Ini kisah cinta Sinaga, pria beristri yang jatuh cinta pada wanita yang mengandung anaknya. Mereka bukan kekasih, bukan musuh. Mereka hanya orang asing yang terjebak oleh keadaan. Karena satu malam, Moza hamil. Bagaimana Moza menjalani hidupnya? Apa Naga tahu, bahwa wanita asing itu mengandung benih yang tak sengaja ia tanam.
Follow akun Instagram Sept
Sept_September2020
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Terima
18+ Istri Gelap #23
Oleh Sept
Wajah Naga langsung pucat pasi, ia shock mendengar syarat yang diajukan oleh istrinya. Membuat Sierra hamil? Bukankah mereka dulu sepakat, bahwa ini hanya pernikahan bisnis. Bukan suka sama suka, mungkin ini salah Naga. Ia terlalu lalai dan abai. Harusnya ia segera menghentikan pernikahan mereka beberapa tahun silam. Bukannya malah menjaga pernikahan nampak harmonis di luar saja, hanya karena bisnis semata. Ia lupa, bahwa Tuhan begitu mudah membolak-balik hati manusia. Kalau sudah begini, ketika Sierra menuntut haknya, ia bisa apa?
"Sierra, kita bicara besok lagi. Sepertinya kau kacau sekali malam ini."
"Mengapa selalu menghindar? Apa Mas takut denganku?" Sierra mendekati Naga, hingga ia berdiri tepat di depan pria tersebut.
Sierra yang begitu mengharap belain kasih sayang suaminya itu, perlahan tangannya mengusap dan menjalar di sekujur tubuh Naga. Kehangatan yang tak pernah ia dapat, malam ini ia harus memperolehnya.
Naga memejamkan mata, tangannya mengepal. Harus bagaimana ini? Hubungan tanpa cinta hanya akan berakhir dengan salah satu yang tersakiti.
Mana bisa ia membawa Sierra ke samudra cinta? Sedangkan rasa itu tidak pernah ada. Ada pun bila bisa, Sierra hanya akan dapat raganya. Bagai cangkang kosong, jiwanya tidak ada pada tempatnya.
"Hentikan Sierra!" bisik Naga sembari memegang tangan Sierra yang sudah bermain-main dengan benda yang tak boleh dipegang sembarangan.
"Kenapa? Jika dia bisa ... aku juga bisa!"
"Sierra!"
Naga yang terlalu berisik, membuat Sierra jadi tidak tahan. Wanita itu pun mengalungkan lengan ke leher Naga. Menuntun Naga ke tepi ranjang, kemudian mendorong tubuh yang tegap dan atletis tersebut. Malam ini Naga miliknya.
Dengan agresif Sierra menyerang suaminya, bak wanita penghibur. Ia mengebu-ngebu seperti wanita murahan. Ia menagkup rahang yang tegas itu. Kemudian mendekatkan wajahnya sendiri.
Cup
Sebuah kecupan pertama, berhasil mendarat. Rasanya hambar, mata Sierra sudah mulai berkaca-kaca. Tapi ia terus saja, tidak mau menyerah. Perang ini harus ia yang menang.
Kembali lagi ia menautkan bibirnya, kali ini ia menyesap bibir Naga. Ada dahaga yang tak terpuaskan. Pria itu keterlaluan, Sierra benar-benar seperti bergelut dengan boneka manekin yang tampan.
Sekeras apa pun ia memancing nafsu suaminya, Naga bergeming. Pria itu terlalu dingin. Seperti ada tembok yang membumbung tinggi.
Sakit hati, sakit jiwa dan perasaannya. Rasa sesak terus menyergap. Dadanya tak mampu lagi menahan. Akhirnya ia kembali menangis di atas tubuh Naga.
Wanita malang itu terisak sambil mencengkram baju Naga yang sudah ia koyak.
"Kamu jahat!" ucapnya lirih, kemudian kembali menitihkan air mata.
Tidak bisa berbuat seperti apa mau Sierra, Naga hanya menepuk punggung wanita yang masih menindihnya tersebut.
"Mari berpisah!" gumam Naga yang tak ingin menyakiti lebih dalam.
"Ceraikan aku bila aku mati," pinta Sierra yang seperti wasiat.
Artinya, Sierra tak akan mau melepaskan Naga. Sepahit apa pun pernikahan mereka, wanita itu akan bertahan. Pelan-pelan, ia akan mencari jalan. Menyingkirkan segala sesuatu yang tak membuatnya bahagia.
Pagi hari.
Di atas ranjang yang sangat berantakan, Sierra masih terlelap. Tubuhnya tertutup selimut yang tebal.
Biasanya wanita itu sudah bangun pagi-pagi seperti ini, mungkin karena aksi gilanya semalam. Ia jadi terlambat bangun.
Lalu di mana Naga?
Pria itu sudah duduk di sebuah mobil, bersiap untuk berangkat kerja. Wajahnya nampak menanggung beban berat. Seperti ditagih hutang.
Kejadian semalam membuatnya harus menyerah. Sekeras apa pun Sierra menggoda, ia bergeming. Seolah menolak, meski Sierra begitu menggoda. Sinyalnya begitu lemah, hingga tak sampai ke pusat. Mungkin akan sulit menjadikan Moza istri sah, dan akan sulit pula memperjelas status anak mereka. Naga menghela napas panjang, mengapa hidupnya jadi rumit seperti ini?
"Tuan ... Tuan Naga!"
Naga yang malah melamun, tersentak ketika sopirnya terus memanggil.
"Maaf Tuan. Sudah sampai!" tambah si sopir.
Naga pun turun dari mobilnya, ia masuk dengan pandangan kosong. Hingga saat beberapa dewan direksi menyapa dirinya, pria itu tak merespon.
"Ada apa dengannya? Apa aku tak terlihat?" batin dewan direksi tersebut.
Sampai di ruangan, Naga hanya duduk sembari memegang berkas di tangannya. Hanya ia pegang, tanpa ia baca atau periksa. Hari yang kacau, sekacau hidupnya.
Dari pada kerja tapi tak konsen, saat jam makan siang. Ia mengemudikan sendiri mobilnya. Otak pria tersebut benar-benar sedang ruwet. Ia butuh penyegaran, sesuatu yang mungkin akan ia dapat di tempat tinggal Moza dan Sendy.
Saat ia tiba, Sendy ternyata sedang tidur siang.
"Baru atau sejak tadi?" tanya Naga. Kalau Sendy tidur, kini ia bingung bila hanya berdua-duaan dengan Moza.
"Baru saja ... tumben ke sini siang-siang? Sudah makan?" tanya Moza balik, ia mencoba basa-basi, bersikap biasa saja. Meski sebenarnya ia cemas, sebab hari ini ia harus mengatakan jawaban pada Naga. Sebuah jawaban dari ajakan menikah dari pria tersebut.
"Boleh!"
"Tunggu sebentar! Akan aku siapkan." Moza berjalan ke dapur. Ia memegangi dadanya, sembari berdoa di dalam hati, semoga Naga tak menagih jawaban darinya.
Ketika ia menyiapkan makan siang di meja, Naga menghampiri. Pria itu duduk di meja makan, menunggu Moza.
"Makanlah!"
"Kamu tidak makan?"
"Sudah, tadi bersama Sendy."
"Oh!"
"Ya sudah, aku ke sana dulu!" Moza buru-buru pergi, di dekat Naga hanya membuatnya merasa tak nyaman.
"Duduklah! Temani aku makan."
"Duh!" keluh Moza. Kakinya yang hampir meninggalkan tempat itu, akhirnya harus putar balik. Mau tak mau, Moza menemani pria itu makan.
"Lahap sekali? Apa istrimu tak memberimu makan?" batin Moza yang mengamati Naga menikmati makan siang buatannya.
Sesaat kemudian, ketika sepiring nasi dan sepotong ayam goreng serta sambal terasi ludes. Kini mereka bicara santai di ruang tamu.
"Untuk Sendy, minggu depan akan ku daftarkan sekolah." Naga mulai membuka suara.
"Hemm!"
"Maaf Moza."
Moza menantap pria yang duduk di depannya, maaf untuk apa lagi? pikir Moza.
"Untuk apa?"
"Tidak ... bukan apa-apa." Naga galau, karena tak dapat ijin nikah resmi dari istri pertamanya.
Suasana kembali hening, mereka sama-sama tak tahu harus bicara mengenai apa.
"Oh ya ... untuk pertanyaan kemarin, apa aku sudah bisa mendengar jawabannya?" Pertanyaan Naga memecah sepi yang sedari tadi menemani dua insan yang seperti orang asing tersebut.
"Itu ..." Moza terlihat ragu-ragu mengatakan jawabannya.
"Aku sudah tak memaksa, jangan tertekan. Aku sangat mengerti. Mana ada wanita yang mau hanya dinikahi tanpa status resmi. Maaf Moza, mungkin aku terlalu egois." Hati Naga yang kacau sejak peristiwa semalam, kini jadi mello.
Pria itu pun bangkit dari duduknya, siap meninggalkan rumah itu lagi.
Melihat wajah kusut Naga, Moza jadi tak enak sendiri. Ia merasa serakah bila menuntut status hukum yang resmi. Siapa dia? Moza sadar diri.
"Moza, aku pulang." ucapnya lesu.
Saat Naga sudah berjalan menuju pintu, Moza menahan pria tersebut dengan kata-katanya.
"Aku terima!" Bersambung.
Mau bagaimana pun, menikah tanpa cinta itu sakit. Apalagi dalam pernikahan ada orang ketiga. Bertahan? Sama saja dengan bunuh diri secara perlahan.