"Ketimbang jadi sadboy, mending ajarin aku caranya bercinta."
Guyonan Alessa yang tak seharusnya terucap itu membawa petaka.
Wanita sebatang kara yang nekat ke Berlin itu berteman dengan Gerry, seorang pria sadboy yang melarikan diri ke Berlin karena patah hati.
Awalnya, pertemanan mereka biasa-biasa saja. Tapi, semua berubah saat keduanya memutuskan untuk menjadi partner bercinta tanpa perasaan.
Akankah Alessa dapat mengobati kepedihan hati Gerry dan mengubah status mereka menjadi kekasih sungguhan?
Lanjutan novel Ayah Darurat Untuk Janinku 🌸
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sheninna Shen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Kebahagiaan Alessa
...“Aku tak berhak melarang kebahagiaanmu. Karena selama ini, aku belum pernah membuatmu bahagia,." — Luther Hoffner...
Tok! Tok! Tok!
Alessa mengetuk pintu rumah Luther. Tak lama kemudian, Luther membuka pintu.
"Ini rumahmu, Nak. Untuk apa kamu mengetuk pintu sebelum masuk?" seloroh Luther sambil kembali masuk menuju ke dapur.
Alessa tertawa bahagia. Rasanya begitu hangat. Bukan karena rumah yang sedang dihangatkan oleh kayu api di dalam perapian itu, tapi karena sambutan hangat oleh Luther, ayah yang sudah sejak lama ingin ia temui.
Alessa dan Gerry pun masuk ke dalam, lalu menutup pintu. Saat di dalam, keduanya menoleh ke luar jendela, menatapi salju yang semakin lama akan menjadi semakin tebal. Tentu saja mobil yang mereka sewa akan kesulitan jika mereka terus berlama-lama di sana?
"Sayang, hari ini aku akan kembali ke—"
"Aku ikut!" Potong Alessa tak membiarkan Gerry menyelesaikan ucapannya. Wanita itu mencebik dengan tatapan iba dan memelas agar permintaannya dikabulkan.
Gerry tertawa pelan. Bagaimana bisa ia menolak permintaan kekasihnya itu? Dan tentu saja ia senang jika wanita itu terus berada di sisinya tanpa terpisahkan.
"Yes, My Lady," sahut Gerry sambil membelai lembut punggung kepala kekasihnya. "Tentu saja aku akan membawamu. Tapi, kamu 'kan baru bertemu dengan Daddy-mu?"
"It's okay. Setelah mengantarkan mobil, kita kembali ke sini ya?" Pinta Alessa pada Gerry.
"Lalu? Setelah kita kembali ke sini?"
"Ya, kita di sini. Aku nggak jadi kembali ke Indonesia."
"Ya terus? Apa yang kita lakukan di sini?" tanya Gerry sambil menaikkan kedua alisnya saat menatap Alessa.
"Ayo sarapan," ucap Luther membuat Alessa dan Gerry menoleh ke arahnya.
Pembicaraan dua orang itu pun terhenti. Mereka menuju ke meja makan untuk menyantap sarapan bersama.
"Aku suka sandwich ini," tutur Alessa sambil mengunyah dan mengacungkan jempolnya pada Luther. "Masakan Daddy enak!"
Luther merasa senang karena anak semata wayangnya menikmati sarapan yang ia sediakan. "Maaf, hanya ini yang bisa Daddy berikan padamu."
"Daddy tau nggak," Alessa meletakkan sandwichnya ke atas piring. Kemudian ia mencondongkan kepalanya ke arah Luther. "Selama 4 tahun aku di Jerman, setiap minggu aku pergi ke Mauerpark! Aku di sana dari pagi sampai malam!"
Gerry memicingkan matanya sambil mengerutkan dahi. Sesaat ia menjadi teringat kenapa setiap kali wanita itu libut, dia selalu saja pergi ke sebuah tempat. Apa Mauerpark itu maksudnya?!
"Aku ke sana sambil berharap dan nungguin Daddy. Aku harap kita ketemu di sana. Tapi malah ketemu di Ladenburg yang hanya aku datangi selama hitungan jam!"
Luther memiringkan kepalanya sesaat. Wajah keriput yang sudah dimakan usia itu terlihat penasaran. "Kenapa kamu berpikir kita akan bertemu di Mauerpark?"
"Foto!" Seru Alessa. "Mommy ngasih aku foto Daddy. Terus di belakang foto itu ada tulisan Mauerpark, Berlin. Terus ... Mommy juga pernah bilang kalo Daddy itu suka nyanyi. Yah ... aku berfikir Daddy akan bernyanyi di sana."
Luther menatap nanar anak perempuannya itu. Melihat wajah Alessa saat ini, benar-benar seperti melihat dirinya muda di masa lalu. Hanya saja, saat ini rambutnya sudah memutih.
"Daddy harap, kita bisa hidup bersama lebih lama lagi," ucap Luther penuh harap. "Tak ada lagi yang Daddy harapkan selain menghabiskan waktu bersama denganmu."
Alessa mengangguk pelan. Kemudian ia menatap Gerry sehingga membuat keduanya saling beradu pandang. Membuat Alessa kembali teringat dengan rencananya tadi dengan Gerry.
"Daddy—"
"Luther," potong Gerry. "Sebenarnya, ada yang ingin aku katakan."
"Ya, katakanlah, anak muda." Ucap Luther santai dan bersahaja.
Alessa melanjutkan makannya. Pikirnya, biarkan saja Gerry yang menjelaskan pada ayahnya, bahwa hari ini mereka akan kembai ke Berlin.
"Izinkan aku menikahi Alessa."
"Ohokkk!" Alessa tersedak saat mendengarkan ucapan Gerry. Ia tak menyangka Gerry akan memintanya pada Luther secepat itu?! Alessa menatap Gerry dengan tatapan yang penuh tanda tanya.
Gerry tak peduli dengan tatapan Alessa yang ada di sampingnya. Kedua tangannya mengepal karena menahan rasa gugup yang luar biasa saat meminta izin pada Luther.
Di sebrang meja makan, Luther awalnya terkejut dan meletakkan sandwichnya. Kemudian ia menatap Alessa dengan seksama. "Bagaimana, Nak?"
Tentu saja Alessa dibuat gelagapan karena Luther malah balik bertanya padanya. "Maksud ... Daddy?"
Luther tertawa dengan lepas. Kemudian ia memegang tangan anaknya yang ada di atas meja makan, tepat di samping tangan Gerry.
"Semua kembali padamu, Alessa. Aku tak berhak melarang kebahagiaanmu. Karena selama ini, aku belum pernah membuatmu bahagia," Luther mengatakannya dengan hangat, seperti seorang ayah yang sedang memberikan anak perempuannya wejangan.
"Aku ...," Alessa tertunduk. Wajah memerah seperti tomat matang.
Melihat respon Alessa, Luther meraih tangan Gerry yang semula terkepal. Kemudian pria tua itu meletakkan tangan Gerry ke atas tangan Alessa. Dua tangan anak muda yang menjadi satu itu, kini digenggam dengan hangat menggunakan kedua tangan keriput Luther.
"Aku melihat cinta yang menggebu-gebu di mata kalian," tutur Luther sambil menatap Alessa dan Gerry silih berganti.
"Kalau memang cinta, kenapa harus ego dan malu? Tunjukkan saja apa yang kalian rasakan. Jangan sampai kalian seperti aku dan Jelita."
"Penyesalan selalu datang terakhir, saat kita tak bisa menghabiskan waktu bersama orang yang kita cintai."
"Jadi ... aku merestui hubungan kalian. Tentukanlah kapan kalian akan menikah, aku akan mendampingi Alessa di atas altar, dan mengantarkannya padamu," jelas Luther sambil menatap Gerry dengan segenap hati.
Luther menyudahi ucapannya dengan beberapa kali menepuk pelan kedua tangan pasangan kekasih itu. Kemudian ia mengangkat tangannya, dan melanjutkan sarapan paginya.
"Thank you, Daddy," ucap Gerry dengan lantang dan senyum yang tentunya tak pernah luntur dari wajah tampannya. Pria itu menggenggam dengan erat tangan Alessa karena bahagia sekali rasanya.
Mendengarkan Gerry memanggil Daddy pada Luther, pria tua dan anaknya tertawa terbahak-bahak. Mereka melanjutkan sarapan pagi dengan penuh suka cita.
Sementara Alessa, ia tak henti-hentinya meyakinkan dirinya bahwa semua ini bukanlah mimpi. Pasalnya, sejak ia berada di Ladenburg, kebahagiaan selalu menghampirinya. Sesuatu yang menurutnya tak mungkin terjadi, semua terjadi dan mengalir begitu saja saat ia berada di Ladenburg.
Tak lama setelah sarapan pagi dan ngobrol sebentar di ruang tamu, tepat di depan perapian, Gerry dan Alessa pun pamit untuk kembali ke Berlin.
"Gerry, tolong jaga Alessa seperti kamu menjaga permata langka yang berharga. Kalau kamu sudah tak menginginkannya, kembalikan Alessa padaku dengan baik-baik. Jangan sakiti dia," pesan Luther dengan mata berkaca-kaca.
Masih ada rindu yang belum selesai di benak pria tua itu. Hanya saja, ia faham, ada hal yang harus dua anak muda itu selesaikan segera di Berlin.
Usai berpamitan, keduanya pun berangkat menuju ke Berlin. Alessa menangis saat meninggalkan Ladenburg. Tentu saja ia merasa seperti sedang meninggalkan hatinya di sana.
"Sayang," panggil Gerry sambil membelai lembut tangan kekasihnya. "Temani aku untuk menyelesaikan semua urusan kita di Berlin. Setelah itu, kita kembali lagi ke sini."
Alessa langsung menoleh ke arah Gerry. Mata yang biasanya cerah dan berbinar itu, terlihat sembab dan bengkak karena tangis yang tak tertahankan. "Kembali ... ke Ladenburg?"
"Hm. Kita akan menikah dan hidup di sana. Jadi, kamu tetap bisa menghabiskan waktumu dengan Luther, aku dan anak kita." Jelas Gerry sambil tersenyum. Kemudian ia kembali menatap fokus ke depan.
Alessa tak mampu menahan tangisnya mendengarkan ucapan Gerry. Bagaimana bisa pria di sampingnya kini sepeka itu padanya? Andai dulu ia tak pernah nekad mendekati pria itu, apa keberuntungan beruntun ini akan tetap menghampirinya?
"Kenapa aku seberuntung ini?" isak Alessa sesenggukan.
"Aku lah yang beruntung karena memilikimu," ucap Gerry sambil mengambil tangan Alessa dan mengecup punggung tangan wanita itu.
...🌸...
...🌸...
...🌸...
...Bersambung .......
Alessa kan kak??
❤❤❤❤❤
ampuuunnn..
manis sekali lhoooo..
jadi teehura..
berkaca2..
❤❤❤❤❤❤
akhirnya mumer sendiri..
😀😀😀😀😀❤❤❤❤
berjanggut ya jadi pangling gonk..
😀😀😀❤❤❤❤❤