Harap bijak memilih bacaan.
riview bintang ⭐ - ⭐⭐⭐ = langsung BLOK.!
Barra D. Bagaskara, laki-laki berusia 31 tahun itu terpaksa menikah lagi untuk kedua kalinya.
Karena ingin mempertahankan istri pertamanya yang tidak bisa memliki seorang anak, Barra membuat kontrak pernikahan dengan Yuna.
Barra menjadikan Yuna sebagai istri kedua untuk mengandung darah dagingnya.
Akibat kecerobohan Yuna yang tidak membaca keseluruhan poin perjanjian itu, Yuna tidak tau bahwa tujuan Barra menikahinya hanya untuk mendapatkan anak, setelah itu akan menceraikannya dan membawa pergi anak mereka.
Namun karena hadirnya baby twins di dalam rahim Yuna, Barra terjebak dengan permainannya sendiri. Dia mengurungkan niatnya untuk menceraikan Yuna. Tapi disisi lain Yuna yang telah mengetahui niat jahat Barra, bersikeras untuk bercerai setelah melahirkan dan masing-masing akan membawa 1 anak untuk dirawat.
Mampukah Barra menyakinkan Yuna untuk tetap berada di sampingnya.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Yuna menatap Barra yang baru turun dari tangga. Celana jeans warna biru dan kaos hitam yang pas di tubuhnya, membuat penampilan Barra terlihat jauh lebih muda.
Yuna memalingkan wajah, bangun dari duduknya saat tatapan matanya beradu dengan laki-laki yang menyandang gelar sebagai suami namun hanya orang asing.
"Aku pamit sama Mama dulu,," Yuna berjalan menuju kamar Mama Rena.
"Aku tunggu di mobil." Ucap Barra.
Keduanya berpapasan dalam jarak yang dekat, namun tidak ada interaksi apapun.
Beberapa minggu tinggal bersama, bahkan beberapa kali melakukan hubungan suami istri, tak lantas membuat hubungan keduanya menjadi dekat. Surat perjanjian yang mereka buat, seolah menjadi pembatasan di antara mereka.
Tak hanya itu, keduanya kompak membentengi hati agar tidak jatuh cinta satu sama lain.
Yuna masuk ke dalam mobil setalah pamit pada Mama Rena. Barra yang tadinya sedang memainkan ponsel, kini menyimpan ponselnya dan mulai melajukan mobilnya.
"Bagaimana perkembangan usaha kamu.?" Suara datar Barra memecah keheningan.
"Diluar ekspektasi." Jawab Yuna. Dia sedikit menoleh untuk menatap Barra.
"Sudah ada 10 item yang terjual hari ini."
"Sejak sore juga ada beberapa orderan yang masuk, terakhir aku lihat ada 5."
"Kemungkinan akan bertambah sampai besok." Yuna menjelaskan dengan raut wajah yang terlihat bahagia. Bagaimana tidak, usaha yang baru pertama kali dia rintis sudah menunjukkan hasil dengan banyaknya orderan.
"Bagus kalau begitu."
"Di kantor banyak karyawan perempuan, kamu bisa kirimkan link tokonya. Nanti aku share ke mereka."
Barra berniat membantu Yuna dengan mempromosikan produk pada karyawan di kantor. Hal itu mendapat reaksi yang tak terduga dari Yuna.
"Wahh,, Mas Barra serius.??" Seru Yuna dengan mata berbinar. Dia sampai mencondongkan badannya ke arah Barra karna terlalu senang. Tidak menyangka Barra akan membantu usahanya dari awal sampai mau mempromosikan ke teman-teman kantornya.
"Kapan kamu lihat aku bercanda.?" Sahut Barra datar. Kehebohan Yuna sama sekali tidak mengurangi fokus Barra yang menatap lurus pada jalanan.
Kalau saja Barra melihat ekspresi Yuna saat ini, mungkin dia akan merasa bersalah padanya.
Merasa bersalah karna suatu saat akan menghancurkan senyum dan kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah Yuna saat ini.
Yuna menyengir kuda.
"Benar juga, Mas Barra selalu serius." Gumam Yuna pelan.
"Boleh aku kirimkan linknya sekarang.?" Tanyanya.
Anggukan kepala Barra langsung membuat Yuna mengeluarkan ponsel dari tasnya. Membuka aplikasi hijau dan mengirimkan 3 link tokonya pada Barra.
"Sudah." Seru Yuna.
"Hemm,," Barra mengangguk pelan.
"Terimakasih sudah banyak membantuku. Aku harap suatu saat bisa mengembalikan semua uang Mas Barra." Yuna menatap Barra dengan sorot mata penuh rasa berterimakasih, dia tidak tau lagi bagaimana caranya membalas semua kebaikan Barra padanya. Tapi Yuna tidak sadar bahwa dia telah memberikan sesuatu yang sangat berharga pada Barra. Sesuatu yang telah dia jaga dengan baik hingga Barra yang mendapatkannya.
"Buat apa aku membuat perjanjian kalau untuk dikembalikan."
"Jangan dipikirkan, aku nggak minta uangku dikembalikan." Barra dengan cepat menolak niat baik Yuna.
Karna uang yang selama ini dia berikan pada Yuna, tidak ada artinya dengan apa yang akan Yuna berikan padanya setelah perceraian.
"Tapi,,,,
"Nggak ada tapi-tapian, semua itu buat kamu dan Mama kamu." Potong Barra cepat.
Yuna kembali mengucapkan terimakasih, entah sudah berapa kali perempuan lugu itu mengatakan hal yang selalu membuat Barra gelisah. Merasa kalimat berharga itu tidak pantas untuk dia dapatkan dari mulut Yuna.
Sejak dulu, Barra tidak pernah menyakiti siapapun. Dia selalu berbuat baik pada semua orang, tidak pernah memandang siapa orang itu. Tapi sekarang, dia akan membuat kesalahan besar yang sejak dulu dia hindari. Rencana yang dia buat demi mempertahankan Cindy disisinya, akan menghancurkan hidup dan hati seorang wanita yang begitu baik dan lugu.
Mungkin setelah semua itu terjadi, Barra akan merasakan penyesalan seumur hidupnya. Sekalipun sudah memberikan semua yang Yuna butuhkan, namun apa yang dia ambil jauh lebih berharga dari apapun.
"Sini, biar aku saja." Barra mengambil alih troli belanjaan dari tangan Yuna, setelah itu, berjalan mendahului Yuna.
"Kalau datang untuk pergi, kenapa harus baik seperti ini." Gumam Yuna lirih. Dia terus menatap punggung Barra yang semakin menjauh.
"Bagaimana kalau semua kenangan ini sulit untuk dihapus." Ujarnya lesu. Yuna menarik nafas dalam. Membayangkan hal itu hanya membuat dadanya terasa sesak. Padahal tidak ada cinta di hatinya untuk Barra, entah bagaimana kalau cinta itu mulai tumbuh. Jangankan untuk menghapus kenangan, melupakannya saja mungkin tidak akan pernah bisa.
"Apa lagi yang kamu butuhkan.?" Tanya Barra.
Yuna menatap troli yang sudah penuh dalam beberapa menit. Bagaimana tidak penuh, setiap kali Yuna mengambil belanjaan, Barra akan menambahkannya.
"Sudah,, ini terlalu banyak." Ucap Yuna.
"Mas Barra bisa tunggu disini sebentar.? Aku lupa mengambil sesuatu." Yuna melupakan kebutuhan bulanannya. Seharusnya hari ini sudah jadwalnya tamu bulanan datang.
"Hemm.." Sahut Barra singkat.
Yuna bergegas pergi. Dia kembali dengan menyembunyikan bungkusan itu di belakang tubuhnya, merasa malu kalau Barra harus melihat keperluan bulanannya.
"Ayo,," Yuna mengajak Barra membawa belanjaan ke kasir.
Sesuatu yang disembunyikan Yuna membuat Barra penasaran ingin melihat barang apa yang di ambil olehnya, tapi tidak berniat untuk bertanya.
Saat Yuna memberikan barang itu pada kasir, Barra menatap tanpa kedip, setelah itu menarik nafas dalam.
Dengan Yuna mengambil barang itu, berarti dia masih harus menyentuh Yuna kedepannya.
...****...
Barra mengeluarkan belanjaan dari bagasi mobil. Yuna yang tadinya ingin membatu membawakan, tidak di perbolehkan oleh Barra lantaran semua kantong belanjaan itu cukup berat.
"Kamu yang bereskan di dapur saja." Kata Barra memperjelas.
Yuna mengangguk patuh. Mengikuti langkah Barra yang membawa 3 kantong belanjaan di tangannya. Sedangkan 3 kantong lagi masih berada di mobil.
Begitu Barra meletakkan belanjaan di lantai, Yuna langsung mengeluarkan isinya satu persatu untuk diletakan pada tempatnya.
Semetara itu, Barra mengambil belanjaan terakhir sekaligus mengunci pintu rumah.
Yuna menoleh saat Barra meletakkan belanjaan terakhir. Mereka sempat saling pandang beberapa detik sebelum Barra berbalik badan dan mengambil minuman kaleng di dalam lemari pendingin.
Membuka dan meneguknya sembari berdiri, suara tegukan itu membuat Yuna kembali menoleh. Sedang minum saja masih terlihat tampan.
Barra duduk di depan meja makan, meletakkan minuman kaleng itu di atas meja kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Sepertinya ponsel salah satu benda terpenting bagi Barra. Karna Yuna selalu melihat Barra sibuk dengan ponselnya.
"Linknya sudah aku share." Ucap Barra setelah tak berlangsung lama mengotak atik ponselnya.
Yuna yang sibuk merapikan belanjaan, langsung antusias menatap Barra.
Yuna pikir Barra sedang sibuk dengan pekerjaan kantor, ternyata dia baru saja mempromosikan online shop miliknya.
"Makasih Mas,,"
"Maaf jadi merepotkan."
"Nggak masalah."
"Sudah malam, sebaiknya tidur. Lanjut besok saja,,,"
Barra menyuruh Yuna untuk berganti membereskan belanjaan.
Jika ajakan tidur sudah keluar dari mulut Barra, maka Yuna tau apa yang akan terjadi setelah ini.
...*****...
3 hari berlalu, Yuna terlihat gelisah lantaran sampai sekarang belum kedatangan tamu bulanan. Pikirannya sudah kacau, takut hamil dan Barra masih akan tetap menceraikan.
"Kenapa.?" Barra terlihat heran melihat Yuna yang tidak bisa tidur. Sejak tadi kasur bergerak karna Yuna selalu mengganti posisi.
"A,,aku belum haid." Yuna menunduk malu. Dia tidak pernah membicarakan hal ini dengan laki-laki.
"Sudah telah berapa hari.?" Barra menatap serius. Tentu saja hal ini yang sejak awal di tunggu-tunggu oleh Barra. Telat haid dan setelah itu di nyatakan positif.
"3 hari, kalau besok belum haid juga berarti 4 hari."
"Sejak awal aku sudah minta menghubungkan alat kontrasepsi, kenapa nggak pernah pakai.?" Yuna memalingkan wajahnya. Dia benar-benar menahan malu didepan Barra.
Yuna bisa saja meminum pil kontrasepsi, tapi dia tidak mengambil resiko, takut kedepannya akan sulit hamil.
"Aku sudah bilang akan tanggungjawab, nggak usah khawatir."
"Besok kita ke dokter. Sekarang kamu harus tidur,,"
Yuna menarik nafas dalam. Dia merubah posisi membelakangi Barra, setelah itu memejamkan mata. Dia berdoa, meminta untuk tidak hamil saat ini.