Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22
Malam itu, Arman duduk di tepi ranjangnya sendiri. Lampu kamar sengaja dibiarkan redup, seolah cahaya yang terlalu terang hanya akan memperjelas luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Kedua tangannya terkepal erat di atas paha, napasnya berat, terputus-putus.
Lima tahun lalu.
Bayangan itu kembali, jelas, dan bahkan terlalu jelas untuk dihindari. Lampu merah, deru mesin dan sebuah mobil menyalip secara brutal dari sisi kanan, memaksa masuk ke jalurnya. Refleksnya terlambat, setir diputar, rem diinjak, tapi benturan tetap terjadi dengan sisi mobil dari arah lain juga yang sedang berhenti di lampu merah, di simpang empat itu. Suara besi beradu menggema, menghantam kepalanya bersamaan dengan rasa sakit yang luar biasa.
Arman, selamat. Namun sejak hari itu, kakinya tak lagi sama. Kaki nya divonis lumpuh oleh dokter, dan yang lebih menghancurkan dari kenyataan itu bukanlah vonis dokter, bukan kursi roda, bukan rasa sakit yang terus menggerogoti sarafnya, melainkan cara Amira menatapnya setelahnya. Tatapan asing, dingin dan seolah pria di depannya bukan lagi Arman yang dulu.
Mission Bar kala itu belum sebesar sekarang. Mereka membangunnya bersama, dari nol, dari mimpi yang sama. Namun saat Arman terbaring lemah, saat hidupnya berubah dalam sekejap, Amira memilih pergi.
Bukan karena tak mampu, melainkan karena tak mau. Ia pergi meninggalkannya, dalam keadaan lumpuh bersama pria lain. Tanpa penjelasan yang layak. Tanpa penyesalan, dan tanpa menoleh ke belakang.
Sejak saat itu, Arman hancur. Bukan hanya fisiknya, tetapi juga harga dirinya, kepercayaannya, dan keyakinannya pada manusia. Dia mengubur dirinya dalam pekerjaan, membesarkan Mission Bar dengan tangan dingin dan hati beku. Semakin perusahaan itu berjaya, semakin ia menjauh dari kehidupan.
Trauma itu mengikatnya erat.
Mobil menjadi musuh. Jalan raya menjadi pengingat. Ia menghindari keluar rumah sebisa mungkin. Jika terpaksa naik mobil, ia selalu duduk di belakang, tempat paling aman untuk lari dari kendali, dari ingatan, dari kenyataan bahwa dulu ia pernah kehilangan segalanya di balik kemudi.
Lima tahun berlalu.
Lima tahun tanpa pernah menyentuh setir. Tanpa keberanian untuk benar-benar hidup lagi.
Namun malam ini, wajah Kinara muncul dalam benaknya. Cara wanita itu tetap tenang saat nyaris celaka. Cara tangannya menggenggam tangannya tanpa ragu. Dan bagaimana ia, tanpa sadar, memeluk Kinara erat, seolah wanita itu satu-satunya jangkar yang menahannya agar tak tenggelam.
Arman mengembuskan napas panjang, matanya terpejam. Dia tahu, bukan Kinara yang ceroboh. Bukan Kinara yang salah. Yang belum selesai adalah luka dalam dirinya sendiri.
Arman meraih ponselnya dari atas nakas, jemarinya sedikit gemetar saat menekan nama Rudi. Panggilan itu tersambung cepat, seolah Rudi memang sedang menunggu.
“Periksa kembali CCTV di lampu merah itu,” ucap Arman tanpa basa-basi. Suaranya rendah, namun tegas. “Lima tahun lalu, hari kejadian kecelakaan.”
Di seberang sana, Rudi terdiam beberapa detik.
[Tuan … maksud Anda?]
“Aku selama ini menganggap itu kecelakaan biasa,” potong Arman. “Tapi tidak malam ini. Ada yang janggal. Aku yakin … sesuatu terjadi di luar rencana Tuhan.”
Nada suaranya dingin, berbeda dari biasanya. Rudi bisa merasakannya, ini bukan sekadar dorongan emosi sesaat. Ini kebangkitan luka yang terlalu lama dikubur.
[Baik, Tuan,] jawab Rudi akhirnya. [Saya akan cari semua arsip yang masih bisa diakses. Jika memang ada yang disembunyikan … saya akan menemukannya.]
Panggilan terputus, Arman menurunkan ponselnya perlahan. Dadanya naik turun, napasnya masih berat. Bayangan Kinara yang hampir celaka sore tadi kembali berkelebat di kepalanya, bunyi klakson, mobil yang menyalip brutal, dan rasa panik yang sama seperti lima tahun lalu. Bukan kebetulan, pikirnya. Terlalu mirip untuk disebut kebetulan.
Dia mengalihkan pandangan ke arah jendela besar di sudut kamar. Kaca itu memantulkan bayangan dirinya sendiri, seorang pria di kursi roda dengan wajah keras dan mata yang menyimpan terlalu banyak luka. Di balik pantulan itu, rembulan menggantung pucat di langit, tenang, seolah mengejek kegaduhan di dalam dadanya.
“Jika semua ini memang bukan kecelakaan…” gumam Arman pelan.
Tangannya kembali terkepal.
“Maka ada seseorang yang harus bertanggung jawab.”
Malam ini, setelah lima tahun, Arman tidak hanya ingin tahu kebenaran ia siap menghadapinya.
Keesokan paginya.
Kinara turun ke ruang makan dengan setelan kerja rapi. Rambutnya terikat sederhana, tas kerja tersampir di bahu. Aksa sudah duduk manis di kursinya, seragam sekolahnya lengkap, wajah bocah itu ceria seperti biasa. Di ujung meja, Nyonya Ratna telah menunggu, punggungnya tegak, secangkir teh hangat di depan tangan.
Namun satu kursi kosong menarik perhatian Kinara. Kursi yang biasa ditempati Arman. Seorang pelayan mendekat dengan langkah hati-hati.
“Nyonya … Tuan Arman belum turun. Beliau menolak membuka pintu kamar dan mengatakan tidak ingin sarapan.”
Ratna tidak tampak terkejut. Ia hanya menghela napas pelan.
“Tidak apa-apa. Itu sering terjadi,” ucapnya tenang. “Lima tahun lalu juga seperti itu.”
Ucapan itu membuat Kinara menoleh cepat. “Sering?” tanyanya, tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya. “Apa Pak Arman memang sering mengurung diri?”
Ratna mengangguk pelan. “Setiap kali ia melewati sesuatu yang melukainya. Arman memilih sendirian. Itu caranya bertahan.”
Tangan Kinara yang berada di bawah meja perlahan mengepal. Dadanya terasa sesak. Bayangan kejadian kemarin sore, teriakan Arman, napasnya yang tersengal, pelukan refleks itu, kembali menyeruak. Rasa bersalah merambat pelan di hatinya, meski ia tahu bukan dirinya penyebab kecelakaan itu.
Aksa yang tak tahu apa-apa tetap makan dengan lahap, sesekali bercerita tentang rencana di sekolah hari ini. Kinara berusaha tersenyum menanggapi, meski pikirannya tertinggal di lantai atas, pada seorang pria yang memilih mengunci diri dari dunia.
Mereka bertiga akhirnya sarapan tanpa kehadiran Arman. Karena Aksa harus segera berangkat sekolah, pagi itu berjalan seperti biasa, namun bagi Kinara, ada sesuatu yang terasa hilang. Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari satu hal dengan jelas, Arman bukan hanya pria dingin yang menjaga jarak.
Ia adalah seseorang yang terlalu lama hidup dengan luka dan belum pernah benar-benar disembuhkan.
Beberapa menit kemudian, Rudi tiba di kediaman Pramudya. Rudi melangkah masuk ke ruang makan dengan langkah tergesa namun tetap sopan. Setelan jasnya rapi, wajahnya serius seperti biasa.
“Nyonya Ratna,” sapa Rudi sambil sedikit menunduk. “Saya ingin bertemu dengan Tuan Arman sebelum berangkat ke kantor, ada berkas yang ingin saya ambil.”
Ratna hendak menjawab, tetapi Kinara lebih dulu berdiri dari kursinya. Wajahnya terlihat ragu, namun sorot matanya mantap.
“Pak Rudi,” ujar Kinara pelan, “tolong antar Aksa dulu ke sekolah. Aku yang akan menemui Pak Arman.”
Rudi terkejut. “Nyonya, Tuan Arman...”
“Aku tahu,” potong Kinara lembut tapi tegas. “Justru itu, biar aku coba dulu.”
Ratna menatap Kinara lama. Ada kekhawatiran, tapi juga kepercayaan di sana. Wanita tua itu lalu mengangguk kecil ke arah Rudi, seakan memberi izin tanpa perlu kata-kata.
Aksa yang sudah mengenakan tas ransel langsung menghampiri Kinara.
“Mommy yakin Daddy mau ketemu?” tanyanya cemas, anak kecil itu sangat mengenali ayahnya.
Kinara tersenyum, mengusap kepala Aksa. “Doakan saja, ya. Aksa berangkat sama Om Rudi ya, jangan nakal ya.”
Aksa mengangguk patuh. Rudi pun segera membawa anak itu pergi. Begitu langkah mereka menjauh, Kinara mengambil nampan berisi sarapan yang tadi tak tersentuh Arman, semangkuk sup hangat dan roti panggang lalu melangkah menuju lantai atas.
Koridor lantai dua terasa sunyi. Kinara berhenti di depan pintu kamar Arman. Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk.
Tok! Tok!
“Aku bilang jangan masuk dan jangan ganggu!” suara Arman membentak dari dalam, keras dan penuh emosi.
Kinara memejamkan mata sejenak. Ia tahu ini tidak akan mudah. Perlahan, ia menekan gagang pintu yang ternyata tidak dikunci, mungkin Arman sedang menunggu Rudi tiba dan membukanya sedikit.
Detik berikutnya, Arman tahu bukan pelayan yang datang, sebuah vas melayang ke arah pintu. Kinara refleks mengelak ke samping. Vas itu menghantam daun pintu dan pecah berkeping-keping. Serpihan tajam beterbangan, salah satunya menggores sisi kening Kinara. Perihnya terasa seketika, hangat, lalu basah.
jangan dekat dekat mantan itu ibarat sampah.....masa iya kamu mau tercemar dengan aroma nya yang menjijikan....
Kini kalian telah menjadi satu...,, satu hati,, satu rasa dan satu pemikiran. Harus saling percaya dan jujur dgn pasangan,, karna ke depannya si Mak Lampir ibu kandungnya Aksa akan merongrong ketenangan,, kedamaian dan kebahagiaan keluarga kalian.
Waspada lah ....