15 tahun berlalu, tapi Steven masih ingat akan janjinya dulu kepada malaikat kecil yang sudah menolongnya waktu itu.
"Jika kau sudah besar nanti aku akan mencarimu, kita akan menikah."
"Janji?"
"Ya, aku janji."
Sampai akhirnya Steven bertemu kembali dengan gadis yang diyakini malaikat kecil dulu. Namun sang gadis tidak mengingatnya, dan malah membencinya karena awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan.
Semesta akhirnya membuat mereka bersatu karena kesalahpahaman.
Benarkah Gadis itu malaikat kecil Steven dulu? atau orang lain yang mirip dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiny Flavoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22 - Terpaksa makan
Steven membelokkan mobilnya ke sebuah restoran western, ia sengaja memilih tempat makan langganannya itu karena sesuai dengan lidahnya sendiri. Ia tidak tahu kalau Rimba justru sebaliknya. Gadis itu kurang menyukai makanan kebarat-baratan.
"Ayo turun! kita makan dulu sebelum pulang," pinta Steven saat mesin mobilnya sudah mati dan ia siap membuka pintu.
"Makan disini?" tanya Rimba sambil memperhatikan tempat makan elite itu dari dalam mobil.
"Masa iya makan di senayan parkirnya disini," sahut Steven mendengus kecil. Tanpa menunggu Rimba yang masih bengong, ia pun segera keluar.
Tak banyak tanya lagi Rimba segera melepas safety belt yang masih mengikat tubuhnya, lalu turun menyusul suaminya yang lebih dulu masuk ke tempat makan tersebut.
Steven sebelumnya sudah memesan private room ditempat makan itu. Jadi ia tak perlu susah payah lagi mencari tempat. Mereka pun diantar salah satu pelayan di sana ke lantai 2, dimana memang ruang VIP adanya dilantai kedua.
"Dibawah masih banyak tempat yang kosong lho, ngapain susah-susah nyari tempat di atas?" gumam Rimba protes seraya mensejajarkan langkahnya dengan Steven.
"Katanya nggak mau rame, makanya saya minta private room," sahut Steven meliriknya.
"Cuma berdua gini pake private room, kaya pasangan selingkuh yang takut ketauan bininya dirumah," omel Rimba asal bicara. Sontak membuat Steven melotot ke arahnya, juga pelayan yang berjalan didepannya pun seketika melirik ke belakang. Pelayan itu pasti sudah menilai Rimba yang tidak-tidak.
"Jangan didengar mbak! kami pasangan halal," kata Steven mematahkan pikiran negatif pelayan restoran tersebut yang hanya dibalas senyuman oleh perempuan berseragam hitam-putih itu.
"Disini Dokter Steve," kata pelayan itu saat menunjukan ruang VIP tempat Rimba dan Steven akan makan siang. "Pesanannya akan segera kami antar, permisi" ucapnya lalu pergi.
Rimba mengernyit saat mendengar pelayan tadi menyebut Dokter Steve pada suaminya itu, seakan sudah mengenalnya.
"Thanks" sahut Steven irit.
"Makanannya udah dipesen juga?" tanya Rimba sambil menjatuhkan tubuhnya disofa. Untuk pertama kalinya Rimba makan diruang VIP yang tempat duduknya aja sudah senyaman ini.
"Sebagian, selebihnya kamu bisa pilih makanan yang lain," ucap Steven sambil menyerahkan buku menu diatas meja.
Rimba membuka setiap halaman buku menu tersebut. Tidak ada satu jenis makanan pun yang menggugah seleranya. "Aku pesen minum ini aja ya!" tunjuknya pada salah satu gambar minuman di halaman paling belakang.
"Nggak pesen makanan lain? Dessert nya enak-enak disini," tawar Steven.
Rimba menggeleng, "Ikut apa yang udah kamu pesen aja deh, Kak. Bingung soalnya, pada nggak ngerti juga nama-namanya. Entar yang ada malah salah pesen," ucapnya kurang bersemangat. Entahlah, tiba-tiba badannya merasa meriang, dan perutnya terasa mual. Apa karena dia terlambat makan?
"Ya sudah nanti kalo mbaknya kesini nganter makan, kamu pesen aja tambahan minuman yang kamu pilih tadi," pinta Steve dan mendapat anggukan dari Rimba.
Benar saja, tak lama makanan pesanan Steve pun datang juga. Salah satunya, Beef Wellington daging yang diolah menjadi steak dan dibungkus dalam puff pastry itu ternyata makanan kesukaan Steven, tapi tidak bagi Rimba. Melihatnya saja membuat perut gadis itu terasa mual dan tidak berselera. Selera makan seseorang memang berbeda-beda, dan Rimba termasuk gadis yang lidahnya hanya cocok makan makanan jenis seafood atau menu warung Padang.
"Jadi kamu nggak mau makan nih?” desis Steven dan mulai menyantap beef wellingtonnya menggunakan pisau dan garpu.
“Ehm, ya makan sih,” jawab Rimba ragu-ragu. Tidak enak juga kalau dirinya tidak makan. Rimba hanya tidak ingin merusak selera makan suaminya itu.
Steven tersenyum sambil mengangguk, ia lebih sibuk mengunyah makanannya.
“Laper banget keliatannya ya,” gumam Rimba menatap lekat lawan bicaranya itu.
Lelaki itu mengangguk mantap, "Makan dulu, perutmu udah protes tuh!” tunjuk Steven ke arah perut Rimba.
Spontan Rimba memeluk perutnya sendiri, berusaha menutupi suara genderang perang yang muncul dari dalamnya. Matanya asik mengamati Steven, memergoki lelaki itu menyunggingkan senyuman padanya.
“Kak Steve sering makan disini ya, makanya si mbaknya hafal tadi,” tanya Rimba kemudian.
“Ya, saya sering ke sini, makanya mungkin dia hafal.”
“Nah lho, berarti sering ngebooking private room disini? sama siapa?” sambar Rimba cemburu, menunjuk ke arah suaminya.
“Memangnya kenapa?” Steven malah balik bertanya. “kamu nggak laper?” tanyanya menyimpang dari topik pembicaraan.
“Ya laper sih,” jawab Rimba begitu polosnya.
“Terus kenapa ngobrol terus? Makan!” perintah Steven galak.
Rimba mencibir ke arah Suaminya. Ia terbiasa makan sambil mengobrol. Jadi, makan dengan suasana diam dan khusyu begini bukan gayanya. Gadis itu mulai memotong makanannya, meski tak suka tapi ia tetap memasukkan potongan kecil makanan tersebut kedalam mulutnya. Pelan-pelan Rimba mengunyahnya, sekaligus menahan rasa mual dengan bau khas makanan dihadapannya.
"Saya biasa makan disini sama temen-temen seprofesi dirumah sakit," kata Steven menjawab rasa penasaran Rimba.
“Selera Kak Steve berkelas ya,” puji Rimba setelah berhasil menelan suapan pertamanya. Entah itu pujian atau sindirian, tapi yang jelas rasanya Rimba ingin muntah saja kalau tidak langsung didorong dengan meminum air putih.
Kali ini Steven belum mau menanggapi, ia sibuk menyantap makanannya sampai habis. Ini membuat Rimba justru memperhatikan cara makannya. Lalu berlanjut mengamati wajah Suaminya yang rupawan dengan karirnya yang cukup cemerlang. Rimba berpikir mungkin sebelumnya selama ini Steven tidak menyempatkan diri untuk melirik perempuan-perempuan yang ada disekitarnya. Makanya di usia yang cukup matang ini ia baru menikah. Rimba menangkap seolah ada dinding kokoh yang sulit untuk diruntuhkan oleh siapa pun yang sedang berusaha untuk mendekatinya. Dan ternyata Rimba lah yang mampu meruntuhkan dinding kokoh dihatinya itu. Benarkah begitu?
“Malah bengong, cepet habisin! habis ini kita pulang,” tegur Steven seperti tengah memarahi anaknya.
“Ah, ya” sahut Rimba terpaksa melahap makanan itu lagi dan menelannya bulat-bulat agar rasanya tidak terlalu berasa.
"Pinter," kata Steven seraya mengacak rambut istrinya itu gemas. Kini mereka berada di private room, sehingga dia tak canggung lagi atau merasa tidak enak dengan orang lain yang melihatnya.
.
.
.
Kehidupan ini memang tidak akan seutuhnya sempurna, tapi sikap baik kamu bisa menjadikannya terbaik dari yang bisa kamu lakukan. Dan itu sudah sempurna.