SIPNOSIS:
Kenneth Bernardo adalah pria sederhana yang terjebak dalam ambisi istrinya, Agnes Cleopatra. demi memenuhi gaya hidupnya yang boros, Agnes menjual Kenneth kepada sahabatnya bernama, Alexa Shannove. wanita kaya raya yang rela membeli 'stastus' suami orang demi keuntungan.
Bagi Agnes, Kenneth adalah suami yang gagal memenuhi tuntutan hidupnya yang serba mewah, ia tidak mau hidup miskin ditengah marak nya kota Brasil, São Paulo. sementara Alexa memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan suami demi memenuhi syarat warisan sang kakek.
Namun, kenyataan tak berjalan seperti yang Agnes bayangkan, setelah kehilangan suaminya. ia juga harus menghadapi kehancuran hidupnya sendiri-dihina orang sekitarnya, ditinggalkan kekasih gelapnya uang nya habis di garap selingkuhan nya yang pergi entah kemana, ia kembali jatuh miskin. sementara Alexa yang memiliki segalanya, justru semakin dipuja sebagai wanita yang anggun dan sukses dalam mencari pasangan hidup.
Kehidupan Baru Kenneth bersama Alexa perlahan memulihkan luka hati nya, sementara Agnes diliputi rasa marah dan iri merancang balas dendam, Agnes bertekad merebut kembali Kenneth bukan karena haus cinta tetapi ingin menghancurkan kebahagiaan Alexa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HMYT-23
Ben dengan ekspresi serius, tapi masih sambil tertawa.
"Gini, Ken. Kan udah dijelaskan tadi Nama dia Alexa Shavonne Graham. Nggak tahu? Dia itu cucu dari keluarga Graham, Dan kalau nggak percaya, bisa tanya langsung deh."
"Siapa tahu kau jadi suami yang beruntung, dan hidup nyaman seumur hidup." Ucap Vigo masih bercanda
"Wait... Graham? Jadi dia memang benar cucu dari keluarga kaya terkenal itu? Yang tinggalnya di Mexico?" Kenneth terkejut, mulai mencerna informasi itu.
Ben mengangguk, tersenyum nakal.
"Yep, itu dia. Kalau mau kenalan lebih jauh, ya, tinggal cari kesempatan. Siapa tahu kamu bisa lebih dari sekadar pelanggan."
Kenneth yang masih merasa canggung dan panik mencoba kembali fokus pada pekerjaannya, namun di dalam hatinya, rasa ingin tahu tentang siapa sebenarnya Alexa mulai muncul. Sementara teman-temannya terus menggoda, tanpa henti mengolok-olok Kenneth.
Kenneth berbisik kepada dirinya sendiri, sedikit khawatir.
"Dia beneran Nyonya Graham... jadi dia memang cucu keluarga itu? Waduh, ternyata aku bertetangga dengan orang konglomerat?"
" Ken, kau nggak mau coba kenalan sama dia? Mungkin kali ini kau dapet kesempatan, siapa tahu bisa jadi Istri kan?"
Arnand menambahkan sambil terkikik.
"Beneran, Ken. Ini kesempatan langka, loh. Kau nggak sering dapet cewek dengan latar belakang Graham kayak gitu."
"Ayo, jangan cuma bengong. Lo udah lama banget nggak cari yang serius, Ken. Siapa tahu Nyonya Graham yang satu ini bisa jadi pasangan hidup lo yang sesungguhnya." Ucap Ben menggodanya lebih lanjut, sambil melirik ke arah Alexa yang baru saja keluar dari ruangan kantor bos.
Kenneth terus merasa canggung, menyandarkan tubuhnya ke meja kerja sambil mencoba tetap fokus pada pekerjaan."Jangan terlalu lebay gitu."
Namun, rasa ingin tahu tentang siapa Alexa sebenarnya tetap muncul di pikirannya. Alexa, di sisi lain, tetap tenang dan fokus pada urusan yang dibawanya, meskipun ia tidak dapat menghindari sedikit perhatian dari para pria di bengkel.
****
Agnes mendengus kesal, lalu melempar sapu ke lantai. Dia duduk di kursi reyot di ruang tamu, mengipasi dirinya dengan tangan.
"Dasar laki nggak tahu diri!" Suaranya naik sambil menatap sapu yang digenggam. "Kerjanya cuma bisa ngancam-ngancam! Kalau aku nggak bersihin rumah, duit bulanannya nggak dikasih katanya! Emang dia pikir aku nggak bisa hidup sendiri?"
Dengan gerakan kasar, Agnes mulai nyapu lantai. Debu-debu yang naik malah bikin dia batuk-batuk. "Gila, ini rumah atau aku? Aku sih nggak masalah berantakan, tapi yang penting duit ngalir terus, dong!"
"Uang bulanan cuma segitu aja belagu banget," gumamnya pelan. Agnes menyandarkan kepala ke kursi, matanya melirik baju-baju kotor di sudut.
"Sumpah, kalau nggak karena butuh duit, nih Kenneth udah ku tinggalin sejak lama. Si miskin cuma bisa nyuruh-nyuruh, tapi kerja di bengkel aja hasilnya pas-pasan!"
Agnes menendang ember kecil di depannya, membuat isinya berhamburan ke lantai. "Tapi ya mau gimana, sih. Duit cuma dia doang yang kasih. Rentenir juga udah capek gue bohongin," gumamnya, tapi tetap dengan nada marah.
"Mending gue beresin ini cepet-cepet biar si miskin itu nggak ribut lagi."
Setelah menghela napas panjang, Agnes melangkah ke belakang untuk mencuci baju. Tangannya sibuk memeras kain, tapi pikirannya melayang ke hutang yang masih menumpuk. Belum lagi bunga dari rentenir yang terus berjalan.
"Kalau gue ngemis-ngemis uang lagi, pasti Kenneth ngamuk. Ah, ribet banget hidup gue!" keluhnya.
Dari ruang tamu, matanya menatap ke arah dapur yang penuh cucian piring. Agnes berdiri sambil mendengus. Dia mulai mencuci piring dengan kasar, hingga gelas plastik jatuh ke lantai.
"Arrgh! Sial!" Teriaknya sambil memungut gelas itu. "Gue sumpahin aja tuh Kenneth kalau duit bulanannya telat, motornya mogok di tengah jalan!"
Setelah dapur selesai dibersihkan, Agnes memutuskan mencuci pakaian. Di halaman belakang rumah, tangannya sibuk mencuci sambil sesekali mengeluh. Air cucian yang mulai keruh membuatnya semakin malas, tapi dia tidak punya pilihan.
Ketika dia selesai mencuci, Agnes melangkah keluar untuk menjemur. Namun, jemuran di rumahnya sudah penuh. Dia memandang ke rumah sebelah. Rumah itu berdiri kokoh, minimalis, cat putihnya bersih, dengan jemuran kosong di halaman depan.
"Halah, rumah ini juga nggak ada yang tinggal. Mending gue jemur di sini aja," gumam Agnes sambil mengangkat ember cucian. Dia mulai menggantung baju-bajunya, seolah rumah itu miliknya sendiri.
Dengan tenang, Agnes menggantung pakaian satu per satu. Dari baju Kenneth yang penuh noda oli sampai celana rumah lusuhnya sendiri.
"Nah, selesai. Daripada ribet di rumah sendiri, di sini lebih lega," katanya sambil menyeka keringat.
Setelah selesai menjemur, Agnes pergi ke warung di ujung kompleks. Warung kecil itu dikelilingi beberapa meja plastik dan kursi seadanya. Ibu-ibu kompleks berkumpul, mengobrol sambil menyeruput kopi dan teh serta makanan camilan ringan.
Agnes melangkah masuk dengan percaya diri. Rambutnya yang masih basah digelung asal, tapi dia tetap memasang wajah angkuh.
"Eh, Bu Agnes. Mampir lagi?" tanya pemilik warung dengan senyum ramah.
"Iya, Bu. Abis capek bersihin rumah. Saya pikir mampir sebentar sambil ngopi-ngopi cantik," jawab Agnes sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Ibu-ibu di sana mulai memperhatikan. Agnes sengaja menarik kursi di tengah mereka, memesan segelas kopi susu, lalu duduk dengan santai.
"Wah, sibuk banget ya, Bu Agnes? Kayaknya tiap hari ada aja kerjaannya," tanya salah satu ibu, memulai pembicaraan.
"Ya, gitu deh. Saya kan kerja di hotel. Hotel bintang lima jadi jarang di rumah Maklum, kerjaan ku sibuk banget Beda sama ibu-ibu lain di sini yang santai-santai di rumah, ." Agnes tersenyum penuh kepuasan.
"Oh, kerja di hotel, ya? Keren dong!" sahut ibu lain dengan mata berbinar.
"Nongkrong lagi, Bu Agnes?" sapa pemilik warung.
" jawab Agnes, sengaja meninggikan suaranya.
Ibu-ibu di sekitar langsung menoleh, beberapa memasang senyum tipis, sebagian lagi diam-diam berbisik.
"Kerja di mana sih, Bu Agnes?" tanya seorang ibu.
"Oh, saya kerja di perhotelan bintang lima. Ya, gajinya sih lumayan lah. Tapi capek banget. Kalau nggak demi Kenneth, saya udah resign dari dulu," jawab Agnes sambil memainkan kukunya.
" Iya, ya. Agnes itu selalu pergi pagi, kadang malem baru pulang, atau bahkan beberapa hari nggak pulang. Bekerja sampai segitunya?" komentar ibu lainnya.
Ibu-ibu itu saling pandang. Mereka tahu Agnes jarang di rumah, sering keluar dua-tiga hari sekali, tapi nggak ada yang pernah benar-benar tahu pekerjaannya.
Agnes tersenyum sinis. "Ya, aku kan kerja keras, makanya Kenneth nggak ngerti aja."
Tapi, di antara ibu-ibu itu, ada yang mulai ngeliriknya dengan tatapan nggak suka.
"Nggak usah tinggi-tinggi deh mimpi mu Agnes! Jangan sok kaya banget gitu, padahal hidupmu juga berantakan," komentar salah satu ibu, agak sewot.
Agnes mulai merasa kesal dengan komentar itu. "Kenapa sih, mesti nyinyir? Cuma karena aku berusaha lebih baik, terus jadi bahan omongan gitu?" pikirnya dalam hati, makin panas.
Namun, dia masih berusaha untuk tetap tenang. "Ya,ku kan juga kerja, nggak kayak Kenneth yang cuma bengkelan aja," jawab Agnes dengan nada merendahkan.
"Agnes ini kan selalu mau keliatan keren, tapi nggak tahu diri. Kerja sih katanya di hotel, padahal Kenneth yang bekerja keras ngusahain semuanya,"bisik ibu yang sinis itu ke teman sebelahnya.
"Kasihan banget si Kenneth, ya, kalau nggak ada Bu Agnes. Kerjaannya kan cuma di bengkel biasa," seloroh salah satu ibu dengan nada meledek.
Agnes tersenyum sinis. "Yah, namanya juga suami. Rezekinya saya yang atur. Lagian, saya kerja biar rumah tangga kami tetap jalan."
Ucapan Agnes mulai memicu bisik-bisik. Ada yang mendukung, ada juga yang terlihat mencibir.
"Bilangnya kerja di hotel, kok nggak pernah denger cerita lebih detail?" gumam salah satu ibu, cukup keras untuk didengar yang lain.
"Ah, kalau pun bohong, buat apa juga? Yang penting dia keliatan sukses," balas yang lain.
Agnes tersenyum puas. Baginya, selama tetangga percaya, hidupnya tetap terlihat baik-baik saja.
"Udah deh, aku nggak perlu dengerin kalian!" Dengan tegas, dia bangkit dari kursi dan pergi meninggalkan warung kopi.