Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 : MANDI BERSAMA
Cahaya matahari menerobos celah gorden, memaksaku pulang dari mimpi yang tak pernah usai. Aku terpaku menatap langit-langit kamar, membiarkan tubuh yang terasa remuk ini tetap diam. Tanpa sadar, hangat air mata luruh di sudut mataku.
Terbangun di penthouse mewah ini terasa jauh lebih menyesakkan dibanding bangun subuh untuk bekerja di pabrik dahulu. Di sini, kemewahan hanyalah selubung dari rasa sakit.
Klik.
Suara pintu terbuka. Langkah kakinya yang berat dan berirama menyapu lantai—itu Erlangga. Refleks, aku meringkuk di balik selimut dan memejamkan mata rapat-rapat. Aku belum siap menghadapi pria kejam itu pagi ini.
Sisi ranjang amblas saat dia duduk di sampingku. Jemarinya yang dingin menyibak rambut yang menutupi wajahku dengan gerakan yang manipulatif; seolah-olah dia peduli.
"Sejak kapan putri Johan bangun siang begini?" bisiknya lirih, namun sarat akan intimidasi.
Aku tetap membatu. Namun, deru napasnya yang hangat mulai menyentuh kulit pipiku. Saat dia semakin merapat, aku menggeliat dan menarik selimut hingga menutupi wajah.
"Aku tahu kau sudah bangun, Ashilla," ucapnya tenang. Dia merenggut paksa selimut yang kugenggam erat.
"Lepas!" rintihku saat lengan kekarnya menerobos masuk ke dalam kaus tidurku, mengklaim otoritas atas tubuhku.
Tenagaku tak ada artinya. Erlangga membungkam protesku dengan ciuman brutal yang menyesakkan. Dia melumat tanpa permata, menghisap oksigenku hingga dadaku terasa sesak. Dalam keputusasaan, aku menggigit bibirnya sekuat tenaga.
Aku menggigit bibir nya, Rasa amis darah merebak. Aku tersengal, mengira dia akan meledak marah. Namun, Erlangga justru menyeringai. Ibu jarinya mengusap noda merah di sudut bibirnya sendiri sembari menatapku dengan tatapan predator.
"Kau manis, Ashilla. Terutama saat kau mencoba melawan seperti ini," ucapnya rendah.
Tanpa kata, aku bangkit dan menyeret langkah menuju kamar mandi. Erlangga hanya bergeming di ranjang, mengawasiku seperti singa yang membiarkan mangsanya menjauh sejenak.
"Syukurlah dia tidak mengikuti," gumamku setelah mengunci pintu.
Aku menyalakan keran, membiarkan bathtub terisi air hangat. Aku membenamkan diri ke dalamnya, berharap air itu bisa meluruhkan jejak sentuhannya. Namun, ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik.
Suara pintu yang seharusnya terkunci itu berderit terbuka. Langkah kaki itu kembali mendekat. Jantungku berpacu hebat.
"Erlangga... keluar!" teriakku.
"Sepertinya mandi bersama bukan ide yang buruk," sahutnya dingin.
"Tidak! Pergi!"
Dia tak menghiraukan teriakanku. Dengan gerakan tenang namun pasti, dia melepas kancing kemejanya satu per satu, menatapku tajam, lalu ikut membenamkan diri ke dalam air yang sama, mempersempit ruang gerakku hingga tak tersisa.
Air di dalam bathtub yang semula tenang kini meluap ke lantai saat tubuh besar Erlangga masuk mendesakku. Aku bergerak liar, mencoba memanjat keluar, namun lengannya yang kokoh melingkar di pinggangku seperti lilitan piton.
"Jangan bergerak, Ashilla. Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri," bisiknya tepat di telingaku, suaranya parau dan dalam.
"Lepaskan aku! Brengsek!" aku berteriak, menyikut dadanya dan mencakar lengannya, namun dia seolah tak merasakan sakit. Erlangga justru membalikkan tubuhku dengan paksa hingga aku terduduk di pangkuannya, menghadap wajahnya yang dingin tanpa emosi.
Deru napas kami beradu, panas dan memburu. Erlangga mencengkeram tengkukku, menahan kepalaku agar menatap matanya yang gelap. Tangannya yang lain mulai merayap di bawah air, menyingkap kain tipis yang masih melekat di tubuhku. Aku terus meronta, kakiku menendang-nendang permukaan air hingga menciptakan gelombang yang kacau.
"Diam," perintahnya mutlak.
Desahan berat lolos dari bibirnya saat jemarinya mulai menjelajah area sensitifku. Tubuhku berkhianat; meski hatiku menolak, reaksi fisikku mulai merespons sentuhan ahli itu. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat, mencoba menahan suara yang memalukan.
"Kau merasakannya, Ashilla? Tubuhmu tidak bisa berbohong," Erlangga menyeringai tipis melihat rona merah di wajahku.
Tanpa peringatan, dia mengangkat pinggulku sedikit. Aku merasakan ketegangan yang panas dari miliknya mendesak tepat di inti tubuhku. Mataku membelalak, tanganku mencengkeram bahunya—antara ingin menjauhkan atau justru mencari pegangan.
"Tida—ahhh..."
Keluhan itu berubah menjadi desahan panjang saat dia melakukan hentakan tunggal yang dalam. Erlangga memasukkan miliknya sepenuhnya, mengisi kekosongan di dalam diriku dengan paksa. Rasa sesak dan panas menyergap seketika. Aku menyandarkan dahi ke bahunya, kuku-kukuku menancap di kulit punggungnya saat ia mulai bergerak perlahan namun bertenaga di dalam sana.
Suara gesekan air dan napas yang memburu memenuhi ruangan yang lembap itu. Aku sudah tak memiliki tenaga untuk memukulnya lagi; setiap gerakannya seolah menguras habis sisa-sisa perlawananku, meninggalkanku pasrah dalam dominasi Erlangga yang tak terhentikan.
Ada kebencian yang mendidih di dadaku, namun yang jauh lebih mengerikan adalah rasa hina karena tubuhku mulai beradaptasi. Detak jantungku yang berpacu mengikuti irama gerakannya terasa seperti pengkhianatan paling besar. Setiap desahan yang tanpa sengaja lolos dari bibirku terasa seperti paku yang menusuk nuraniku sendiri.
Aku membenci Erlangga. Aku membenci jemarinya yang posesif, aku membenci aroma maskulinnya yang kini menyesakkan paru-paruku, dan aku membenci bagaimana dia menatapku seolah-olah dia memiliki setiap inci dari keberadaanku. Namun, di balik kebencian itu, ada rasa lelah yang luar biasa.
Saat dia mempercepat gerakannya dan mengerang rendah di ceruk leherku, aku memejamkan mata erat-erat. Air mataku menyatu dengan air bathtub, tak terlihat, tak terdengar. Aku sedang berkabung untuk Ashilla yang dulu, yang kini perlahan mati di tangan pria ini.
Erlangga mempercepat tempo, gerakannya kian dalam dan tak menyisakan ruang bagiku untuk bernapas. Air di dalam bathtub berguncang hebat, tumpah ke lantai seiring dengan setiap hentakan yang makin tak terkendali.
"Sebut namaku, Ashilla..." perintahnya dengan suara serak yang berat.
Aku menggeleng, menggigit bibir hingga kembali berdarah demi menahan suara yang mulai pecah. Namun, dia tahu titik lemahku. Jemarinya menekan titik sensitifku dengan presisi yang menyiksa, memaksaku melengkungkan punggung.
"Erlangga... ahhh!"
Pertahananku runtuh. Desahan itu lolos begitu saja, panjang dan penuh keputusasaan. Suara napas kami memenuhi kamar mandi yang pengap oleh uap panas. Erlangga tidak lagi sekadar bergerak; dia menghantamku dengan ritme yang menuntut penyerahan total.
Pandanganku mulai mengabur. Sensasi panas menjalar dari titik sentuhan kami, merambat naik hingga ke ubun-ubun. Kepalaku mendongak, leherku terekspos sepenuhnya saat ia mulai menciumi urat nadiku dengan rakus.
"Sedikit lagi," bisiknya, napasnya memburu di telingaku.
Aku mencengkeram bahunya kuat-kuat, merasakan ketegangan yang memuncak di perut bawahku. Erlangga menggeram rendah, sebuah suara purba yang menandakan ia pun berada di ambang batas. Hentakannya menjadi lebih brutal, lebih cepat, hingga dunia di sekitarku seolah melenyap.
Puncaknya datang seperti ledakan yang melumpuhkan. Tubuhku gemetar hebat, kejang dalam pelukannya saat gelombang kenikmatan yang menyakitkan menyapu kesadaranku. Di saat yang sama, Erlangga mengerang panjang, menanamkan wajahnya di ceruk leherku saat dia menumpahkan segalanya ke dalam diriku.
Kami terengah dalam keheningan yang menyesakkan. Hanya suara tetesan air yang jatuh ke lantai. Di balik kepuasan fisik itu, hatiku terasa kian kosong. Erlangga masih memelukku erat, seolah tak ingin membiarkan sekerat pun dari diriku lepas dari kuasanya.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,