Kirana Larasati, gadis yang baru saja lulus SMA, harus menghadapi kenyataan pahit. Adiknya menderita sakit kanker, namun masalah ekonomi membuat adiknya terpaksa dirawat di rumah sendiri. Kirana ingin bekerja dan membantu orang tuanya. Suatu hari, tetangganya bernama Lilis menawarkannya pekerjaan sebagai pengasuh anak.
Kirana bertemu dengan Bastian Rajendra, seorang duda yang memiliki satu anak perempuan bernama Freya Launa.
Awalnya, Kirana hanya berniat bekerja untuk mendapatkan uang demi pengobatan adiknya. Namun, kedekatan Kirana dengan Freya, serta tanggung jawabnya yang besar, membuat Bastian mengambil keputusan tak terduga. Bastian menawarkan sebuah pernikahan kontrak dengan janji akan menanggung seluruh biaya pengobatan adiknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Tanda Tangan di Atas Materai: Resmi Menjadi 'Milik' Si Kelinci"
Kirana masih bersungut-sungut meratapi nasib daster keramatnya ketika suara langkah kecil yang terburu-buru terdengar dari arah tangga. Freya berlari turun dengan piyama kelincinya, rambutnya masih sedikit berantakan khas orang bangun tidur.
"Kakak! Kok aku nggak dibangunin sih?" rengek Freya sambil menghampiri Kirana dan memeluk kakinya. "Aku bangun tidur kok Kak Kirana udah nggak ada di samping aku?"
Kirana langsung berjongkok, mencoba menyembunyikan wajah kesalnya dari bocah kecil itu. "Maaf ya, Freya sayang... Kakak tadi kebelet pipis, eh terus keterusan ke bawah soalnya ada 'raksasa' yang nyebelin di meja makan," ucap Kirana sambil melirik tajam ke arah Bastian yang masih berdiri di dekat pintu.
Freya menoleh ke arah ayahnya. "Raksasa? Papa maksudnya?"
Bastian hanya berdehem dingin, mengabaikan sindiran Kirana. "Freya, mandi sekarang. Hari ini kamu tidak ke sekolah, tapi kamu akan menemani Kak Kirana bertemu dengan Om Pengacara."
"Asyik! Kita mau jalan-jalan lagi ya, Pa?" tanya Freya antusias.
"Bukan jalan-jalan, Freya. Kita mau urus surat-surat buat... ah sudahlah, mandi sana," potong Bastian yang tampaknya malas menjelaskan konsep pre-nuptial agreement atau pendaftaran nikah pada anak umur empat tahun.
Setelah Freya kembali ke atas bersama Mbak Lilis, suasana ruang makan kembali mencekam. Kirana duduk di kursi makan dengan lemas, menatap nasi goreng di depannya tanpa selera.
"Tuan—eh, Mas. Serius daster saya dijadiin kain pel?" tanya Kirana lagi, memastikan. "Itu daster penuh sejarah, Mas! Daster itu yang nemenin saya waktu begadang belajar buat ujian kelulusan!"
Bastian mengancingkan jam tangan mewahnya, lalu menatap Kirana datar. "Jika kamu begitu mencintai kain perca itu, nanti saya belikan satu toko tekstil untukmu. Tapi sekarang, diam dan makan. Pengacara saya sangat menghargai waktu."
"Dih, sombong amat yang punya gedung-gedung tinggi!" gumam Kirana pelan sambil menyendok nasi gorengnya dengan kasar. "Dasar Kelinci Otoriter! Mentang-mentang ganteng sama kaya, main buang-buang harta karun orang aja."
Tak lama kemudian, sebuah mobil sedan hitam elegan berhenti di depan rumah. Seorang pria berkacamata dengan tas kerja kulit keluar dan disambut oleh Bastian. Mereka menuju ruang kerja pribadi Bastian.
"Kirana, ke sini," panggil Bastian tegas.
Kirana masuk ke ruangan yang penuh dengan deretan buku tebal dan aroma kayu cendana itu dengan perasaan was-was. Di atas meja kerja, sudah menumpuk beberapa lembar kertas bermaterai.
"Ini adalah draf kontrak pernikahan kita," ucap pengacara itu dengan ramah namun profesional. "Ada beberapa poin penting, termasuk hak dan kewajiban Nona Kirana sebagai istri sah secara hukum, serta jaminan finansial untuk pengobatan adik Nona."
Kirana terdiam. Matanya tertuju pada poin yang menyebutkan biaya pengobatan Luki. Di situ tertulis jelas bahwa semua biaya akan ditanggung sepenuhnya tanpa batas waktu sampai dinyatakan sembuh total.
"Tanda tangani di sini," perintah Bastian sambil menyodorkan pena mahal ke arah Kirana.
Kirana memegang pena itu dengan tangan gemetar. Ia melirik Bastian. Pria itu tampak tenang, tanpa keraguan sedikit pun. "Setelah saya tanda tangan ini, saya beneran jadi milik Tuan... eh, Mas?"
Bastian menatap mata cokelat Kirana dalam-dalam. "Secara hukum, iya. Dan secara tanggung jawab, saya tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh milik saya. Termasuk kemiskinan atau kesedihanmu."
Deg! Jantung Kirana seolah berhenti berdetak sesaat. Kalimat itu terdengar sangat romantis sekaligus menyeramkan di saat yang bersamaan. Dengan bismillah, Kirana membubuhkan tanda tangannya.
"Selesai," ucap pengacara itu sambil tersenyum.
"Nah, sekarang gue resmi jadi tahanan kota di rumah mewah ini," batin Kirana frustrasi, namun di sisi lain, bayangan wajah Luki yang tersenyum saat sembuh nanti membuatnya merasa keputusan gila ini adalah hal paling benar yang pernah ia lakukan.
"Selamat, Nyonya Bastian," goda Bastian dengan nada sarkas yang membuat Kirana ingin sekali melempar botol tinta ke wajah tampan pria itu.
"Dih, Nyonya-nyonya... Nyonya pala lu peyang!" umpat Kirana dalam hati sambil memberikan senyum paksa yang lebih mirip ringisan kesakitan.
Kirana melirik Bastian yang sedang menjabat tangan pengacaranya dengan gaya boss besar. "Kalau bukan karena biaya rumah sakit Luki, nggak bakal gue sudi tanda tangan di atas kertas laknat ini. Gini amat nasib gue, umur baru delapan belas udah harus kejebak sama om-om otoriter bin nyebelin kayak lo!" batin Kirana meronta-ronta.
Setelah pengacara itu pamit pulang, Bastian menoleh ke arah Kirana yang masih mematung di depan meja kerja.
"Kenapa masih di situ? Cepat ganti baju. Kita harus ke rumah sakit untuk melihat perkembangan adikmu sebelum ke kantor catatan sipil," ucap Bastian sambil merapikan tumpukan dokumen tadi.
Mendengar kata 'rumah sakit', semangat Kirana langsung bangkit kembali. Kesal pada Bastian mendadak tergeser oleh rasa rindu pada adiknya. "Luki? Kita beneran mau ke sana sekarang, Mas?"
"Saya tidak pernah bicara dua kali, Kirana. Lima menit. Kalau telat, saya tinggal," ancam Bastian tanpa menoleh.
"Iya, iya! Dasar Mas Kelinci Tukang Ancam!" seru Kirana sambil berlari keluar ruangan.
Sambil menaiki tangga, Kirana masih saja mengomel sendiri. "Awas aja ya, kalau Luki udah sembuh, gue bakal minta daster baru yang lebih mahal dari jas mahal lo itu! Eh, tapi kan dia udah janji mau beliin toko tekstil? Hmm, boleh juga sih."
Di dalam kamar, Kirana bercermin sejenak. Ia melihat cincin yang melingkar di jarinya—tanda bahwa ia bukan lagi sekadar pengasuh di rumah ini. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang masih sering copot tiap kali Bastian menatapnya intens.
"Demi Luki, Ran. Cuma sandiwara kok. Anggap aja lo lagi syuting film jadi istri CEO yang tersiksa tapi dapet fasilitas bintang lima," bisiknya menyemangati diri sendiri.
Namun, saat ia turun dan melihat Bastian sudah menunggu di depan pintu sambil menggandeng Freya, ada rasa hangat yang aneh menyelinap di hatinya. Bastian tampak sangat protektif saat menggendong Freya masuk ke mobil.
"Ayo cepat, Nyonya Bastian. Jangan biarkan suami dan anakmu menunggu terlalu lama," goda Bastian lagi saat Kirana sampai di depan mobil, lengkap dengan senyum miringnya yang sangat memicu emosi sekaligus kekaguman.
"Sekali lagi panggil Nyonya, saya kempesin ban mobil Tuan!" ancam Kirana galak sambil masuk ke kursi depan, membuat Bastian terkekeh kecil—sesuatu yang perlahan mulai menjadi kebiasaan baru di antara mereka.
di bab sblm nya jg gitu aku masih diem..eeh ini ketemu lg..kesel sm majikan boleh² aja tp g mesti ngebatin dengan kata² kotor.