Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penabur Bunga Makam Adik Leri
Bab 6
'Sial, angkuh amat nih cewek. Tidak seperti penampilannya,' batin Diaz.
"Nak ...," bisik Kakek Guru, memberi kode pada Eriva.
Eriva terdiam, terlihat ragu sejenak, tapi akhirnya mengambil bunga itu sambil tersenyum tipis. “Terima kasih, bunga yang cantik sekali,” katanya, meskipun jelas terlihat bahwa dia tidak nyaman. Saputangan itu masih menutupi sebagian wajahnya, membuat Diaz menyadari sesuatu.
Dalam hati, Diaz bergumam, 'Dia pandai juga berakting. Tadi angkuh, sekarang begitu manis.'
Diaz terus memperhatikan Eriva meski secara diam-diam. Sesekali bersikap biasa, sesekali curi pandang.
'Wanita ini, dia sepertinya alergi bunga. Tapi mengapa bunga dariku tetap dia ambil? Bahkan terus dipegangnya?' batin Diaz kembali.
Kakek Surya memperhatikan interaksi mereka dengan tatapan penuh arti. “Gunawan, kau benar-benar beruntung memiliki anak seperti Diaz. Santun, penuh perhatian, dan… sepertinya dia juga tahu cara membuat wanita tersenyum,” kata Kakek Surya sambil terkekeh.
Gunawan hanya tertawa kecil. “Diaz memang seperti itu, Kakek Guru. Meski kadang keras kepala, dia tahu cara menempatkan diri.”
Namun, Diaz tidak mendengarkan percakapan itu. Perhatiannya sepenuhnya tertuju pada Eriva, yang kini kembali duduk di tempatnya. Dalam benaknya, berbagai pertanyaan muncul. Gerakan dan ekspresi Eriva begitu mirip dengan Leri, wanita dari mimpi buruknya.
Eriva kembali menatapnya sebentar, dan kali ini Diaz menangkap getaran aneh dari dalam dirinya. Ada sesuatu yang berbeda. Namun, Diaz tidak bisa menyimpulkan lebih dini.
'Kita dulu memang masih kecil, Leri. Tapi aku tidak akan lupa bagaimana cara kamu memperlakukan bunga lili, cara kamu duduk, makan, bahkan cara bicaramu,' batin Diaz.
"Hey, melamun aja. Ada yang ingin bertemu," bisik Samir. Diaz tidak tahu sahabatnya tiba-tiba ada di sana. "Ayo!" lanjutnya.
"Kamu, bikin kaget, Samir." keluh Diaz.
"Buruan, takut kabur orangnya."
Diaz mengerti apa yang Samir katakan.
"Kakek Guru, Papa, aku pamit dulu. Ada keperluan mendesak. Aku minta maaf, meninggalkan acara lebih awal," ucap Diaz, menghormati situasi.
Guru Besar Surya mengangguk bijaksana. “Silakan, anak muda. Urusan penting tidak bisa ditunda.”
Namun, berbeda dengan Surya, Eriva tampak tidak senang. “Urusan mendesak, Tuan Diaz? Atau ini hanya alasan agar Anda bisa kabur dari tanggung jawab sebagai tuan rumah?” tanyanya dengan nada dingin, seolah ingin mempermalukan Diaz di hadapan semua orang.
Diaz menatap Eriva sekilas, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Terima kasih atas perhatian Anda, Nona Eriva. Namun, saya rasa ini bukan urusan yang perlu Anda pikirkan,” jawabnya dengan nada tenang, tanpa sedikit pun menunjukkan terganggu oleh sikap Eriva.
Eriva mendengkus kecil, tapi Diaz sudah melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Dia wanita bermuka dua, kenapa aku harus repot meladeni? pikir Diaz.
Saat dia tiba di depan teras, seorang pria tua dengan pakaian sederhana dan wajah penuh kerut menundukkan kepala dengan hormat. Itu adalah Pak Wahyu, penjaga makam keluarga yang selalu setia.
“Ada apa, Pak Wahyu? Mengapa Anda repot-repot datang ke sini?” tanya Diaz langsung, tanpa basa-basi.
Pak Wahyu meremas-remas topi lusuh di tangannya, tampak gugup. “Maaf, Tuan Diaz. Saya tahu saya seharusnya menggunakan ponsel seperti yang Anda berikan, tapi saya merasa ini penting sekali untuk diberitahukan langsung.”
“Apa yang terjadi?” Diaz mulai kehilangan kesabaran.
Pak Wahyu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Saya berhasil mengamankan orang yang sering menabur bunga di makam Nona Naura. Namanya… Laluna, Tuan.”
Diaz membeku sejenak. “Bapak sudah menanyakan apa saja tentang dia?"
“Saya tidak tahu banyak, Tuan. Tapi saya pikir Anda perlu bertemu dengannya sendiri,” jawab Pak Wahyu gugup.
Diaz mengerutkan kening. “Bukankah saya sudah memberi Anda ponsel untuk melaporkan hal-hal seperti ini? Kenapa Anda tidak memakainya?”
Pak Wahyu gelagapan, tampak bingung untuk menjawab. Sebelum dia sempat membuka mulut, Samir menepuk pundak Diaz pelan.
“Sudahlah, Diaz. Mungkin dia kesulitan menggunakan ponsel atau ada alasan lain. Lagipula, datang langsung menunjukkan bahwa ini benar-benar penting,” kata Samir dengan nada yang sedikit menenangkan.
Diaz menghela napas panjang, lalu mengangguk kecil. “Baiklah, aku mengerti. Kalau begitu, mari kita selesaikan ini. Pak Wahyu, antar ke rumah Anda sekarang. Aku ingin tahu siapa orang ini.”
Pak Wahyu membungkukkan badan dengan penuh syukur. “Terima kasih, Tuan. Tapi saya ke sini menggunakan motor. Kita bertemu di rumah saya aja bagaimana?"
“Tidak perlu. Kita akan naik mobil bersama,” kata Diaz sambil melirik Samir. “Ikut aku.”
Samir hanya mengangkat bahu dan mengikuti Diaz menuju mobil. Berikut Pak Wahyu mengekor di belakang mereka berdua.
Perjalanan menuju rumah Pak Wahyu dipenuhi dengan kesunyian. Namun, di dalam pikiran Diaz, berbagai pertanyaan terus berputar. Siapa wanita itu? Apa yang membuatnya begitu rutin menabur bunga setiap hari sabtu, mengantikan Leri. Apakah dia suruhan Leri?
Mobil melaju cepat menuju arah pinggiran kota.
Setibanya di rumah Pak Wahyu, Diaz langsung turun dari mobil dengan langkah tegas. Beberapa pusara dilewati, sebab rumah Pak Wahyu memang di tengah pemakaman.
Pikiran Diaz dipenuhi rasa penasaran dan kemarahan yang bercampur aduk. Begitu pintu rumah sederhana itu dibuka, seorang gadis muda dengan penampilan polos duduk di kursi kayu di ruang tamu. Dia tampak gugup, kedua tangannya terikat di depan.
“Ini dia, Tuan Diaz. Namanya Laluna,” kata Pak Wahyu sambil menggeser tubuhnya memberi jalan.
Tanpa basa-basi, Diaz langsung mendekat. Pandangannya tajam, memaku gadis itu di tempatnya. “Kamu yang sering menabur bunga di makam Naura?” tanyanya dengan nada dingin, tanpa memberi ruang untuk menghindar.
Laluna menelan ludah, berusaha menguasai dirinya. “Saya... iya, Tuan.”
“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Diaz lagi, semakin menekan.
“Saya tidak tahu namanya,” jawab Laluna terbata-bata. “Dia cuma mampir ke warung ibu saya. Memberikan uang, lalu menyuruh saya menaburkan bunga di makam itu.”
Diaz menyipitkan matanya, berusaha membaca ekspresi Laluna. “Baru kali ini saja?”
Laluna mengangguk cepat. “Iya, baru kali ini, Tuan.”
Diaz mendengkus pelan. Jawaban itu terasa tidak masuk akal. Dia tahu sejak kurang lebih tiga belas tahun setelah kejadian tragis itu, makam Naura tak pernah lagi dihiasi bunga, lili. Tetapi beberapa bulan terakhir, taburan bunga segar kembali muncul. Ini bukan kebetulan, pikirnya.
“Jangan bohong, Laluna,” kata Diaz, suaranya lebih tajam. “Aku tahu taburan bunga sudah ada sejak beberapa waktu lalu. Kalau memang ini pertama kalinya, siapa yang melakukan sebelumnya?”
“Saya tidak tahu, Tuan. Saya hanya melakukan apa yang disuruh,” jawab Laluna sambil menundukkan kepala, suaranya terdengar seperti nyaris menangis.
Samir yang berdiri di dekat pintu akhirnya angkat bicara, mencoba melunakkan suasana. “Diaz, mungkin dia benar-benar tidak tahu. Lagipula, kalau dia memang hanya diminta oleh seseorang di warung ibunya, itu artinya ada orang lain di balik semua ini.”
Diaz mengabaikan komentar Samir. Dia melipat tangan di dada, menatap Laluna dengan intensitas yang semakin membuat gadis itu gemetar. “Mana ponselmu? Aku ingin melihat panggilan atau pesan terakhir.”
“Saya... saya tidak punya ponsel, Tuan,” jawab Laluna sambil menggeleng cepat.
Bersambung...