang juga merangkap mertua.
'' Tapi Mitha masih tetap disini merawat mama." elak Mitha. Dia sangat tidak tega meningalkan mamanya yang bisa dibilang sudah tak lama lagi hidup di dunia. Meski terus berdoa, berusaha dan berharap sebuah keajaiban...tapi Mitha tau, mereka harus bersiap untuk kemungkinan terburuk atas diri Maria.
"Pindahnya nggak jauhkan Mith. Lagian tiap hari juga kamu tetap bisa jenguk mama papakan?"
"Tapi ma. .."
"Mitha...dengarkan mama! harapan hidup mama hanya tinggal sedikit. Kau harus belajar hidup tanpa kami nak."
"sayang. .." Abi memeluk erat tubuh istrinya yang makin kurus. Beberapa kali dia mencium pucuk kepalanya. Tangis pria tampan diusianya itu tumpah. Maria, separuh hidupnya telah mengatakan kalimat yang sangat dia benci. Perpisahan.
"Papa juga harus belajar ikhlas. Dimanapun nanti mama berada, papa harus tetap tegar dan mendoakan mama." Mitha berlari memeluk mama tercintanya. Ketiganya bertangisan.
"Sudah ...mama masih hidup tapi kalian terus menangis." hibur Maria dengan tawa segarnya. Abi mengusap air matanya yang terus berlinang. Andai saat itu Maria tidak disana, pasti dia akan berteriak dan meraung menyalahkan takdir yang akan mengambil istri tercintanya.
"Pa, boleh ya mama ambil Zahra jadi perawat mama." Rayu Maria seolah tak mau menyerah sebelum kemauannya terpenuhi. Abi menarik nafas dalam, menelisik mata Maria. Bukan hanya setahun dua tahun dirinya mengenal Maria. Tiga puluh satu tahun hidup bersama sudah cukup bagi Abi untuk mengenal watak dan tabiat istrinya.
"Apa tujuan mama sebenarnya?" pertanyaan tajam dengan mata yang tajam pula. Sama seperti Abi yang kenal luar dalam pribadi Maria, wanit itupun sangat tau karakter suaminya. Dia tau Abi butuh alasan jujur untuk sebuah persetujuan. Suaminya itu selalu bersikap realistis.
"Mama menyukai Zahra." jawabnya kemudian, penuh keyakinan.
"Lalu?" Abi menaikkan alisnya, minta penjelasan.
"Mama ingin papa mulai dekat dan mengenalnya." jawaban kalem, namun membuat dada Abi hampir pecah karenanya.
"Maaf, papa tidak bisa." jawabnya ketus. Sekarang dia tau maksud Maria. Istrinya ingin mencari pengganti dirinya untuk mendampingi Abi saat dirinya sudah tiada. Naif.
"Pa...dengarkan mama.." Abi melepas lembut jemari Maria yang memeluk lengannya. Hatinya sangat sakit dan teriris.
"Maaf, aku tidak mau dengar apapun Maria!" lalu pria itu meninggalkan mereka menuju ruang kerjanya dan menutup pintunya rapat. Hatinya bagai diiris pisau paling tajam didunia hingga terluka penuh darah. Bagaimana bisa wanita yang dia cintai sepenuh hati, jiwa dan raganya menyuruhnya mengenal wanita lain dan mungkin memintanya menikahi wanita itu saat dirinya masih ada? mambayangkan kehilangan dirinya saja sudah membuatnya ingin mati bersama, bagaimana bisa dia menikahi wanita lain didepannya? Saat dia masih bernyawa? Permintaan yang sangat kejam, seolah wanita itu tak mau tau perasaannya. Kenapa tak membiarkan dia menikmati sisa waktu untuk mereka bersama dan mengukir kenangan indah diakhir hayat? Kenapa malah menghadirkan orang lain yang malah akan menjadi luka. Maria ..kau sungguh membuat Abi dalam dilema.